H-20 UTBK

Haloooo, it's me, Ipit...

Kali ini gue mau ceritain tentang perjuangan gue buat UTBK yang sebenarnya udah gue mulai dari kelas 10, tapi karena takut cerita ini jadi 1 rim kertas HVS, gue bakalan ceritain dari skenario setelah pengumuman SNMPTN aja ya...

Latar waktu kali ini adalah lebaran. 

Definisi lebaran sendiri buat gue adalah hari kemenangan. Ga ada istilah khusus sih, mungkin karena iklan di Tv sering bilang kalau lebaran itu hari kemenangan, yaudah gue anggap begitu. Di Tv, lebaran juga digambarkan dengan ramai dan meriah. Ada ibu-ibu dengan kerudung yang cuma sampai ubun-ubun sibuk bersalaman dengan orang tuanya. Di sebelahnya ada anak perempuannya yang berumur 3 tahun lagi di 'uwel-uwel' sama mbah kakung/uti nya. Sebelahnya lagi ada bapak-bapak berpeci yang lagi melakukan hal yang sama kayak pasangannya. Iya, salam-salaman. Lebaran gak sedramatis yang orang-orang Tiktok sumpahin. 

"Buat Gemini, semoga baju lu ketumpahan opor pas lebaran"

Atau sumpahan-sumpahan lainnya kayak kesandung pas solat Ied, walaupun gue gak percaya hal itu bakalan terjadi, tapi buat Gemini, semoga pas salaman sama yang beda gender tangan lu ditolak. Mampus lo, awkward.

Intinya lebaran itu di kepala gue adalah saatnya seneng-seneng sampai zuhur.

Bedanya, di hari itu, gue malah mewek sejadi-jadinya. 

Berangkat dari trauma karena ketolak SNMPTN di UI dan UB di tanggal 29 Maret, ditanggal 30 nya, atau tepatnya jam 1 malam di tanggal 30 Maret, gue memutuskan untuk memilih kampus yang gue cita-citakan kedua, yaitu UNPAD dan UB. Gue sadar, kalau pilihan keduanya beresiko. Disamping resiko ketolak, ada resiko hidup. Kalau di luar Jakarta, berarti gue akan dihadapkan dengan situasi yang memaksa gue untuk mandiri. Gue sudah berkonsultasi juga dengan orang tua gue, nyokap gue memberikan sebuah wejangan berupa "Mama mah gak apa-apa kalau Ipit mau kuliah di mana aja". Oke, lampu hijau, saatnya eksekusi. 

Pukul 1 pagi, gue terbangun karena habis nangisin patah hati pertama gue (lebay). Tapi serius deh, waktu gue chat temen gue yang senasib, doi juga bilang,

"Gue ga kuat nge-snapgram-in yang masuk, jujur bukan ga ikut seneng tapi belum ikhlas aja" Kata temen gue, via dm Instagram

"Nah ini, gue bukan ga seneng mereka masuk, cuma gue pengen jaga perasaan aja, gue takut dikira egois kalau curhat ke orang aowkowkow" Balas gue 

"Iya, bukan egois tapi nyesek banget bgst, gue gak berani bukain snapgram yang pada keterima SNM. Belum bisa menerima warna cinta dari LTMPT" respon teman gue, yang gak lain adalah sama dengan apa yang gue rasakan saat itu

Gue bahkan sampai unistall Instagram, yah walaupun cuma beberapa jam karena ga tahan, lalu gue install lagi karena takut ketinggalan informasi (cih, fomo)

"Yakan Pit, gue juga kayak 'anjir, yang lain udah tenang kita masih harus gas belajar buat UTBK ntar' gue takut ketinggalan,  YA ALLAH TOLONG IKHLASIN, TAPI SUSAH, TAPI TOLOONG"  Ujar dia kepada Tuhan. Yah semoga Tuhan mendengar.

Itulah yang sebenarnya gue rasakan sehingga gue menangis dan tertidur hingga pukul 1 malam, gue terbangun dan tiba-tiba buka website LTMPT untuk daftar UTBK. Entah apa yang gue pikirkan saat itu, tiba-tiba gue dengan pede memilih Hubungan Internasional di Universitas Padjajaran dan Manajemen di Universitas Brawijaya. Masih dengan setengah sinting, gue screenshot bukti pendaftaran tersebut, lalu gue kirim secara acak ke teman-teman gue via Whatsapp sembari meminta doa agar gue dimudahkan dan tembus ke salah satu dari dua pilihan tersebut. Setelahnya, gue tertidur. 

