Cikurai 2821 mdpl

"Bapak kenapa sih, suka naik gunung?" Tanya gue yang saat itu masih kelas 5 SD. Pertanyaan itu gue ajukan pada wali kelas gue yang punya hobi naik gunung.

"Gini deh, apa yang kamu rasain kalau matahari tepat di atas kamu dan sinarnya pas di depan mata kamu?" Tanya beliau kembali.

"Panas?" Jawab gue tidak yakin.

"Salah, kamu harus naik gunung dulu berarti" Balasnya sembari berlalu.

----------------------------------------------

Hai guys, it's me, Pit!

Gak terasa waktu berlalu begitu cepat sampai-sampai musim hujan di Bulan November ini kembali datang lagi. Kalau dibilang gue senang atau engga, di satu sisi gue senang karena November adalah bulan yang gue tunggu-tunggu. Selain karena musim hujannya, gue juga akan berganti usia di bulan ini. Gak senangnya, gue harus mulai menggarap skripsi dan menentukan tujuan hidup, sementara gue belum puas senang-senang di masa muda gue sekarang. 

Sebuah doa yang selalu gue panjatkan setiap tahunnya di Bulan November, semoga gue mendapatkan kejadian-kejadian luar biasa yang akan bisa gue terus ingat dalam kepala ini. Anehnya, manifestasi tersebut selalu terjadi. Contohnya, November bulan lalu gue nge-mc sama anak punk yang hobi moshing. Hal tersebut tentunya jauh di luar nalar gue. Makanya, November 2024 ini, gue penasaran, hal konyol apa lagi yang akan terjadi?

Belum ada satu bulan, baru 6 hari November ini berjalan, gue sudah mendapatkan kejadian super konyol. Iyap, gue akhirnya nanjak gunung setelah penantian gue dari kelas 5 SD. Sebenarnya kalau dibilang gue gak punya motivasi atau gue ikut naik gunung karena gue stress adalah salah besar. Alasan paling pertama dan utama gue mau ikut adalah tentunya untuk menjawab pertanyaan wali kelas gue saat itu mengenai 'apa rasanya ketika matahari tepat berada di atas kepala lu?'

Sejak gue SMP bahkan SMA, gue sangat ingin pergi ke gunung. Cuma, gue gak pernah mendapatkan kesempatan itu. Di satu sisi gue adalah anak strict parents yang pasti untuk izin dan segala macamnya sulit, di sisi lain gue gak pernah mendapatkan teman dan kesempatan untuk ke sana. Saat SMA bahkan gue rela masuk Pramuka karena tertarik dengan embel-embel naik gunungnya walau saat itu tiba-tiba Covid-19 menyerang yang alhasil ambisi gue untuk naik gunung sepertinya harus gue redam entah sampai kapan.

Hingga akhirnya, HI Unpad kembali membawa gue pada komunitas pencinta alam bernama SIRNA. 

Gue sering banget ikut kegiatan SIRNA. Terakhir kali gue selalu mendayung sih, gak pernah ikut naik gunungnya. Seingat gue, SIRNA pernah mengadakan agenda naik gunung saat bulan Desember 2022 yang mana saat itu tengah libur kuliah dan gue posisinya ada di Jakarta. Jadi, lagi-lagi gue kehilangan kesempatan tersebut. Lalu, tiba-tiba ada sebuah kabar di 2024 Oktober bahwa SIRNA akan mengadakan kegiatan hiking ke Gunung Ceremai, gunung tertinggi di Jawa Barat. Tentulah gue bersemangat.

Di tengah huru-hara kehidupan kuliah dan rasa penasaran yang sudah gue pupuk sejak dulu, apa lagi yang harus gue tunggu? Akhirnya gue bilang ke Sabriani, ketua SIRNA saat ini, bahwa gue siap untuk ikut. Toh, nanti juga kita akan ditemani oleh dosen yang terbiasa untuk mendaki yaitu Kang Zahid dan Pak Dadan. Tapi, Kang Zahid memberikan syarat bagi yang ingin ikut yaitu minimal olahraga 3x seminggu.

Siap. Hidup siap matipun siap. Apapun gue lakukan untuk naik gunung. 

Hingga akhirnya, rencana untuk naik gunung di Bulan Oktober harus diundur ke bulan November tanggal 2. Alasan pengunduran tersebut adalah karena Pak Dadan khawatir ada wisuda di Oktober, walaupun akhirnya wisuda diundur lagi di minggu ketiga November ini. 

Selain persiapan fisik, gue juga mempersiapkan peralatan. Gue meminjam peralatan mulai dari tas carrier 60 liter, nesting, kompor, hammock, pisau, matras, head lamp, sampai sleeping bag ke Paung, teman KKN gue yang juga ketua SAR Unpad dan otomatis mengenal Kang Zahid karena sesama anak SAR. Gue ingat waktu itu pernah bilang,

"Gue juga sering dulu ngedayung di danau Unpad"

"Sama siapa, Pit?" Tanya Paung

"Sama Kang Zahid waktu itu diajak" Jawab gue

"Lah kenal?" Kaget Paung

Ya jelas kenal, dia dosen gue di mata kuliah Enviromentalisme plus kita sama-sama anak HI 😭

Back to preparation sebelum ke Cikurai.

Gue akhirnya hanya menyewa sepatu dan rain cover untuk tas carrier karena hanya 2 itu saja yang kurang. Trekking pole gue dapatkan dari Sabriani. 

Setelah logistik dan perlengkapan aman, gue akhirnya tertidur di jam 12 malam untuk nantinya bangun kembali jam 4 subuh ke FISIP Unpad karena itulah titik kumpul kami. 

Tapi, sebelum gue tidur. Gue kembali packing dan mencoba mengangkat carrier gue yang kelihatannya tampak berat itu. Benar saja, muncul rasa ragu dalam diri gue. Bisakah gue membawa tas ini sampai ke atas? Apalagi, gue di sini jarang bahkan gak pernah mengangkat beban lebih dari 5 kilogram sebelumnya. Pernah mungkin kalau lagi ada di situasi-situasi tertentu, tapi ini? Ah udahlah, gue gak mau overthinking berkepanjangan. Gue lebih memilih untuk tidur dan menyerahkan sisanya kemudian.

Hingga gue terbangun pukul 4 pagi akibat suara alarm yang berisik. Untungnya gue adalah orang yang sensitif pada suara sehingga gue gak perlu pusing grasak-grusuk karena telat. Pagi itu gue mandi dengan santai karena agenda kumpul di FISIP Unpad pukul 5 pagi. Jadi, gue masih punya satu jam untuk bersiap-siap. Setelah mandi dan berpakaian, gue kembali memeriksa barang bawaan, takut ada yang terlupa. Setelah semua dirasa siap, gue akhirnya memesan gojek dan mencoba mengangkat tas carrier 60 liter untuk pertama kali. 

"Kok berat?" Batin gue saat itu. Gue memang tidak terbiasa membawa beban apapun ke mana-mana, bahkan laptop pun sering gue tinggal di rumah karena dirasa berat. Jadi, bawaan beban di punggung gue menjadi hal baru dan tentunya menyiksa. Tapi, gue hanya menghiraukan hal tersebut karena gue kembali berpikir,

"Ah, nanti juga terbiasa"

Hingga akhirnya pukul 4.57 gue sampai di FISIP. Dugaan gue ga pernah salah, pasti orang-orang banyak yang telat.

Sampai di sana, gue hanya melihat satu buah mobil putih terparkir dengan Kang Fais yang sedang mengobrol dengan Pak Satpam

"Mana? Katanya kumpul jam 5?" Tanya Pak Satpam Fisip ke Kang Fais

"Itu udah dateng satu" Ujar Kang Fais menunjuk ke arah gue

"Baru kita doang, Bang?" Tanya gue

"Ada Ajung tuh di dalem" Balasnya lagi ke arah mobil

Untuk gue yang baru saja tidur 4 jam, kepala rasanya pusing. Bukan habit gue sebenarnya tidur dengan waktu sebentar. Mungkin akan jadi biasa saja kalau gue tidur dengan jeda waktu dan kalau ditotal bisa sampai 8 jam. Tapi, dari kemarin gue sibuk menyiapkan persiapan jadi gue ga bisa istirahat sama sekali dan baru bisa tidur di jam 12 malamnya. Akhirnya, sembari menunggu yang lain, gue berjalan ke bangku prodi dan mencari tempat paling wuenak untuk tidur. Dengan bantal beralaskan senderan kursi yang telah patah, gue akhirnya tertidur sebentar. 

Tidur yang gue maksud di sini adalah bukan tidur yang lelap ya, jadi gue masih bisa merasakan sayup-sayup suara Hamemayu dan Obas yang baru datang. Beberapa kali juga mereka bingung, siapa yang tidur di meja prodi dan tas siapa yang ada di depan pos satpam. Sampai akhirnya mereka sadar bahwa itu adalah gue.

Tidur yang bukan tidur itu akhirnya harus terbangun kala Kang Zahid datang menghampiri gue. 

