Day 14: Thoughts on Education

Waduh, kenapa di minggu kedua ini bahasan blog gue makin berat aja? Kemarin gue bahas kebiasaan sehat yang sebenernya ga sehat-sehat amat. Gue takut kalau ada dokter yang baca tulisan gue, mereka bakalan bikin petisi supaya tulisan gue di takedown. Walau gak perlu dibuat petisi juga, gue sebenernya ingin tulisan itu dihapus karena takut disalahartikan dan berakhir dirujak warnet (warga internet). Sekarang, gue diminta untuk menulis pemikiran gue tentang pendidikan di Indonesia. Ya untungnya, negara ini punya kebebasan berpendapat. Gue gak kebayang kalau bikin blog ini di Korea Utara. Mungkin selain menteri pendidikan yang dihukum mati, gue juga bakalan di rujak Kim Jong Un sampai mati. Hiks.

Gue bukan Pak Nadiem Makarim. Bukan juga Jerome Polin ataupun Maudy Ayunda. Sebelum terjadi apa-apa sama diri gue, gue ingin memasang disclaimer gede-gede bahwa tulisan ini hanya sekadar opini. Ngerti opini kan? Jadi bisa aja tulisan gue gak sesuai dengan ekpektasi dan jauh dari kata benar, Tapi yang namanya opini gak ada yang salah, teriak seseorang di ujung sana. Oke langsung aja tanpa berbasa-basi, gue akan mulai dari Sekolah Dasar.

Sistem belajar yang paling gue suka adalah saat Sekolah Dasar. Dengan metode pembelajaran tematik menurut gue sangat seru untuk menarik minat belajar anak-anak. Kayak dulu, gue semangat banget buat belajar dan baca buku karena buku pelajaran gue yang berwarna kayak komik. Walau dalam segi design sangat sederhana seperti buku pelajaran pada umumnya, tapi setidaknya ada gambaran di kepala gue tentang hal-hal yang gue pelajari saat itu. Berbeda banget dengan SMP dan SMA. Buku pelajaran gue udah hitam-putih semua. Sekalinya berwarna, paling untuk bagian desain sampul dan header footer. Hal ini yang menjadikan gue suka baca buku tapi gak suka baca buku (loh?). Fyi aja, nyokap gue gak suka gue baca novel karena gue gak pernah buka buku pelajaran sama sekali. 

Loh, tapi kan novel sama aja gak ada gambarnya.

Bener sih, tapi novel bisa kita gambarkan sendiri melalui otak kita. Sedangkan buku pelajaran, dengan kata-kata yang sulit kita pahami kayak gitu, gimana caranya kita mau ngebayangin di otak? Itulah kenapa 90% hal yang gue lakukan untuk bisa bertahan hidup di bangku sekolah adalah menghapal. Gue gak tau kenapa, dengan banyaknya anak desain di Indonesia, tapi kenapa buku pelajaran yang menarik cuma di sampulnya? Gak usah jauh-jauh deh ke buku pelajaran. Bahkan kalau boleh kritik, buku di Indonesia terutama novel, sebenarnya hanya menarik di sampul. Makanya gak heran kalau banyak orang yang cari buku sesuai cover-nya yang menarik mata, tapi pas dibuka, ceritanya flop dan gak sesuai ekspektasi. Maksud gue, ayolah. Mau seberapa dewasapun kita tumbuh, bukan berarti segalanya harus mulai baku. Malah semakin kita dewasa, tekanan semakin banyak jadi gue rasa gak ada salahnya buku pelajaran dibuat semenarik mungkin biar gak stress-stress amat. Gue gak bisa nyalahin kenapa minat baca orang Indonesia rendah. Banyak faktor, tapi gue yakin buku yang gak menarik menjadi salah satu faktornya. Cap gue sok tau, tapi gue sendiri mengalami ini. Lebih baik gak baca buku daripada bosen liat tulisan yang bahkan gue gak tau apa artinya. 

Selain buku yang seru, model pembelajaran di kelas pun dibuat berkelompok. Karena gue anak yang hiperaktif (dulu), hal ini menjadi surga untuk gue karena bisa sepenuhnya ngobrol dan berdiskusi dengan teman.

Lanjut ke SMP.

Di SMP gue merasakan yang namanya kurikulum KTSP 2006. Entah karena gue introvert atau apa, tapi gue ngerasa nyaman dengan kurikulum ini. Walau kadang sebel sih, kalau gurunya bener-bener text book banget. Kerjaan gue setiap di kelas yaitu mencatat, mengerjakan soal, atau dengerin cerita dari guru yang mengajar. Kurang interaktif memang, tapi seru aja. Soal-soalnya pun berguna untuk ujian nasional.