Satu bulan kemudian, di tanggal 3 Mei yang bertepatan dengan hari lebaran, gue masih belajar. Kegiatan pembelajaran gue ga berhenti bukan karena gue gak mau ikut dalam acara keluarga. Tapi, keluarga gue sendiri juga ga ngapa-ngapain jadi mari manfaatkan waktu dengan baik. 

Di jam 9 pagi hari itu, gue mendapat panggilan berupa video call dari paman gue. Paman gue menyayangkan kenapa gue memilih pilihan kampus di luar Jakarta. Paman gue mendapat cerita itu dari nyokap gue, saat itu mungkin kalau masih bisa mengubah pilihan, gue akan terpaksa merubah pilihan gue ke kampus yang dekat dengan Jakarta kayak UNTIRTA di Banten. Masalahnya, jurusan yang gue inginkan ga ada disitu, makanya gue mencari kampus lain. Lagian sejauh apa sih Bandung itu?

Dari situ, gue menangis (sebenarnya ada hal lain yang gue tutupi, tapi karena menurut gue itu adalah hal yang gak bisa gue ceritakan, jadi alasan gue mewek adalah lebih dari itu). Gue paham, hal yang gue lakukan beresiko, tapi ayolah, gak ada salahnya untuk hidup sendirian. Toh, gue juga gak akan murni sendirian. Gue yakin, skill bersosialisasi gue masih oke dan gak bakalan otomatis jadi introvert akut atau no life disana. Minimal gue bisa bahasa sunda dikit-dikit lah (Fyi, sunda gue kasar dan Bandung kebanyakan pakai sunda halus).

Disaat gue mengakhiri video call dengan paman gue, gue langsung menghubungi teman-teman gue. Sebelumnya gue udah cerita ke salah satu teman gue dari ke tujuh orang yang ada di panggilan video kali itu. Teman gue ini dengan sengaja memancing-mancing agar gue bercerita ke mereka, tapi entah kenapa gue enggan.

"Kok bengkak Pit, matanya?" Tanya salah satu dari mereka, penasaran.

"Abis nangis yaaa?" Ledek mereka.

"Abis kegigit tawon" Balas gue, sambil sedikit terguncang akibat nangis yang belum tuntas.

"Bohong banget, mana ada ketumpahan minyak tawon sampe bengkak" Jawab salah satu dari mereka.

 kenapa gue dikasih temen bolot sih? Batin gue saat itu.

Gue menanyakan kabar mereka satu-satu dan mereka juga bercerita tentang apa yang mereka lakukan hari itu. Saat itu, teman gue yang kita sebut aja Dedes sedang berada di kampung halamannya.

"Des, lu lagi pulkam kan?" Tanya gue, memastikan.

"Iya nih, kenapa Pit?" Balas Dedes.

"Nitip winko babat dong, gue bm (banyak mau, lebih cenderung ke ngidam) winko babat tapi kan gue bukan orang Jawa (maksudnya gue dari suku sunda, gue asli Jawa Barat dan di Jawa Barat gak ada winko)

"Hah? Gue gak di Semarang, Pit. Tuh Shey lagi di Semarang" Tunjuk Dedes ke teman gue yang satu lagi ada di Semarang.

Saat itu, gue baru tau kalau winko babat dari Semarang.

Hingga di tanggal 9 Mei, gue mendapatkan winko. Bukan dari Dedes atau Shey, tapi dari Tantan yang bahkan gak pulang kampung sama sekali.

"Udah ye, Pit. Jangan sedih lagi, abisin sendiri aja jangan dibagi-bagi" Kata Tantan

Makasih Tan hehe...

Masih di keesokan harinya, gue gak bisa berhenti bersedih. Perasaan gue kala itu kayak hancur. Ibarat Kota Nagasaki-Hiroshima, hati gue bener-bener luluh lantak. Kaki gue kayak dipatahin. Dan disaat itu juga, gue berani cerita ke dua teman gue yang kita sebut saja Kacamata dan Kura-Kura. 