"Saya kira belum dateng" Ucap Kang Zahid

"Dari jam 4, Kang, saya di sini" Jawab gue sembari menggeser topi yang menutupi wajah gue

"Briefing dulu, yuk" Ajak Kang Zahid

Akhirnya, gue kembali ke bawah untuk ikutan briefing. Karena gue merasa semua belum kumpul, jadi gue mencuri kesempatan untuk makan roti pisang yang kemarin gue beli di Griya. 

Saat makan itu, Ocha datang dan tidak lama kemudian Chalila yang akhirnya disusul Sabriani yang katanya baru bangun dan langsung panik karena telat. 

"Jadi, nanti Pak Dadan kayaknya telat, kalau beliau telat nanti kalian duluan aja, ketemu di basecamp" Ucap Kang Zahid singkat sementara kami hanya mengangguk mengiyakan.

"Nanti juga kita bakalan ditemenin sama Bang John dari Wanadri. Nah, Wanadri ini adalah salah satu organisasi pecinta alam tertua di Indonesia. Udah ada dari tahun 1964" Lanjut Kang Zahid

Kang Zahid juga bercerita ke gue kalau Bang John ini nama WhatsApp-nya Wick. Jadi kalau digabung namanya jadi John Wick. Gue hanya terkekeh saat tau fakta tersebut. Bisa-bisanya.

Setelah memberikan briefing singkat tersebut, Pak Dadan tiba-tiba datang dengan mobilnya. Setelah keluar dari mobil, beliau berkata,

"Saya hari ini ga jadi ikut, lagi sakit" Ucap Pak Dadan

"Hah? Sakit apa, Pak?" Tanya gue

"Alergi, nih badan saya gatel-gatel semalem makan emping dari istri saya" Ucapnya lagi sembari menggaruk-garuk badannya.

Kekecewaan muncul dalam kepala gue karena gue punya intensi untuk mengajak Pak Dadan tanding catur di atas gunung, sampai akhirnya gue bertanya ke Kang Zahid,

"Kang, itu Pak Dadan beneran?" 

"Bohong" Kekeh Kang Zahid

"Yeeeeh" Kesal gue

Setelah Pak Dadan datang, kami berfoto dulu di depan gedung Fisip dan membuat video slogan "Berjuang dalam satu nama, HI HI HI!"

Gak mau kalah, kelompok gue alias Cikuray's Gurl foto juga dong 😋


Selepas foto, kami semua akhirnya membereskan barang bawaan kami ke dalam angkot dan berangkat. Tapi, saat mau berangkat tiba-tiba,

"Eh, dompet gue ketinggalan" Ucap Sabriani

Akhirnya, Sabriani pulang dulu ke kostnya di antar Obas dan kembali lagi ke FISIP.

Setelah semua huru-hara selesai, kami akhirnya naik ke angkot. Angkot tim gue lenggang. Hanya ada Naufal dan Hememayu yang duduk di sebelah Pak Supir, walau akhirnya Hamemayu pindah ke belakang karena Naufal kesempitan, lalu ada gue, Ocha, Sabriani, dan Chalila beserta tas kami ber-6. Sementara di angkot satu lagi ada Revo, Fajar, Bang Fais, Bang Ajung, Isa, Obas. Kami mengisi bensin dulu di SPBU depan kampus, tapi tiba-tiba Obas datang memberi kabar,

"Kak Sab, aku ke kost dulu ya di Kampung Geulis, soalnya sosis ketinggalan"

Kami semua yang sudah malas dengan drama yang terjadi hanya bisa membiarkan dan misuh-misuh tipis. Toh, kami berangkat duluan ini. 

Hingga akhirnya kami melanjutkan perjalanan dengan pintu angkot yang tidak bisa ditutup sehingga harus diganjal dengan satu tas yang berat. Perjalanan memakan waktu hampir 3 jam dengan medan yang berkelak-kelok yang tentunya hampir membuat gue pusing dan muntah. Tapi untungnya di pagi itu gue belum makan banyak jadi aman. Sampai akhirnya, kami mampir di sebuah warteg daerah Garut untuk membeli nasi dan lauk. Nasi tersebut nantinya akan kami masak untuk malam nanti. Sembari yang lain membeli makanan, gue akan mencoba untuk ke kamar mandi. Sayangnya, gue tidak bisa membuang hajat di sembarang tempat. Belum lagi sudah 2 orang yang mengetuk pintu kamar mandi yang membuat gue tidak tenang. Jadi, mari sudahi saja. 

Saat di luar, gue melihat Sabriani yang kebingungan apakah harus membelikan makanan untuk supirnya atau tidak, sementara supir angkot tersebut sudah minta tambahan uang untuk bensin dan kabarnya akan minta lagi karena tau akan menginap. Maka, atas pertimbangan tersebut gue dan yang lain setuju untuk tidak usah membelikan makanan. Bukan apa-apa, tapi kami juga punya rasa kecewa atas perbedaan harga dari kesepakatan diawal. 

Setelah selesai membayar, kami kembali naik angkot dan melanjutkan perjalanan. Kami akhirnya belok kiri ke sebuah gang bergapura. Gue kira sudah dekat tapi ternyata masih jauh. Hingga gak lama tiba-tiba Chalila teriak "INI KAMPUNG GUE!" Yup, kita melewati rumah neneknya Chalila. Suatu kebetulan yang ternyata dari rumah neneknya Chalila tersebut, gak jauh lagi menuju Gunung Cikurai. Kami hampir sampai, namun maps menunjukan arah yang salah. Yang harusnya kami belok ke kanan malah ke kiri. Alhasil, kami harus menunggu mobil lain lewat dan memutar balik. Setelah itu baru kami sampai dan menurunkan barang-barang kami di depan sebuah rumah yang asri dan memiliki kolam ikan beserta semak-semak pohon di atasnya. Gue dan Sabriani yang tengah duduk di saung yang tepat berada di depan kolam ikan tiba-tiba didatangi oleh Kang Zahid.

"Isi dulu nih." Ucap Kang Zahid sembari menyodorkan sebuah kertas berisi nama-nama perlengkapaan dan barang bawaan

"Kalau di gunung-gunung kayak Rinjani, Semeru, atau gunung-gunung gede lah, itu harus persis ngisinya. Dateng bawa berapa, pulang sampahnya harus sesuai. Kalau di sini mah kayaknya formalitas aja" Ucap Kang Zahid

"Kalau di sana, semisal sampahnya kurang gimana, Kang? Ada konsekuensinya?" Tanya gue penasaran

"Ada, ada yang denda atau disuruh push up. Macem-macem. Dulu saya sampah tolak angin ilang, cuma akhirnya ketemu karena keselip, jadi gak kena apa-apa deh" Cerita Kang Zahid yang akhirnya menyembuhkan rasa penasaran gue. 

Kang Zahid akhirnya kembali ke basecamp sementara gue dan Sabriani sibuk mengisi jumlah peralatan dan barang bawaan. 

Setelah selesai, gue mengantarkan kertas tersebut ke basecamp sementara Sabriani melakukan repacking barang karena di dalam tasnya terdapat tenda yang akan dikeluarkan. Ternyata kami membawa porter. Porter di sini nantinya akan membawa barang bawaan kami ke pos 3 tempat di mana kami berkemah seberat 20kg. Jadi, air mineral 3 liter yang gue bawa hanya tersisa 1,5 liter. Tapi, percuma sih, masih berat. Setelah itu, gue mengeluarkan kompor karena katanya akan menggunakan kompor Sabriani saja. Tapi, karena takut hilang, jadi gue mengembalikan kompor tersebut ke dalam angkot cowok karena cuma angkot itu yang lewat. 

Setelah siap, gue memakai selendang yang diberikan oleh Laura di atas topi karena takut-takut gue kena heat stroke dan pingsan di jalan karena kepanasan. Apa lagi baju dan celana yang gue pakai pendek, jadi antisipasi dan bisa buat lap keringat juga, hehe.

Setelah semua siap, kami ke luar dan berfoto lagi di depan basecamp

Setelah itu, kami berangkat ke pos 1 menaiki ojek. Ojek membawa kami melewati perkebunan yang menanjak. Sedikit basa-basi gue lontarkan ke bapak ojeknya. 

"Pak, kalau itu gunung apa? Cikurai?"

"Oh, bukan Neng, itu Gunung Papandayan sebelahnya Gunung Karacak" Jawab Bapaknya.

"Howalaa" Ucap gue singkat

"Emang Neng-nya dari mana?" Tanya Bapaknya lagi

"Kita dari Jatinangor semua, Pak. Anak Unpad"

Setelah oh panjang, keheningan menghampiri kami berdua. Hingga tak lama kemudian, kami sampai di pos 1. Di pos 1 ini terdapat sebuah pos ronda yang kosong dan tulisan "Pos 1" dengan jalanan yang sudah dibeton walau masih ada pasir halus di sekelilingnya. 

Kang Zahid akhirnya meminta kami untuk melepaskan tas carrier kami semua dan melakukan peregangan otot. Setelah itu, ia memberikan tutorial bagaimana memakai carrier secara benar.

"Bagian bawah zip-nya harus dipinggang atau maksimal dipinggul, biar kenapa? Biar bebannya ga di pundak tapi di pinggul" Jelas Kang Zahid. 