Nah di SMA nih. Gue gak banyak mengeluh kok. Di SMA ini gue merasakan kurikulum 2013 Revisi. Isinya kerja kelompok, makalah, presentasi, dan ulangi. Sepintas emang gak ada yang aneh. Tapi setelah gue teliti, kok nilainya sama aja kayak KTSP 2006? Maksud gue begini, kenapa nilai rapot masih di akumulasikan dengan nilai di selembar kertas kalau metode pembelajarannya aja udah berganti menjadi lebih interaktif? Kemana nilai keberanian berbicara? Kemana nilai berpikir? Kemana nilai diskusi? Ke nilai sikap? Tapi rahasia umumnya, nilai sikap bukan apa-apa dibanding nilai pengetahuan. Agak gak adil aja emang, buat orang yang sebenarnya bisa untuk menerangkan dengan baik, tapi kalau lebih kontekstualnya alias tertulisnya doi kurang. Sama sih kayak KTSP 2006 sebenarnya, tapi gue rasa hal ini gak memberatkan karena pembelajarannya pun dari buku. Ulangan dari buku. Jadi kalau ulangan, ya kita bisa-bisa aja. Berbeda dengan K13 Revisi, yang diterangin sesuai soal ulangan yang keluar aja alhamdulillah. Sebenarnya nanti juga bakalan ada bantahan tentang "Ah, lo aja kurang eksplor" Ga kok. Lagian, ilmu yang dipelajari di SMA ada limitnya. Kalau kita keluar dari apa yang dipelajari ya sia-sia karena balik lagi, hal ini gak ada di soal ulangan :) Tapi berguna buat pengetahuan umum lo kok. Kali aja lo bakal ikutan kuis milyarder yang kalau jawab 1 soal dapet 100 juta. Bisa aja pengetahuan geografi lu kepake disitu. 

Udah ah, kali ini gue akan beranjak ke hal yang lebih ekstrem. Pay to win. 

Dalam game, dengan kita membeli skin/emblem/stuff akan menambah power kita sehingga kita akan mudah mengalahkan musuh yang biasa aja. Sekilas gue lihat, ini sama dengan pendidikan di Indonesia. Sistem kapitalis ini ternyata sudah mengakar sejak lama. Yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Gue gak menyalahkan orang yang les di luar. Buat gue itu gak salah, malah bagus. Tapi, entah kenapa gue berharap lebih dengan kualitas pendidikan di sekolah. Setidaknya, orang yang hanya bisa bersekolah tanpa ikut les tambahan tidak tertinggal dengan orang yang ikut les tambahan. Emang susah ya, karena dari waktu aja terbatas. Tapi, setelah gue mengalami sendiri rahasia umum ini, gue merasa 

"Tau gitu gue bimbel aja daripada sekolah"

Jujur. Dari lubuk hati gue yang paling dalam. Gue merasakan perbedaannya ketika gue hanya bersekolah dengan gue ikut les tambahan setelah pulang sekolah. Hal ini berbeda. Mungkin juga orang akan gak setuju, karena banyak orang yang sukses tanpa les karena belajar sendiri. Jawaban gue adalah, memang. Tapi, gak menutup kemungkinan bahwa orang yang ikut les tambahan ada di satu langkah lebih dulu daripada yang engga. Kita juga gak tau seberapa besar orang yang gak ikut les untuk mengejar ketertinggalannya. Tapi balik lagi, gue berbicara soal biaya. Biaya les sendiri tentunya gak murah. Dengan begitu, akan menjadi pertimbangan semua orang tua untuk memasukan anaknya ke tempat les. Bayangin aja kalau sekolah memiliki kualitas pembelajaran yang sama dengan di tempat les. Gue rasa semua anak gak harus mengeluarkan biaya lebih untuk belajar. Tapi sukses atau engganya anak, tergantung anak itu sendiri, bukan karena dia ikut les atau engga. Kalau begitu apakah sekolah saja cukup? Kalau emang cukup, kenapa ada bimbingan belajar di luar?

Mungkin cukup sampai disitu kritik gue yang kedengarannya seperti suara buang angin semata. Karena gue juga bukan orang yang ahli dalam kritik, gue pun masih siswa. Orang yang membaca tulisan gue akan berpikir, bahwa gue akan mencari keuntungan untuk diri gue saja. Tulisan ini hanya menguntungkan sebelah pihak daripada memikirkan pihak lain secara keseluruhan. Tapi emang iya. Itu tujuan gue. Emang dalam pembelajaran apalagi yang harusnya diprioritaskan?  Gue gak mau membandingkan dengan sistem pembelajaran di Denmark yang kalau belajar bakalan dikasih duit sama pemerintah, atau di Jerman yang memiliki kesamaan derajat antara pelajar dan pengajar, atau di negara lain yang memiliki sistem pembelajaran yang gak Indonesia punya. Gue hanya berpesan, bahwa sistem ini harus cepat atau lambat diubah. Selain karena segi kuantitas sumber daya manusia yang banyak, sistem pendidikan juga berperan penting dalam proses berpikir anak Indonesia. Dengan berubahnya sistem pembelajaran di Indonesia, gue yakin banyak orang yang gak membenci belajar, mereka malah tertarik dan senang untuk belajar lebih banyak. 

So, balik lagi. Ini cuma opini. Gua takut hal ini menyinggung beberapa pihak, jadi ada baiknya gue mempersiapkan diri gue untuk berenang menuju Australia. Takut-takut banyak orang yang memburu gue dan ingin menjadikan gue sebagai rujak bebek (dibaca bebek). 
Sekian dari diptok (dibaca deeptalk) kali ini. Semoga kalian tercuci otak WAHAHAHAHA...

Sc: Pinterest


Komentar

Ê• •á´¥•Ê”