Di tanggal 4 Mei, Kura-Kura mengajak gue untuk bersilaturahmi di salah satu rumah teman kami. Entah kenapa, hari itu gue melupakan sejenak permasalahan dan kekesalan pribadi gue pada diri gue sendiri maupun orang lain. Di rumah Tasi (di sensor lagi), kita bercanda mengenai banyak hal. Waktu itu yang ikut ada Kura-Kura, Tantan, Ichi, Army, Dinda, Idang, gue, dan tentu saja yang punya rumah, yaitu Tasi. 

Barusan gue masuk ke dalam rumah, gue mendapati Tantan yang tengah murung.

"Pit, punya kutek warna hitam ga?" Tanya dia murung.

"Kenapa emang Tan?"

"Gue habis nabrak mobil, baret." Ucapnya sedih.

Gue hanya bisa ngomong "Gws" karena doi naik motor aja ugal-ugalan dan sekarang mau bawa mobil.

Di hari itu, gue senang (bukan karena Tantan habis nabrak mobil). Gue hampir melupakan masalah yang terjadi dua hari lalu. Tapi, kalau kita presentasekan, mungkin baru hilang 60%. empat puluhnya lagi, gue gatau harus gimana, jadi karena capek, gue tidur lagi tanpa belajar sama sekali. 

Besoknya, ternyata gue masih sesekali menitikan air mata. Walau intensitasnya udah ga sederas hari pertama dan kedua, tapi gue masih ga betah kalau kesedihan gue menyisakan bekas yang begitu dalam. Hingga hari itu, ternyata gue sadar kalau gue punya agenda di tanggal 6 untuk menonton KKN di Desa Penari bersama teman-teman gue sebelumnya. Gue rasa hal ini akan ampuh.

Benar saja saudara-saudara. Di hari itu, gue sangat terhibur. Dimulai dari abang Grab yang cerita kalau dia habis nganterin orang gila karena setiap ada pengendara lain, penumpang tersebut bakalan ngata-ngatain dengan kata kasar.

"Dia masa tiba-tiba bilang gini mbak, 'Gue mau makan nasi padang dulu, laper' Lah, lu aja pesennya Grab Bike bukan Grab Food, tolol' kan saya jadi kesel ya, mana pas turun ga mau bayar" Keluh abang Grabnya. Gue serasa penumpang tolol itu sekarang.

"HAHAHAHAHA, terus pak, endingnya dia bayar ga?"

"Bayar lah, saya paksa"

Setelah membayar uang ke abang grabnya karena takut dikatain, gue berlari munuju bioskop. Ternyata telat 10 menitan dan teman-teman gue juga menunggu di depan counter popcorn. Gue yang pura-pura lari langsung bilang,

"Tadi abang grab nya marah-marah, sorry ya gengs" Ucap gue, sebagai pengalihan isu. 

"Lo sih Pit, telat" Kesal Idang dengan nada becanda.

"Boong ege, lu barusan sampe, dia 2 menit lalu juga baru sampe" Terang Kura-Kura.

"Gajelas lo" Sinis gue, ngambek.

Hingga film selesai, kami pun keluar untuk mencari makan. Tapi karena ga ada yang cocok kita pindah tempat.

Sebenarnya gue bingung juga sama Tasi dan Ichi. Mereka nonton sambil saling menutupi mata satu sama lain. Entah apa yang mereka tonton. Tapi, hal itu gak gue tanyakan. Hal yang gue tanyakan adalah, 
"Gue takut deh kalo Tantan yang bawa mobil, kemaren baret, kemarennya lagi ga bisa nanjak, waktu itu dia juga kan yang bawa?"

"Itu gue tau Pit" Aku Ichi.

"HAAAH? KITA GA BAKALAN MENINGGAL KAN?" Teriak gue ketakutan. (Sebenernya engga teriak sih, dasar lebay)

"Nggak lah, gila" Cibir Ichi kala itu.

Sampai disana, kita saling menunggu. Kura-Kura dan Idang yang nyasar sedangkan gue, Tasi, dan Ichi lagi beli minum. Kita memutuskan untuk makan. Saat itu, yang gue lakukan adalah membuat sebuah isu tentang hubungan Kura-Kura dan Tasi. Gue mengupload foto dengan caption yang bikin geger satu sekolah. Fotonya sih sebenernya biasa aja, ada Kura-Kura yang lagi tersenyum manis sama Tasi yang menutupi mukanya. Tapi, gue tambahin bumbu sedikit dengan menuliskan "Jadi nyamuk". 