Pendakian pertama kali ini memang bukan main. Selain dapat kegiatan alamnya, gue juga banyak mendapat ilmu mengenai pendakian dari Kang Zahid. Setelah semua siap dengan tas carrier yang sudah terpasang, akhirnya kami semua berjalan satu baris dibelakang Kang Zahid untuk menuju ke pos 1. Kang Zahid lagi-lagi mengajarkan kami tentang "Interval" Jadi, ada waktu istirahat sama dengan waktu kami berjalan. Kalau kita jalan 2 menit, berarti istirahat 2 menit. Begitu seterusnya. Selain itu, ada juga istirahat panjang dan istirahat pendek. Di istirahat pendek, kami hanya boleh untuk berhenti sejenak tanpa duduk atau minum, sementara di istirahat panjang sebaliknya. 

Kami akhirnya banyak melalui pendakian yang tentunya menguras tenaga. Dengan istirahat panjang dan pendek yang tak terhitung jumlahnya dan sudah berapa banyak gue melepas tas carrier dan minum di istirahat pendek, akhirnya kami sampai juga di pos 2. Di pos 2 ini, terdapat sebuah warung makan yang menjajakan makanan seperti gorengan, mie goreng, sampai minuman segar. Tentunya, gue kembali semangat karena diberikan waktu 30 menit untuk beristirahat. Gue langsung memesan Marimas anggur dengan es di dalamnya. Ah, panas-panas begini, warung tersebut seperti oase di tengah padang gurun. Tapi, ini bukan fatamorgana, ini nyata!

Gue akhirnya meminum es anggur tersebut  ditemani sebuah sosis sembari duduk di atas batu besar, sampai-sampai Bang Ajung penasaran,

"Ko minum apa, Pit?" Tanya Bang Ajung dengan aksen khas Balinya. 

"Anggur, Bang" Jawab gue sembari mengangkat gelas ke arahnya

Yang langsung diketawain yang lain

"Si eta belum ke puncak nggeus lieur (Dia belum ke puncak udah pusing)" Ucap Naufal yang langsung ditertawakan yang lain. 


Saat gue tengah minum dengan santainya, Kang Zahid datang dan bercerita bahwa John Wick sudah sampai di pos 3 karena dia naik ojek dari basecamp ke pos 2 dengan harga yang bukan main harganya, yaitu 100 ribu. Sementara tadi kami dari basecamp ke pos 1 hanya 20 ribu.
 
Saat tengah minum itu juga, di sebelah gue juga terdapat orang asing yang ternyata datang jauh-jauh dari Jakarta Selatan.

"Dari mana, Bang?" Tanya gue
"Jakarta" Jawab abangnya
"Jakarta mana?" Tanya gue lagi, penasaran
"Selatan, Blok M" 
Setelah itu, dia pamit berangkat duluan sedangkan rombongan kami masih memiliki waktu 13 menit untuk beristirahat. 

Setelah waktu habis dan es anggur di tangan gue juga habis, akhirnya kami melanjutkan perjalanan. Medan dari pos 2 ke pos 3 ternyata lebih ekstrem. Dengan beban beratnya setara beban hidup, gue harus memikul beban tersebut melalui turunan, tanjakan, jalan setapak yang salah napak dikit bisa jatuh ke jurang. 


Hingga akhirnya, gue udah ga kuasa lagi. Setiap istirahat apapun entah panjang atau pendek gue akan melepas carrier gue dan minum. Sementara Sabriani sudah tidak kuat lagi sampai-sampai carrier-nya dibantu dibawakan oleh Pak Dadan. 

Ga lama kemudian, rintik hujan yang sedari awal kami abaikan makin lama semakin besar sehingga istirahat tidak lagi menjadi prioritas. Prioritas kami adalah sampai dengan keadaan kering. Hingga akhirnya, Pak Dadan yang tiba-tiba menjadi paling depan berkata 
"Tuh denger, berisik-berisik. Itu pasti camp" Ucap Pak Dadan yang tentunya menghibur keletihan gue saat itu.
Benar saja, tidak lama kemudian, kami akhirnya sampai di camp. 


Sementara tenda sudah terpasang rapih, gue langsung masuk ke tenda dan mengganti baju gue yang sudah dipenuhi oleh tanah dan keringat. 

Setelah itu, gue dan yang lain menggelar matras untuk kami tidur. Awalnya posisinya adalah menghadap pintu, tapi karena tenda miring ka bawah, jadi kami sepakat untuk tidur dengan carrier di kaki dan kepala di dekat pintu dengan urutan Ocha yang paling dekat pintu, di sebelahnya ada gue, Chalila, lalu Sabriani. 

Saat itu juga tenda kami bocor. Saat gue menaruh jaket Naufal yang gue pinjam yang bertuliskan "Don't tell Mama about last night" ternyata agak lembab dan dingin. Anehnya, gue bisa tidur dengan kain dingin tersebut dibantu dengan jaket gue yang gue letakan di kaki. Gue dan Chalila tertidur sampai akhirnya saat terbangun kami melihat ada Pak Dadan dan Kang Zahid di depan tenda,


"Udah tutup aja pintunya"
"Hehehe... Gak apa apa, Pak" Balas gue setengah sadar. 

Saat itu, gue udah gak bisa tidur lagi. Gue keluar dan melihat pemandangan walau sayangnya tertutup kabut.



Gue bertemu Ocha saat itu, langsung saja gue mengajak Ocha mengeksplor tempat kemah dengan berkunjung ke satu warung yang letaknya ada di paling atas. Gue akhirnya memesan mie goreng telur  sementara Ocha yang lebih memilih sibuk foto-foto. Tidak sengaja, gue menumpahkan segelas teh yang tinggal setengah, gak tau punya siapa, dan letaknya ada di belakang gue. Lalu, satu orang asing berkata "YAAAAAH~" Gue pun panik, gue kira itu punya dia, lalu gue tanya,

"Punya akangnya?"
"Bukan"
"Yeh~"

Hingga belum habis mie goreng gue, tiba-tiba Kang Zahid datang. 
"Loh, Kang, ngapain ke sini?"
"Jemput kalian"
"Ngapain di jemput? Kan deket ini"
"Engga, sekalian survei"

Di saat gue tengah menikmati mie goreng dan telor ditengah syahdunya hujan, 
 

gue merasa terganggu dengan suara dari arah camp yang saling bersaut-sautan

HUWU~ HUWU~

Lantas, rasa penasaran ini membawa gue untuk bertanya pada Kang Zahid,

"Kang, itu tuh apaan sih? Dari awal kita sampai di camp saut-sautan, biar apa, Kang?" Tanya gue kesal
"Itu tuh kalau pendaki zaman dulu sebenernya berguna buat nyari teman sekelompoknya. Nah, tiap kelompok tuh ada bunyinya sendiri, sekarang-sekarang ini dipake buat seru-seruan aja, terus orang-orang jadi saut-sautan, berisik deh" Ucapnya.

Gue dan Ocha hanya mengangguk tanda mengerti.
Setelah mie goreng gue habis, gue langsung membayar uang mie seharga 15 ribu rupiah dan kembali ke tenda. Di tenda, sudah banyak orang yang berkumpul di tengah. Bang John Wick akan memperagakan cara membuat api.

"Jadi, cara buat api tuh harus pake ranting pohon kecil-kecil. Hindari yang bentuk ranting busa. Gak bakalan bisa jadi api itu, apalagi yang basah. Nah, tapi ini walau basah asal kecil-kecil sih harusnya bisa" Ucap Bang John Wick sembari membakar sampah-sampah kertas dan plastik ke tengah. 

"Tuh, kalau basah emang susah. Bisa juga biar cepet pake Vaseline, kapas, sama sedotan yang bolong. Kalau pakai itu selain cepet juga bisa tahan sampe 10 menitan" Ucap Bang John Wick menambahkan setelah apinya tidak kunjung menyala. 

"Kang, gue ada tuh Vaseline sama kapas" Tawar gue ke Bang John Wick
"Bentar lagi kayaknya bisa" Ucapnya lagi

Api tidak kunjung menyala hingga akhirnya Bang John Wick menyerah,

"Boleh bagi Vaseline sama kapasnya ga?" Tanya nya sembari nyengir
"Tadi kan udah gue tawarin" Ucap gue sembari masuk ke tenda dan mengambil Vaseline dan kapas

Setelah gue berikan, rupanya masih sulit juga, ternyata Vaseline-nya harus dicairkan dulu agar lebih cepat. Setelah cair, benar saja, api menyambar dan lama. Di tengah dinginnya hujan, api ini rupanya berguna juga untuk menghangatkan badan.


Setelah simulasi membuat api selesai, kami bersiap-siap masak. Tapi sebelum itu, gue keluar dulu untuk ke kamar mandi. Letak kamar mandinya gak jauh dari tenda kami. Sembari mengantre, gue juga menikmati pemandangan sore hari yang hujan dan berkabut di pos 3. Keindahan Garut dari ketinggian membuat gue sabar untuk menunggu antrean yang lama dan banyaknya bukan main. Salahnya kami camping di hari Minggu sehingga tempat camp jadi ramai luar biasa. 

Setelah selesai dari kamar mandi, kami diingatkan oleh Kang Zahid untuk masak dan menyiapkan makan malam. 