Foto itu gempar dengan banyaknya orang yang minta spall-spill. Hingga gue pulang, gak gue hapus foto itu, tapi gue tambahkan clue muka Tasi di foto selanjutnya. Orang-orang yang mengetahui gimmick yang gue buat kecewa pada akhirnya.

Pulangnya, gue diantar Idang. Gue juga sempat bercerita dengan Idang soal hantu di wilayah Ceger yang katanya bergentayangan di sebuah terowongan. 

Semilir angin jalan raya seperti penyembuh untuk luka-luka gue yang rasanya masih menimbulkan rasa nyeri di dada. Tapi, berkat mereka semua, rasa sakit itu gak lagi bersarang.

Malam itu, kesedihan gue rasanya tuntas. 

Gue sepertinya bisa untuk kembali belajar.

Hingga tinggal h-3 UTBK. Tepatnya di tanggal 17 Mei, gue mau survey ke UI yang menjadi tempat UTBK gue di tanggal 20 Mei. Tapi hal itu digagalkan karena kenalan gue via Telegram yang lagi-lagi kita sebut saja sebagai Rahmat, bilang kalau doi gak bisa ikut karena masih sekolah (Sungkem banyak-banyak sama sekolahnya yang masih nyekolahin anak murid di tanggal 17 tepat saat UTBK berlangsung). 

Jadi, gue sama Nad akan melakukan survey berdua untuk mencari tahu dimana lokasi tempur kita nanti. 

Rencana kami waktu itu adalah Nad pergi ke rumah gue, setelahnya kita akan berangkat bareng naik grab bike sambil menghitung berapa lama dari rumah gue ke UI menggunakan stopwatch, setelah itu turun di Halte FEB dan mencari gedung masing-masing. Nad waktu itu ada di FIT (untungnya dekat FEB). Lalu lanjut ke perpustakaan UI dan terakhir pulang.

Perjalanan dimulai. 

Saat Nad sampai ke rumah gue, gue bahkan belum mandi. Untungnya doi dengan sabar cuma bilang "belum mandi lu ya?" Beruntungnya doi ga langsung nabok gue pake topi yang gue minta dia untuk bawa hari itu. Gue buru-buru mandi dan ganti baju karena takut di tabok pake topi yang gue pinjam sendiri. Setelahnya, gue memesan Grab Bike bersamaan dengan dia dan untungnya dapatnya juga samaan.

Gak lupa, gue memasang timer saat itu.

Perjalanan masih diisi dengan percakapan absurd gue dengan abang grab.

"Mbak, kuliah ya?" Tanya Abang Grab-nya di tengah perjalanan.

"Engga, ini baru mau daftar buat tes UTBK aja" Sahut gue.

Sampai kira-kira di daerah Ciracas, tempat yang umum untuk ngebut, tiba-tiba Abang Grab-nya bertanya lagi,

"wrwrwrrw?" Kata Abang Grab (yang gue denger sih begitu)

"HAH?" Tanya gue, meminta kejelasan dari kalimatnya.

"Bayar berapa pendaftarannya?" Ulang Abang Grab-nya lagi"

"HAH, APA MAS? MAAF GA KEDENGERAN"

"BAYAR BERAPA MBAK PENDAFTARANNYA?"

Saat itu, gue mau menyerah. Angin berhembus was wes wos membuat telinga gue seperti disumpal angin. Dilema antara mau jawab ngawur atau tidak dijawab sama sekali. Saat itu, ada jeda sebentar. Mungkin Abang Grabnya juga sudah menebak bahwa gue ga mendengar sama sekali. Jadi, gue memberanikan diri untuk bertanya sekali lagi sebelum Abang Grab-nya ngamuk dan menabrakan diri ke angkot depan.

"SUMPAH MAS GA KEDENGERAN, TADI NGOMONG APA?"

"BAYAR PENDAFTARANNYA BERAPA MBAAAAK" Sahut Abangnya untuk yang terakhir kali. Kali ini intonasinya jelas karena dia menarik maskernya dengan tangan kiri yang otomatis membuat dia hanya memegang motor dengan satu tangan yang otomatis juga, kita berdua bakalan tabrakan dengan mobil angkot di depan kalau gue ga bisa jawab sekali lagi.

Karena sadar nyawa gue tinggal satu, gue memberanikan diri menjawab,

"OOOH DUA RATUS RIBU MAS"

Inilah akhir percakapan gue dengan Abang Grab.

Akhirnya, gue dan Nad sampai di Universitas yang kita impikan walau pilihan di UTBK kita berdua gak ada yang milih UI sama sekali. Baru masuk, kita bertanya langsung pada Bapak Penjaga disana dan diarahkan ke gedung yang kita tuju. Setelah kita berdua menemukan gedungnya, kita pun langsung beranjak ke Perpustakaan Universitas Indonesia.

Dengan mengandalkan Google Maps, gue dan Nad berjalan dari FEB ke Perpustakaan UI. Jauh. Banget.

Tapi karena energi kita masih semangat, jadi ga kerasa apa-apa (buat gue, gak tau Si Nad). Setelah bertemu halte, kita duduk sebentar. Disana, tiba-tiba ada bus warna abu-abu. Gue kira itu bis pariwisata, tapi kok berhenti di depan gue? Gue kan gak mau pariwisata. Akhirnya, kita mengabaikan bus itu dan pergi ke perpus. 

Sialnya, di perpustakaan gak diizinkan masuk kalau bukan mahasiswa. Jadi, gue hanya bisa duduk-duduk disana dan shalat di musholanya. Sambil duduk itu, gue memperhatikan kios yang menjual semacam pernak-pernik serba UI. Ada mulai dari payung, sepatu, baju, botol minum, dan perintilan-perintilan lain yang berkaitan dengan Universitas Indonesia. Munculah pemikiran absurd lain,

"Nad" Panggil gue, Nad waktu itu lagi main Hp, jadi gue meminta fokusnya sebentar.

"Lu mau gak Nad, pake baju itu?" Tanya gue sambil menunjuk sebuah kaos berwarna hitam dan di tengahnya ada tulisan 'Yellow' yang berwarna kuning dan berukuran besar. Setelah gue pikir-pikir, kaos ini krisis identitas. Warna dasarnya hitam, kenapa ditulis Yellow?

"HAHAHAHA ANJ, GAK LAH" Tawa Nad saat itu.

"Eh tapi Pit, kalau gue keterima UB (Universitas Brawijaya), gue mau deh pake payung UI sambil pake jaket almamater UB" Tambah Nad, menghayal.

"HAHAHAHAHA ANJ" Sekarang gantian gue yang ketawa.

Setelah itu, kita berniat untuk mencari kantin. Tapi sayangnya kantin disana ramai dan yang gue lihat cuma menjual minuman aja. Karena rasa malu lebih besar daripada rasa lapar, kita memutuskan untuk pulang. Tapi masalah baru muncul, pulangnya gimana?

Nad saat itu udah capek, jadi dia berniat memesan Grab Car, padahal kalau mau jalan juga gue hayuk-hayuk aja. Tapi karena dia capek, jadi gue ajak untuk ke tempat duduk semula dan memesan Grab di dalam sana. Naasnya, Grab yang kita pesan gak ada yang mau angkut. Entah ga ada angin ga ada hujan, Nad cerita soal temannya yang saat ini udah kuliah di UI, namanya Dzaki. 

Dzaki ini tadinya sekelas sama Nad di SMA-nya, tapi entah kenapa (gue lupa kenapa) Dzaki duluan jadi maba dan kuliah di kampus yang lagi gue datangin sekarang. 

Gak ada angin gak ada hujan, Nad tiba-tiba bilang,

"Ayo Pit, orangnya udah di depan" Ajak Nad ke gue

"Hah? Siapa? Grab?"

"Bukan, yang tadi gue ceritain itu loh, Dzaqi"

"HAH? KENAPA GA BILANG?" Kesal gue, tapi diabaikan oleh Nad, gue pun ikut melangkah keluar bersama dia untuk menemui orang asing yang gue gak tau siapa dan harus apa.

Seperti yang lu tau, gue adalah introvert. Gak mudah untuk gue akrab dengan orang baru. Sekadar basa-basi, okelah. Tapi ini masalahnya gue belum menyiapkan basa-basi ke Dzaqi ini.

Sampai di depan, gue melihat Nad berdadah ria dengan mobil di depan yang mencari arah untuk minggir. Gue mengikuti Nad yang tersenyum sumringah sedangkan gue masih memproses kata-kata apa yang akan gue utarakan nanti.

"HAIII, UDAH LAMA DISINI?" Tanya Dzaqi, excited.

"ENGGA KOK BARUUUUU" Timpal Nad, gak kalah excited-nya.

"Gue masuk ya" kata gue, datar.