"Masak apa nih, kalian?" Tanya Kang Zahid
"Nasi goreng dong, Kang" Ucap Chalila
"Nah bagus, keadaan capek tuh emang obatnya cuma makanan enak" Balas Kang Zahid yang langsung berkeliling untuk mengingatkan ke tenda-tenda lainnya. Setelah Kang Zahid berlalu, Chalila dan gue kembali tidur karena waktu masih sore sementara Ocha dan Sabriani sibuk mengeksplor keadaan sekitar.

Malamnya, gue menyiapkan nesting dan Chalila sibuk menyiapkan bahan masakan. Sedangkan Sabriani mulai menyalakan kompor dan memasang gas. Ocha masih mengabadikan keadaan sekitar dengan lensa kameranya. 

Setelah nesting selesai, gue kembali membantu Chalila untuk memotong sosis. Sementara Sabriani kembali membuka nasi yang tadi pagi kami beli melalui warteg di pinggir jalan Kota Garut. Tapi, rupanya kebanyakan, sementara bumbu yang kami bawa terbatas. Jadi, daripada kami makan makanan hambar, lebih baik nasinya disumbangkan ke tenda sebelah. Salah satu tenda anak cowok mengaku bahwa mereka tidak membawa nasi. 

Chalila yang tengah sibuk memasak sementara gue dan Ocha sibuk mengabadikan momen dia yang tengah mengaduk nasi seperti nasi goreng, bedanya wadah yang digunakan lebih kecil daripada tukang nasi goreng, jadi gak ada adegan nasi terlempar ke atas dengan api besar. Kalau itu terjadi, yang ada kita cuma makan angin malam itu.



Saat Chalila tengah memasukan garam, Sabriani tiba-tiba berteriak,
"EEEEH"

"Kenapa?" Tanya gue bingung
"Itu gak kebanyakan Chal garemnya?" Tanya Sab saat melihat Chalila menuangkan garam dengan sadis dan tanpa takaran
"Tenang, Sab, gue tau kok takarannya, nanti cobain aja ya" Kata Chal menjawab kekhawatiran Sabriani. Setelah masak, kami langsung mencicipi nasi goreng tersebut, dan benar saja, gak keasinan. 

Setelah makanan selesai, Chalila juga menggoreng telur dadar. Lalu gue dan Sabriani membagi 3 makanan tersebut. Gue menggunakan cup putih untuk menakar nasi dan Sabriani memotong-motong telur tersebut agar bisa rata terbagi. 

Makanan kali ini memang mewah. Nasi goreng sosis dan telur hangat ditengah dinginnya hujan gerimis yang menerjang membuat kami makan dengan lahap. Setelah itu, gue keluar untuk mengecek keadaan luar. Hujan sudah reda, namun sisa air yang tergenang masih ada.

Malam itu, gue disuguhkan pemandangan city light kota Garut dengan sebuah gunung yang berada di sekelilingnya. Ditambah dengan langit malam bertabur bintang yang terang dan tanpa tertutup awan. Langsung saja gue sebarkan berita mengenai pemandangan tersebut ke tenda gue, 


"AAAA MAU LIAAAT" Ucap Ocha
"Ayo sini" Kata gue mengajaknya keluar

Dengan kameranya, ia berhasil memotret semua hal sedangkan gue hanya mendapatkan layar hitam karena lupa mengenai setting-an kamera profesional. Setelah itu, kami kembali ke tenda. Jam masih menunjukan pukul 8 malam. Betapa waktu berlalu begitu lambat ketika kita tengah bahagia. Entah hanya gue atau yang lain juga merasakan, tapi yang jelas, malam itu kepala gue benar-benar ringan. 

Hingga akhirnya Chalila berkata,

"Udah makan, sekarang sisa apa? Tidur" Ucapnya, sembari mengoleskan Conterpain di tubuhnya. 
Ia juga sembari menawarkan Conterpain ke gue, cuma Conterpain hanya akan membuat tubuh gue semakin dingin nantinya, sehingga gue lebih memilih menggunakan hot pack yang kemarin gue titip di Chalila dan gue letakan di perut gue. Gue dan Chalila tidur, sementara Ocha dan Sabriani mengobrol di luar bersama Pak Dadan, Kang Zahid, dan Bang John Wick. Sayup-sayup percakapan terdengar sebelum gue akhirnya memejamkan mata.

Hingga akhirnya, gue beneran tidur pulas dan terbangun sekitar pukul 2 dini hari. Terdengar suara aneh dari perut gue. Gue pikir itu hanya angin biasa karena biasanya di rumah juga setiap malam gue seperti itu. "Faktor keanginan" Pikir gue. Tapi, kok lama-lama gak nyaman ya? Hingga akhirnya gue terbangun dan sesuatu seperti ingin keluar dari dalam mulut gue. 

"Lo kenapa, Pit?" Tanya Chalila

"Gue kayaknya harus ke HOEEEK" Gue mau muntah, tapi gue tahan karena ga mungkin muntah di tenda. 

"BENTAR PIT, BENTAR GUE PUNYA PLASTIK" Ucap Chalila dan Sabriani yang buru-buru membuka plastik sampah

Karena memakan waktu lama, gue akhirnya mencari keluar tenda dan menemukan plastik berisi sampah dan gue akhirnya muntah di sana. 

Setelah itu, gue mengantre ke toilet karena perut gue mules bukan main. Gue berdoa, semoga bukan diare. Hingga akhirnya giliran gue datang, 

"Mampus, diare" Ucap gue dalam hati. 

Gue gak tau, apakah gue bisa summit nanti atau engga, tapi harusnya sih bisa kalau gue minum obat. Akhirnya di jam 3 pagi, saat kami semua telah terbangun dan berkumpul untuk menuju puncak Cikurai, gue akhirnya berkata pada Kang Zahid,

"Kang, tadi saya muntah-muntah. Kayaknya diare, ada Diapet ga, Kang?"

Tololnya, gue gak bawa Diapet karena ga expect juga bakalan diare di gunung. Tapi, untungnya Kang  Zahid bawa.

"Tadi malem makan, kan?" Tanya Kang Zahid memastikan
"Makan, Kang. 2 kali malah sama mie goreng tadi sore, Kang Zahid kan liat" Balas gue

Gue langsung meminum obat tersebut. Harapannya rasa sakit dan suara di perut gue ini reda. Atau minimal ditunda dulu lah, sampai pulang. 

Akhirnya setelah melakukan peregangan, kami berjalan ke atas. Dengan berbekal lampu penerangan di kepala, kami mulai berjalan dengan waktu interval.

Setiap nanjak, gue akan selalu deg-degan. Jantung gue berdebar kencang. Gue gak tau apakah itu yang namanya cinta atau gue jarang olahraga aja. 

Yang jelas, Kang Zahid tiba-tiba bilang,

"Bawa tisu basah, kan?"

"Bawa, Kang" Ucap gue

"Nanti kalau emang mau buang air besar ga usah di tahan ya" Ucapnya lagi

"Siap, Kang" Ujar  gue

Tapi gue akan selalu menanamkan di kepala "Jangan ngerepotin, jangan ngerepotin, jangan ngerepotin"

Tapi apa?

Belum berapa jauh gue berjalan, tiba-tiba,

"Kang, kayaknya 'harus' deh" aku gue

"Oh bentar, nanti sama Bang John Wick ya" 

Gue akhirnya menunggu Bang John Wick ini menggali lubang yang letaknya jauh dari jalur pendakian. Lo coba bayangin. Sakit perut di gunung. Jam 3 pagi. Gelap. Jauh dari pendakian. Jujur gue bingung harus takut sama setan, binatang, apa orang. Tapi yang jelas, keluarin dulu lah biar lega. 

Akhirnya setelah selesai menggali lubang, Bang John Wick memberikan tutorial untuk gue.

"Ini tempatnya, nanti kalau udah selesai, buang tisunya di dalem terus kubur barengan ya. Oh iya, head lamp-nya matiin aja, atau di merah in" Ucap Bang John Wick. 

Gue akhirnya melakukan semua instruksi dia. Setelah itu kami lanjut berjalan. Rombongan belum jauh dari kami, jadi mudah untuk gue kembali bertemu Pak Dadan, Sabriani, Ocha, dan Chalila lagi. 

Track makin sulit. Sepertinya gue mulai overthinking. Akhirnya, Bang John Wick bertanya macam-macam untuk meredakan kesunyian yang ada. 

"Ini anak HI semua?" Tanyanya

"Iya Bang, itu juga Pak Dadan dosen HI"

"Kau masuk HI lewar jalur apa?"

"UTBK, Bang"

"Oh"

Hingga gak lama kemudian, suara perut kembali berbunyi, tanda alam memanggil dan gue harus memenuhi penggilan alam tersebut.

"Duh Bang"

"Kenapa? Lagi?" Tanya Bang John Wick.

"Gapapa?" Tanya gue gak enak

"Ya gak apa apa, bentar" 

Bang John Wick kembali melakukan misi penggalian menggunakan golok saktinya. 

Setelah selesai, gue kembali melakukan apa yang telah diinstruksikan sebelumnya. Setelah selesai, tiba-tiba Bang John Wick membahas soal makanan.