"Oh iya" Ujar Dzaqi mempersilahkan.

Dzaqi dan Nad pun berdua di bangku depan. Mereka membicarakan hal yang gak aneh sih, sekadar Universitas. Tapi saat itu, gue masih memproses kata-kata dan melamun sejenak, sampai lamunan gue dipecahkan oleh Dzaqi,

"Haaaiiii, nama kamu siapaa?' Tanya Dzaqi, sok ramah.

"HAHAHAHAHA" Gue dan Nad refleks tertawa

"Dzaq, lo gitu banget sih kenalannya" Protes Nad

"Ya habis gimana lagi?" Keluh Dzaqi saat itu.

"Hahahaha... Nama gue Ipit, btw Dzaq, kok lu kuliah duluan sih?" Tanya gue tiba-tiba

"HAHAHAHA Jadi gini...." Terang Dzaqi saat itu dan gue hanya bisa ber-oh-ria mendengar penjelasannya.

Gue ingat banget saat itu, Nad ngadu ke Dzaqi karena gue ajak jalan dari perpustakaan ke stasiun. Yang langsung Dzaqi bego-begoin gue saat itu. Gue pun gak mau kalah,

"Tapi lo tau gak Dzaq? Temen lu dulu mau masuk IPA, pas gue tanya, emang lo mau jadi apa? eh dijawab sama dia mau jadi ilmuwan" Cerita gue ke Dzaqi.

"WAHAHAHAHA ANJ ANEH BANGET" Tawa Dzaqi.

"Sekarang mampus lo linjur" Kata gue, mencibir.

"Lah lo linjur, Nad?" Tanya Dzaqi lagi.

"Iya"

"Mau ngambil jurusan apa emangnya?"

"Hukum"

"BWAHAHAHAHA" Tawa gue dan Dzaqi berbarengan.

Kami diajak berkeliling Universitas Indonesia saat itu. Dzaqi memperkenalkan kami dimana vokasi, lalu gedung rektorat, kuburan bis kuning (setelah gue tau, ternyata bis di UI pun krisis identitas. Iya, bus abu-abu yang gue kira bus pariwisata tadi, ternyata aslinya adalah bis kuning), kosan, tempat BEM, dan terakhir hutan UI dan segala keangkerannya. Dzaqi juga bercerita bahwa danau di UI ada lima dan dari inisial namanya, kalau digabung akan menjadi KAMPUS. Cukup berfilosofis.

Ada juga tentang demo kepada rektorat yang terjadi di dalam UI sendiri. Gue pun lagi-lagi menimpali dengan pertanyaan konyol,

"Terus, kalau demo di dalem gitu, perizinannya kemana?"

"Ya langsung, kan dibolehin"

"Nah, dibolehinnya itu sama siapa? Katanya rektoratnnya yang di demo, kok rektoratnya ngasih izin?"

"WAHAHAHAH IZINNYA BUKAN SAMA REKTORAT YANG DI DEMO LAH" Tawa Dzaqi

"Tau ih, Ipit bego, ngapain minta izin ke yang di demo, gak bakal diizinin lah" Keluh Nad

Hingga di tengah kemacetan karena antrean pintu keluar, gue bertanya lagi dengan Dzaqi. 

"Dzaq, lu pernah gak make kaos 'yellow'?"

"Oh, Almamater? Pernah" angguk Dzaqi.

"Bukan, bukan almamater" bantah gue.

"Ini loh Dzaq, tadi kita di perpus liat ada merchandise, ada kaos warna item di tengahnya tulisannya yellow gede-gede" Kata Nad, menjelaskan.

"Nah iya, lu pernah pake ga?" Tanya gue sekali lagi.

"WAHAHAHA APA ANJIR ALAY BANGET, GAK LAH!"

"Yah, lu harusnya pake Dzaq, lu gak pake stiker di belakang mobil yang tulisannya 'We Are The yellow Jacket' ?" Tanya gue, sambil memeriksa belakang mobil, dan syukurnya emang gak ada.

"Gak lah, gak mau, Alay" Kata Dzaqi.

"Tuh, cita-cita temen lu, mau pake payung UI di UB kalo keterima UB" Tunjuk gue ke Nad.

"Anjir aowkowk apa banget dah"

Setelah diantar sampai stasiun, gue dan Nad pun berterima kasih pada Dzaqi atas tumpangan dan cerita mengenai UI yang sudah dia ceritakan pada kami. 