"Banyak loh, makanan yang bisa dimakan di gunung."

"Apa aja tuh, Bang?" Tanya gue

"Nih, ini. Sejenis palem-paleman. Kalo beruntung dapet yang manis. Cobain deh" Ucap Bang John Wick sembari memberikan ujung batang pohon yang telah ia petik dan memberikannya ke gue. Sebenarnya rasanya hambar, cuma karena perut gue kosong akibat sudah gue keluarkan semua, gue bisa menikmati tumbuhan tersebut

"Enak" Ucap gue

"Biasanya tuh banyak yang kayak gini, cuma emang nyarinya butuh effort"

Kami kembali melanjutkan perjalanan. Di depan ada Pak Dadan yang tengah sendirian. Sehingga Bang John Wick dan gue menyusul beliau. Setelah bertemu Pak Dadan bertanya, 

"Masih sakit perut, Pit?" 

"Hehe, masih, Pak" Ucap gue sembari memegangi perut gue yang bergemuruh

"Udah 2x dia, Pak" Ledek Bang John Wick

"DIEM!" Kesal gue yang akhirnya meninggalkan mereka berdua di belakang. Tak jauh, gue masih bisa mendengarkan obrolan Pak Dadan dan Bang John Wick. 

"Bang, kalo jamur kayak gini bisa di makan ga?" Tanya gue sembari menunjuk jamur di bawah tangga dengan trekking pole

"Jangan pernah makan jamur di hutan" Jawab Bang John Wick

"Jamur apa aja? Even jamur yang bisa di makan?" Tanya gue lagi penasaran

"Iya. Nih, ini bisa di makan nih. Mau cobain, Pak?" Bang John Wick menemukan tumbuhan baru untuk di makan. Jenisnya serupa dengan tumbuhan yang gue makan tadi, cuma beda bentuk.

"Gimana, Pak? Enak?" Tanya Bang John Wick ke Pak Dadan

"Hambar sih" Jawab Pak Dadan

"Iya, hambar ih, isinya air doang" Ucap gue

"Enakan mana sama yang tadi?" Tanya Bang John Wick

"Enakan yang tadi" Ujar gue

"Tadi dia udah makan duluan, Pak" Ledek Bang John Wick lagi

Akhirnya kami melanjutkan perjalanan dan sampailah kami di post 4. 



Di sana kami bertemu kawan-kawan lain yang sedang berkumpul dan duduk bersama. 

Bang John Wick menawarkan makanan. Sebelumnya juga beliau menawarkan makanan ke gue sewaktu kami berdua tengah beristirahat.

"Sosis mau sosis?" Tanya Bang John Wick

"Engga ah, Bang" Ucap gue enggan menerima karena masih sungkan

"Kanzler loh ini" Ucapnya lagi

"Nanti aja kita makan bareng cuanki di atas" Terima gue pada akhirnya. Walau akhirnya gue menyerah dan memakan sosis Bang John Wick di tengah jalan. 

"Tadi katanya mau di makan sama cuanki" Ledeknya lagi 

Dia akhirnya memaksa gue untuk makan kacang polong sembari membawakan tas gandeng gue.

Di pos 4 dia kembali menawarkan permen susu. Jelas gue terima karena gue butuh yang manis-manis setelah muntah di jalan. 

Kang Zahid bercerita, katanya dia menanyakan kami berdua pada salah satu pendaki lain tapi malah di balas dengan gelengan kepala dan muntah di tengah jalur. Saat Kang Zahid kembali untuk mencari kami berdua, dia menunjukan pada kami bekas muntahan tersebut yang tentu saja memicu gue kembali mual tapi berhasil gue tahan. 

Kembali saat gue dan Bang John Wick akhirnya bisa duduk tenang di shelter pos 4. Gue, Chalila, Sabriani, dan Ocha membuat video untuk konten nantinya. Setelah itu, semuanya makanin makanan yang ditawarkan Bang John Wick. 

Setelah beristirahat sebentar, kami akhirnya bangkit kembali untuk melaju ke pos 5 dan 6 barulah sampai ke puncak. 

Dari pos 4 ini, tiba-tiba ga jauh dari situ, gue kembali merasakan perut gue yang betul-betul berbunyi. Bunyinya bahkan sampai terdengar ke luar. 

"Bang John Wick..." Gue tidak kuat untuk melanjutkan kata-kata gue. Tapi untungnya Bang John Wick mengerti apa maksud gue.

"Bentar"

Hari itu, pagi sudah tiba. Jadi, akan sulit untuk gue bersembunyi. Untungnya, Bang John Wick benar-benar ahli dalam mencari tempat tersembunyi. Jadilah itu kamar mandi darurat. 

Ini adalah yang ketiga dan terakhir kalinya. 

Gue yakin gue bisa sampai ke puncak.

Tapi saat di pos 6, Bang John Wick malah bilang,

"Aku sih kalau dikau mau balik ke camp ga apa-apa"

"SEMBARANGAN"

Kesal gue saat itu. Gue sedang lemes-lemesnya dan puncak sudah di depan mata tapi dia malah berani-beraninya ngomong begitu. Gue menancapkan trekking pole gue dengan kencang.

Di pos 6 itu, gue banyak berhentinya karena track yang sangat sulit. Menanjak dan licin. 

"Kalau vegetasinya terbuka berarti udah deket puncak ini, dikit lagi" Kata Bang John

"Diem ya, lu dari tadi bilang dikit lagi-dikit lagi, 5 menit-5 menit. Mana? Kagak nyampe-nyampe" Betawi gue mulai keluar.

Tiba-tiba ada 1 orang pendaki lain yang melewati kami,

"Hiking date nih ceritanya?" Tanya nya.

"Hiking date hiking date, NGASUH!" Candanya

Gue hanya melemas tidak peduli walau sejujurnya gue mau ketawa mampus.

Belum lagi dengan dua orang perempuan yang meledek kami seperti couple yang tengah hiking date yang tentunya Bang John Wick sangkal dengan senyuman.

Di pos 6 ini, Kang Zahid kembali mendatangi kami yang ketinggalan di belakang,

"Yang lain udah di atas, Kang?" Tanya gue

"Udah itu lagi makan cuanki. Tenang, udah di pesenin, kok. Ayo dikit lagi puncak tuh" Ucapnya menenangkan. 

Kang Zahid juga menanyakan mengenai kondisi perut gue dan gue mengaku masih kacau sebenarnya, tetapi gue tahan mati-matian. Setelah pengakuan tersebut, benar saja, suara perut gue kembali bergema dan terdengar sampai ke luar,

"Tuh, Kang, denger kan?" Tanya gue

Kang Zahid hanya tertawa mendengar gue yang sakit-sakitan tersebut. Dia akhirnya memberitahu bahwa gue terkena gerd. Memang benar, sih, gue punya gerd. Nah, gerd bisa kambuh di tengah udara dingin. Jadi, sebenarnya wajar saja gue seperti ini. Dia memaklumi keadaan gue karena Kang Zahid sendiri juga punya gerd. Kami berdiskusi mengenai kesehatan sampai tak sadar hampir sampai di atas puncak. Tapi saat gue di sana ternyata belum puncak. Kami harus turun dulu melalui tenda-tenda dan baru setelahnya gue bisa melihat puncak Cikurai.

AKHIRNYA! Teriak gue dalam hati.

Jadi, ini toh 2821 meter di atas permukaan laut itu. Sayangnya, di atas gue hanya bisa menyaksikan pemandangan kabut. Lautan awan belum gue temukan pun dengan matahari. Mungkin karena musim hujan, pikir gue saat itu. 


Gue akhirnya makan cuanki seperti yang disarankan Kang Zahid bahwa gue harus makan banyak hari itu. Tapi, gue tidak memakan ikannya karena hanya membuat gue mual. Jadi, cuanki tersebut gue berikan ke Ocha dan gue hanya memakan baksonya saja. 

Sebuah pertanyaan kemudian kembali menghantui gue. Bagaimana caranya ada warung cuanki di atas ketinggian seperti ini? Bagaimana cara mereka mengangkut logistik dan lain-lain? Hal itu tidak sempat gue tanyakan langsung ke penjualnnya karena warung sedang ramai oleh pembeli dan gue juga masih dalam keadaan lemas dan pusing. 


Bang Ajung yang tau gue sedang sakit juga dengan baiknya mengambil saus yang tidak sengaja tercampur di mangkuk cuanki gue karena penjualnya kelupaan. 

Masalah gue sekarang tinggal 1. Air gue habis dan kalau mau beli juga cuma tinggal Teh Pucuk dan Pocary Sweat.

Di masa-masa sulit seperti sekarang yang gue butuhkan sebenarnya adalah air putih. Tapi karena gak ada, maka jadi perdebatan, lebih baik minum Teh Pucuk atau Pocary Sweat. Akhirnya gue lebih memilih Teh Pucuk karena Pocary Sweat sudah dibeli orang. Jadi, sebelum air terakhir dibeli orang dan gue menyesal, lebih baik gue yang beli. 

Benar saja, setelah gue membeli Teh Pucuk, ada pendaki lain yang menanyakan persediaan air ke si penjual yang lantas penjualnya berkata, "Habis, Kang"

Baru kali itu gue bersyukur minum Teh Pucuk. 

Setelah makan cuanki, kami berfoto-foto di sekeliling puncak. Barulah, selepas itu kami kembali turun.

Oh astaga... Masih ada turun. 

Gue masih ragu akan kemampuan gue sendiri. Dengan kondisi gerd yang kambuh, apakah bisa gue turun gunung melewati track yang sama? Gue berharap ada satu helikopter yang datang untuk menjemput gue, walau percuma, pikiran liar itu hanya ada di dalam kepala gue. Kenyataannya gue harus turun dengan lemas.

Untungnya, Kang Zahid dan Bang John Wick selalu menjadi support system yang gue butuhkan. Mereka selalu menenangkan gue agar gue tidak stress dan panik. 

"Turun mah pasti cepet, gapapa pelan-pelan aja"

Atau kata-kata lain yang menenangkan gue sehingga gue bisa melepaskan kekhawatiran gue mengenai turun gunung.

"Pokoknya nanti ke Ceremai seleksinya bakalan saya perketat lagi" Canda Kang Zahid setengah serius

"Orang kayak saya ga boleh ikut ya, Kang?" Tanya gue pesimis

"Sebenernya kamu bisa, Pit. Cuma lagi gak fit aja badannya. Kamu lancar kok turunnya..." Hibur Kang Zahid

"Dikau masih bisa observasi mana yang enak buat diinjek atau engga" Tambah Bang John Wick

"Kamu mah masih mending, Pit. Ada temen saya waktu itu gak bisa turun sama sekali, ketakutan" Ujar Kang Zahid lagi

"Terus gimana dong, Kang?" Tanya gue penasaran

"Ya udah, tunggu sampe dia berani" Kekeh Kang Zahid setelahnya

Hingga akhirnya, gue merasakan lagi sakit perut dashyat. Mungkin ini karena gue minum Teh Pucuk. 

"Bang John..."

"Masih ada kan tisu basahnya?" 

"Habis" Jawab gue

"Tunggu bentar" 

Bang John Wick lantas segera berlari ke bawah untuk menyusul rombongan Kang Zahid yang sudah duluan ke bawah. Ia mencari Kang Zahid yang membawa tisu basah dan berlari kembali untuk menyusul gue. Jujur sejujur-jujurnya gue tidak enak merepotkan tapi apa boleh buat? Gue sudah hampir mati lemas mungkin saat itu.

Setelah Bang John Wick memberikan tisu basah ke gue, dia akhirnya menggalikan lagi lubang di tempat tersembunyi di pinggir-pinggir gunung. Setelah itu, gue menyelesaikan urusan gue. Gue berjanji itu adalah yang terakhir. 

Akhirnya, kami kembali menyusul rombongan yang sedang duduk di pos 4. Bersama Kang Ajung, Oca, Bang Faiz, Sabriani, dan Kang Zahid. Gue akhirnya bisa kembali bertemu mereka dan bercanda banyak hal. 

Setelah itu, kami kembali berjalan. Gak jarang setiap berapa menit sekali ada saja orang yang jatuh, entah Bang Ajung atau Sabriani. Tapi yang ga kalah lucu adalah waktu Bang Faiz jatuh. Hal yang dia lakukan setelah jatuh di tanah adalah duduk dan merokok. Beban hidupnya ternyata lebih berat daripada gue. 

Atau gak jarang Bang John Wick meledek Bang Ajung yang suka menggunakan aksen Balinya yang kental sehingga setiap dia misuh-misuh terdengar seperti guyonan bagi kami. Atau waktu itu gue bilang ke dia,

"Aku juga bisa bahasa Bali"

"Coba" Tantang Bang Ajung

"Nguda beli liu munyi~"  Ucap gue sembari menyanyikan lagu Care Bebek

Bang Ajung hanya mendengus kesal karena lagu tersebut dianggapnya sebagai lagu jamet. Gue hanya tertawa melihat reaksi dia.

Lanjut saat kami turun, kami bertemu dengan kakek-kakek berambut panjang dikuncir dengan celana motif abri dan golok emas di kiri pinggangnya. Dia menyalami dan menyambut kami semua dengan ramah dan meriah. Lalu saat dia bersalaman dengan gue, di berkata,

"Ini eneng cantik amat, jangan lupa dijagain ya" Ujar kakek tersebut ke Bang John Wick dan Kang Zahid yang ada di belakang gue. Mereka berdua hanya berkata "Siap!"

Selanjutnya, nyeri di kaki gue timbul. Akhirnya, gue terpisah dengan rombongan berdua bersama Bang John Wick. Untuk mengurai sunyi, akhirnya banyak pertanyaan-pertanyaan untuk Bang John Wick.

"Bang, kok lu berani sih buat nyari kamar mandi di lereng gunung begini? Emang lu gak takut jatoh?"

"Engga"

"Terus cara tau kalau itu aman gimana?" 

"Ya injek aja"

Iya bener juga.

"Kalau gak diinjek, mana tau itu aman apa engga." Tambahnya lagi

"Kalau jatoh?"

"Kalau jatoh pun gak bakalan sampai bawah lah, kan banyak pohon yang nantinya nahan"

Oh iya juga.

Atau pertanyaan-pertanyaan random yang Bang John Wick tanyakan kepada gue.

"Semalem udah tidur ya? Itu dua temen dikau gak tau 3 unsur api"

"Ah masa iya, gue tau tuh"

"Apa aja emang?"

"Bahan, suhu, menyala" Gue menjawab asal. 

"HAHAHAHAHHAHA" Tawa Bang John Wick

"Satu laginya gue lupa, tapi kan emang api ya harus menyala" Bantah gue

"Satu laginya udara" Koreksi Bang John Wick.

Atau saat gue tengah berdiskusi mengenai alam dan Organisasi Wanadri, Bang John Wick curhat bahwa satu-satunya hal yang mau ia coba yaitu kuliah. Tapi, ia merasa bahwa hal tersebut terlalu telat diusianya yang sekarang. Selain itu, ia juga sering ditawarkan untuk menjadi pembina pramuka di SMA-nya walau gue gak tau akhirnya ia terima atau tolak. Di tengah-tengah perbincangan, gue ingat dia bertanya mengenai apa bedanya alam bebas, alam liar, dan alam terbuka. 

Sekarang, pengetahuan kepramukaan gue diuji. Jangan sampai ilmu boyman gue hilang. Dulu, gue ahli dalam bidang morse, tapi tidak dalam ilmu alam. 

"Atau sederhananya, cikurai ini termasuk alam apa deh?" Tanya Bang John Wick

"Alam bebas" Jawab gue asal

"Enteng ya, gak ada alesannya" Cibir Bang John Wick

"Sabar, gue punya alesannya. Soalnya cikurai ini bebas dimasukin orang" Ucap gue dengan argumentasi asal

"HAHAHAHHA GA GITU! Cikurai ini termasuk alam terbuka karena itu tadi kau bilang, banyak orang yang ke sini buat aktivitas alam. kalau laut itu alam bebas. Tetep ada manusianya, cuma wilayahnya alami, maksudnya gak ada perubahan yang dilakukan manusia di sana, nah kalau alam liar tuh yang benar-benar gak terjamah manusia, kayak Hutan Amazon. Cuma, Amazon juga sekarang udah banyak manusia yang masuk" Ceramah Bang John Wick. Gue hanya mengangguk tanda mengerti.

Kami masih melanjutkan perjalanan sembari mengobrol banyak hal. Banyak yang gue tanyakan ke Bang John Wick yang tentunya beririsan dengan alam. Seperti cagar alam dan pelestarian lingkungan. Ia tidak setuju dengan adanya penangkaran hewan karena menurutnya hewan lebih baik dilepas di alam, bukan dikurung di dalam kandang.

"Loh, Bang, tapi dengan banyaknya pemburu kayak sekarang, apa gak lebih baik ditaruh di penangkaran hewan?" Debat gue

"Iya sih, cuma idealnya ya hewan di alam. Coba kau dikandangin, stress ga? Begitupun hewan"

Sembari mengobrol-obrolan orang pintar tersebut, sesekali Bang John Wick mencoba mengetes gue. Apakah yang dari tadi dia katakan hanya masuk kuping kanan keluar kuping kiri di gue?

"Coba, apa 3 unsur api?"

"Bang, lo serius nanya gitu lagi?" kesal gue

"Kalau di organisasiku senior-seniornya juga suka ngetes-ngetes gitu, aku cuma ngetes aja, kau masih ingat ga?" 

"Bahan, suhu, udara. Lo lupa, Bang, gue anak HI?" Tanya gue sebal

"Oh iya, lewat jalur UTBK ya?" Ucap Bang John Wick sembari nyengir

Gak cuma itu, dia juga bilang kalau dia suka lagu dari grup band .feast yang berjudul Nina. 

"Gue juga suka, Bang, lagu .feast" Semangat gue ketika dia membahas soal lagu.

"Apa coba yang kau suka?" Tanya  Bang John Wick

"Sebenernya kebanyakan lagu Hindia, sih, tapi ya sama aja Baskara juga yang nyanyi"

"Siapa itu Baskara?"

"Vocalis .feast, Bang. Kau gimana sih, gak tau?"