Setelahnya, gue pulang dengan kereta. Mengingat kembali apa yang sudah terjadi belakangan ini, gue mengingat dan membayangkan di tengah penyebrangan rel kereta api,

"Kok seru sih Nad? Kayaknya kalo gue jalan sama temen SMA gue, gue bakalan kelindes kereta deh saking bad trip-nya" Keluh gue, sambil membandingkan perjalanan yang gue lakukan dengan ke tujuh teman SMA gue (Next time mungkin bakalan gue ceritain).

Nad hanya tertawa tipis. Hingga akhirnya, kereta jurusan Duren Sawit muncul. Kita berencana turun di Stasiun Kalibata. Btw, ini pertama kali gue dan Nad naik kereta. Bisa dilihat dari kenorakan kita yang pertama (atau cuma gue),

Saat itu, gerbong tengah penuh. Nad menyarankan kita untuk maju ke gerbong depan. Saat gue buka pintu gerbongnya, kok keras? Seorang ibu-ibu yang paham akan kesulitan kami berkata,

"Di geser dek"

Gue menggeser pintunya

"Gak bisa bu"

"Tadi satpamnya bisa kok"

Gue masih mencoba, hingga bapak-bapak yang berada di depan ibu-ibu tadi juga berkata,

"Coba didorong"

Gue pun mendorong

"Tetep gak bisa pak"

"Coba sini" Kata Nad mencoba mengambil alih.

Mudah saja, pintunya terbuka dengan digeser.

"Yeee Ipit" Kesal Nad yang dibarengi dengan "TUHKAAN" dari seorang Ibu dan Bapak tadi berbarengan.

Gue cuma bisa ber-hehe sejenak dan buru-buru mengikuti Nad ke gerbong depan (masih dengan tragedi tas nyangkut di pintu gerbong)

Kereta saat itu ramai. Gue hampir gak kebagian tempat duduk karena katanya satu tempat duduk hanya bisa diisi lima orang. Hingga akhirnya sampai, kita pun keluar dari stasiun. Disana, banyak jajanan yang siap untuk dimakan. Pilihan pertama kala itu adalah soto mie bogor. Baru mau memesan, tiba tiba hujan turun tanpa permisi.

Gue terpaksa kembali ke pintu keluar stasiun untuk berteduh sambil sesekali mengintip hujan karena lapar dan  jajanan disana adalah satu-satunya penyelamat perut. Soto mienya pergi untuk meneduh juga, tapi tidak jauh, dia berteduh di bawah fly over. Sambil menunggu reda, kami berjalan membeli siomay. Untungnya hal itu bisa meredakan rasa lapar sementara. Setelah habis, lamunan gue kembali dipatahkan oleh Nad,

"Pit" panggil Nad yang akhirnya memecahkan fokus gue.

"Kan kita bawa payung, ngapain nunggu?"

"Oh iya" 

kami pun menyusul abang-abang tukang soto mie di bawah fly over yang berjarak kurang dari lima ratus meter dari pintu keluar stasiun. Kami makan bersama dengan para driver Gojek dan Grab yang sama nasibnya dengan kami. Sama-sama kehujanan dan mencari tempat berteduh. Tapi untungnya, soto mie mengubah nasib naas gue dan Nad. Hingga kata ini keluar dari mulut Nad,

"Hari ini seru ya?' Kata Nad, sembari tersenyum

Gue hanya mengangguk tanpa merespon karena rasa soto mie ini enak banget.

Masih belum kenyang, Nad mengajak gue untuk berteduh ke Kalibata Mall. Kami makan donat dan minum kopi lagi, baru setelahnya kami memutuskan untuk pulang.

Saat sampai di rumah, gue kembali belajar dan mengingat-ingat lagi apa yang telah gue lalui selama ini. Dari awal sampai akhir, gue selalu dikelilingi oleh teman-teman gue. Kembali ke kesedihan, gue merasa bahwa luka gue sembuh sempurna. 

Jadi, terima kasih untuk semuanya yang telah mendukung gue sampai di titik ini, gue mengakui bahwa dukungan sekecil apapun berharga di saat itu.

Walaupun tulisan ini gue buat sesudah UTBK, tapi gak menjadikan gue lupa untuk berterima kasih kepada kalian semuanya. Terima kasih banyak, ya~😄










Komentar

Ê• •á´¥•Ê”