"Oh iya gitu?"

"Bahkan dia punya 3 band, 1 lagi Lomba Sihir. Nah kalau aku sukanya Dalam Hitungan"

"HAHAHHAHHAHHA"

"Kenapa ketawa?"

"Tadi kau bilang suka Lomba Sihir, tapi itu lagu .feast"

"Loh, yang bilang suka Lomba Sihir siapa? Aku tadi cuma kasih tau ada 3 band Baskara, terus aku lanjutin lagi lagu yang aku suka dari .feast"

"Ohh"

"Nanti aku dengerin deh si Dalam Hitungan itu, kau dengerin deh Nina"

"Hah? Apaan?"

"Lagu .feast, kayaknya rame di Tiktok, masa kau gak tau?"

"Engga"

Tumbuh lebih baik cari panggilanmu~ Bang John Wick menyanyikan sepenggal lirik lagu dari Nina. Tapi, tetap saja gue gak pernah mendengar lagu tersebut. Hingga akhirnya gue berjanji untuk mendengarkan lagu tersebut setelah gue pulang dari Cikurai. Fun fact-nya, setelah pulang dari Cikurai, semua orang mendengarkan lagu Nina tersebut. 

Sedikit lagi kami akan sampai di camp. Menurut Bang John Wick tandanya adalah suara anjing yang menggonggong. Saat kami ke bawah, kakek-kakek yang saat kami temui tadi sudah kembali turun juga. Lalu, dia sadar dan menyapa kami kembali, hanya saja agak beda dengan di awal,

"Kalau kakek mah, setuju, Cu. Lanjutin aja ya!"

"Jangan dong" Kesal gue lemas

"Iya, Pak! Siap!" Teriak Bang John Wick hingga akhirnya kakek tersebut kembali turun meninggalkan kami berdua.

Setelah itu, banyak obrolan-obrolan gak penting tapi mempunyai segudang informasi untuk gue. Bang John Wick akhirnya bertanya.

"Kau kenapa mau naik gunung? Fomo ya?" Tanyanya mengejek

"Enak aja! Gue punya background history yang kuat sampai bisa membawa gue ke pendakian kali ini"

"Oke, apa emang?"

"Jadi, dulu guru SD gue pernah nanya 'apa yang kamu rasain kalau matahari tepat di atas kamu dan sinarnya pas di depan mata kamu?' terus gue jawab dong, panas. Nah, dia malah bilang 'Salah, kamu harus naik gunung dulu berarti' apa ga tertantang gue buat cari sinar matahari di atas gunung?" Kesal gue akhirnya. Tentu saja kesal karena jawaban atas pertanyaan tadi tidak gue dapatkan ketika gue naik ke Cikurai akibat kabut tebal yang ada.

"HAHAHAHAH... Coba kalau dikau naik gunung kayak Semeru, Renjani, atau Merbabu. Pasti nanti sinarnya bakalan seindah itu. Nah itu lah yang di maksud sama guru mu" Jawabnya

"Jadi kau kapok mendaki, nih?" Tanya Bang John Wick lagi

"Ya engga lah, gue belum dapet jawabannya" Kesal gue lagi. Padahal gue disitu bersumpah di dalam hati bahwa gue gak akan pernah nanjak gunung lagi apalagi di musim hujan. 

Hingga akhirnya kami berlanjut berjalan karena mendung sudah menghampiri, tanda hujan rintik akan turun sebentar lagi. 

Bang John Wick sempat menemukan jambu air berwarna putih yang katanya adalah makanan paling enak di hutan. Dia meminta gue untuk mencobanya dan memang benar. Rasanya enak dan segar. Dia juga membawa beberapa ke camp untuk anak-anak lain coba. 

Setelah itu, benar saja, hujan turun tanpa diminta. Akhirnya kami mempercepat langkah dan berteduh sebentar untuk memakai jas hujan. Sayangnya jas hujan gue ada di Ocha dan gue lagi-lagi harus merepotkan Bang John Wick dengan menggunakan jas hujannya. 

Di tengah jalan dan hujan yang semakin lebat, muncul pendaki lain dari arah bawah menggunakan jas hujan merah dan bertanya dengan nada panik ke arah kami

"Kak, liat 2 cewe turun ga tadi?" Tanya perempuan tersebut

"Gak liat, Kak, tadi di jalur cuma kita berdua sama adanya anak cowok 2" Balas Bang John Wick

"Waduh ke mana ya?" Dia terlihat kebingungan sementara karena hujan semakin deras, kami permisi untuk duluan ke tenda. 

Akhirnya sampai juga. Di tenda saat gue tengah melepas jas hujan Bang John Wick, Kang Zahid datang dan bertanya,

"Gimana? Capek? Udah mendingan perutnya?" 

"Hehe... Udah, Kang."

Setelahnya, gue masuk ke tenda dan menemukan Chalila, Sabriani, dan Oca yang tengah packing untuk segera pulang. Kebetulan hujan reda, jadi kami takut turun hujan lagi. Jadi kami buru-buru packing. Gue sendiri packing dibantu Chalila karena banyak barang gue yang basah sehingga agaknya sulit untuk masuk ke tas.

Gue sempat bercanda dulu dengan Bang John Wick soal dia yang tidak tau mengenai kasus pencurian pasir pantai Indonesia oleh Singapura. Gue mengadukan itu ke Kang Zahid karena Bang John Wick tidak percaya hal tersebut terjadi, lantas Kang Zahid memberikan pelurusan bahwa sebenarnya itu tidak dicuri, tapi dijual. 

Kekesalannya itu ia lampiaskan untuk mengolok-olok gue,

"HUUUU DASAR BOPRUK (Bocil Priuk)" 

"DIEM LU" Kesal gue lagi.

Atau waktu gue habis dari kamar mandi, dia tiba-tiba menunjukan gue seekor cacing,

"Ini juga bisa dimakan, Pit" Ujarnya sembari mengarahkan trekking pole dan cacingnya ke arah gue. Sontak, gue refleks menghindar dengan ekspresi jijik dan berkata

"HIIII!" 

"Lo kalau ditinggal di hutan sendirian kayaknya mati, Pit" Ucap Bang John Wick yang diiringi tawa kecil Kang Zahid.

Akhirnya setelah semua selesai packing, Kang Zahid memberikan briefing singkat mengenai kepulangan kami. Intinya, kloter dibagi jadi 2 (Walau akhirnya 3) kloter 1 akan pulang pertama di awal dan kloter 2 setelahnya. Kloter 1 temponya pasti cepat karena berisi Chalila, Naufal, Revo, Isa, Obas, Fajar, dan gue, tadinya. Setelah Bang John Wick bilang,

"Halah, nanti juga walau kloter pertama pasti kloter 3 juga akhirnya"

Sial. Gue insecure dan memilih untuk masuk di kloter 2 bersama Pak Dadan, Hamemayu, Ocha, dan Sabriani. 

Sebelumnya, gue mengobrol dulu dengan bapak-bapak di shelter dekat mushola.

"Di sini mah bagusnya kalau pertengahan bulan, Neng. Bulan ini mah berkabut pasti"

"Wah iya, Pak" Ucap gue memvalidasi

"Baru pertama kali naik gunung, Neng?" Tanya si bapak lagi

"Iya, Pak" Aku gue

"Wah, Neng. Sulit kalau pertama langsung ke sini mah, ke Papandayan atau Manglayang dulu tuh" Ucap si bapak sembari menyesap rokoknya yang tinggal setengah lagi. Gue hanya mengangguk tanda setuju baru setelahnya datang Pak Dadan mengajak kami untuk turun gunung.

"Ayo sekarang"

Gue akhirnya berpamitan pada kloter 3 yang tengah melipat tenda. Ada Bang Ajung, Bang Fais, Kang Zahid, dan Bang John Wick. Setelah itu, kami menurunin jalur curam, terjal, dan licin. 

Bahkan, gue gak yakin bisa turun saat itu. Benar saja, gak jauh dari camp, Pak Dadan mendahului kami dengan jatuh duluan. Setelah jatuh dia hanya tertawa sementara gue gak bisa ketawa karena takut disangka kurang ajar.

Untungnya, gue jarang jatuh. Berbekal trekking pole milik Kang Zahid dan belajar bahwa menginjak vegetasi adalah hal yang paling betul, gue benar-benar bersyukur telah belajar banyak dari Bang John Wick.

Tapi, satu-satunya yang Bang John tidak ajarkan adalah, jangan sompral di gunung.

Hal ini terjadi sewaktu kami menemukan track yang curam dan sangat licin. Bahkan, jalur tersebut hanya berisikan lumpur dan air dengan kanan kiri dan ujung jalan jurang. Saat itu, Hamemayu terpeleset sampai ke ujung. Untungnya, dia mengaku bahwa badannya tertahan dengan batang kayu yang sangat kecil sehingga menahannya untuk tidak meluncur ke perkebunan di bawah. Setelah Hamemayu jatuh merosot, kini giliran Sabriani yang jatuh. Gue melihat mereka perosotan, dengan otak setengah jadi gue malah berkata,

"EH SERU MAU IKUTAN!"

"JANGAN!" Teriak Pak Dadan

"KAK IPIT!" Cegah Oca

Tapi, apa mau di kata. Gue telah mengambil ancang-ancang untuk merosot dan akhirnya gue menjaga jarak aman dengan Sab menggunakan trekking pole. Pak Dadan dan Ocha hanya bisa menahan napas lega. 

Setelah itu kami melanjutkan perjalanan. Beberapa kali, Hamemayu, Gue, Pak Dadan, dan Ocha terpeleset di jalan dan jatuh (Ocha kayaknya engga jatuh). Beberapa kali juga gue mengeluh capek dan sakit karena benar saja, kaki gue lecet dan sepertinya ada luka di jari-jari kaki gue. Hingga akhirnya gak lama, kami sampai di pos 2. 

Di situ, kami banyak makan dan minum hangat sembari membersihkan diri dari tanah kotor selepas jatuh. Gue bertanya pada Pak Dadan,

"Pak, kita perlu head lamp ga ya?"

"Gak usah, sebelum malem juga sampe"

Realitanya kita sampai di pos 1 jam 7 malam dan kami harus mencari head lamp di tengah jalan pulang. Saat mendekati pos 1 gue  tidak kuat berjalan lagi sampai carrier gue harus dibawain Pak Dadan. Sejujurnya lagi-lagi gue gak enak. Tapi, luka di pergelangan kaki gue sudah tidak bisa ditolerir. Akhirnya, kami sampai juga di pos 1 dan segera naik ojek untuk sampai di basecamp. Lagi-lagi rasa sakit dan lelah gue seketika hilang setelah disuguhkan dengan pemandangan city light Kota Garut. Gue dan abang ojeknya berbasa-basi ringan di atas motor. Dinginnya malam dan lembabnya pakaian gue membuat gue overthinking sendiri,

duh, besok bakalan sakit ga ya? 

Besok ada kelas penulisan skripsi jam 1 siang. Setidaknya masih ada waktu untuk gue tidur paginya. 

Saat sampai di basecamp, gue meminta abangnya menunggu sebentar karena uang gue ada di dalam carrier yang naudzubillah berat itu. Setelah memberi uang 20 ribu, gue akhirnya mulai merencanakan untuk bersih-bersih. Masalahnya, gue ga ada baju lagi. Hingga untungnya Chalila meminjamkan gue celana dan Hamemayu meminjamkan gue turtleneck-nya sehingga gue tidak kedinginan. Di kamar mandi, gue bertemu pendaki lain yang ingin menggunakan kamar mandi juga, tapi dia malah mempersilahkan gue untuk menggunakan kamar mandi duluan saat ada orang yang selesai dan keluar dari kamar mandi. 

Setelah gue beres, gue kembali ke teras rumah warga tempat tadi gue duduk dan mengisi baterai hp gue. Benar saja, muncul masalah baru.

Nyokap gue nyariin gue.

Teman gue di rumah panik setelah dia ditanya oleh nyokap gue karena dari subuh gue tidak bisa dihubungi. Memang, gue gak izin. Masalahnya, kalau gue izin untuk naik gunung gak akan dibolehin, jadi gue memilih langsung cabut. Kalau kata orang-orang, mungkin ini juga alasan gue sakit-sakitan di gunung. Ya karena tanpa izin orang tua. 

Lagian, gak biasanya nyokap nyariin gue. Interaksi gue dengan orang tua gue bisa dihitung jari. Mungkin feeling nyokap gue juga sakti sehingga dia tau anaknya lagi kenapa-kenapa.

Sejujurnya, gue bingung mau pakai alasan apa. Untungnya, teman sekost gue mem-briefing gue untuk pakai skenario palsu bahwa gue dari kemarin nginep di rumah teman gue dan hp gue mati karena ga bawa charger. Gue mengiyakan skenario tersebut dan akhirnya berani untuk menelfon nyokap gue

"Dari mana sih, kok di telfon dari subuh gak di angkat?" Tanya nyokap

Gue pun menjelaskan skenario palsu tersebut

"Tadi mama hampir ke Bandung nyamperin Ipit"

DUAR! Gimana kalau nyokap ke kost dan mendapati gue gak ada di kost dan tau-tau gue balik dari gunung? Bisa mampus gue. 

Akhirnya gue menenangkan nyokap gue dan bilang bahwa nanti malam gue akan pulang. 

Baru selesai gue telfonan sama nyokap, tiba-tiba Revo menghampiri gue sembari memegang telepon di telinganya,

"Pit, itu nyokap lu nyariin"

"Iya ini abis nelfon, aman kok" Kata gue

"Ini Chris nanyain lu"

"ANJIR SAMPE KE CHRIS JUGA?" Gue panik. Semua teman gue ditelfon. Chris adalah ketua angkatan HI 22. Kalau sampai nyokap gue nelfon ke Chris berarti Chris bisa aja jujur bilang kalau gue di gunung, untungnya yang nelfon Chris anak Administrasi Publik bukan nyokap gue. Iya, anak jurusan lain sampe repot atas hilangnya gue. 

Pak Dadan, Kang Zahid, dan Bang John Wick yang baru sampai langsung bertanya atas kehebohan yang terjadi,

"Ada apa emang?" Tanya Pak Dadan

"Itu, Pak, Ipit gak izin ke orang tuanya" Jelas Revo

"HAHAHAHAHAHAHHA" Tawa mereka bertiga bersamaan.

"Ini Obas sama Hamemayu juga gak izin ternyata" Kata Isa

"Pada kenapa emang gak izin? Gak bakalan diizinin ya?" Tanya Pak Dadan

"IYA PAK!" Ucap gue bersemangat yang hanya mendapat respon tertawa dari mereka

"Pit... Pit... Mau ngilangin masalah ke gunung malah dapat masalah" Ledek Bang John Wick 

"DIEM GA LU!" 

Hingga akhirnya, Bang John Wick menawarkan biskuit Oreo ke gue. Lagi-lagi gue seperti seekor burung di matanya yang perlu di kasih makan tiap sejam sekali. Tapi lagi-lagi, gue mau memakan oreo tersebut karena lapar dan kedinginan. 

Hingga setelah kami semua beres, kami beranjak ke angkot untuk pulang. Kami berpamitan khususnya kepada Bang John Wick yang telah sangat amat membantu gue selama pendakian ini. 

"BANG MAKASIH BANYAAK YAA MAAF KALO NGEREPOTIN!" Ucap gue dari dalam angkot

"Diem lu bopruk (bocah priuk)" Ledek Bang John Wick

Setelah itu kami berangkat pulang ke Jatinangor. Selama perjalanan gue merasakan pusing tak terhingga karena abangnya ugal-ugalan. Semua mobil dia salip padahal kanan kiri adalah belokan tajam. Tau sih, jam malam sepi, tapi jangan ngebut juga dong.

Dengan kecepatan kilat tersebut, akhirnya kami pulang dari Garut ke Jatinangor hanya membutuhkan waktu kurang dari 3 jam. Gue dan kawan-kawan yang lain tertidur di perjalanan. Sementara saat di Nagrek gue terbangun dan yang lain masih tertidur. 

Akhirnya, sekitar pukul 12, kami sampai di FISIP Unpad. 

Gue langsung buru-buru memesan gojek karena sudah terlalu pening. Lalu sesampainya di rumah, gue langsung beristirahat. Saat sampai di kamar, saat itu juga perasaan tenang akhirnya muncul. Setidaknya gue pernah melakukan pendakian sekali seumur hidup gue walau gue gak tau akan nanjak gunung lagi atau engga. Meski pertanyaan itu belum terjawab, gue masih mempertanyakan, apakah ada yang akan membawa gue untuk ke gunung-gunung lainnya? 

Sebelum menjawab pertanyaan itu, izinkan gue tertidur sebentar.

Sialnya, gue bangun pukul 7. Entah sedang libur atau sedang ada kegiatan, bangun jam 7 pagi adalah kebiasaan gue. Bagus sih, tapi rasa sakit badan ini membuat gue menyesali bangun kepagian. Gue sama sekali tidak bisa bungkuk. Lutut gue serasa putus bahkan untuk berdiri saja rasanya perih. Padahal di jam 1 nanti ada kelas. Akhirnya gue putuskan, walau sakit tapi kelas harus datang karena ini kelas penting. 

Jam 1, gue datang dengan terseok-seok. Gue lupa, kelasnya ada di lantai 3. Kalau kata Chalila,

"Besok kita summit Fisip"

Huh. Andai ada lift atau eskalator, pasti hidup gue lebih mudah saat itu. 

Di atas, kelas sudah dimulai. Gue juga melihat orang-orang yang tadi malam telah mendaki bersama gue. Ada Sabriani, Chalila, Naufal, Kang Zahid, dan Pak Dadan tentunya yang masih memegang trekking pole. Gue yakin beliau pakai itu untuk naik ke lantai 3.

Setelah kelas selesai, gue melewati beliau dan bertanya,

"Sakit gak, Pak, kakinya?" Tanya gue bercanda

"Sakit lah, ini pake trekking pole buat nanjak" 

Yang hanya gue dan Sabriani ketawain. 

Sepulang dari situ, kami berencana untuk mengembalikan barang pinjaman di tempat kami sewa yang berada di daerah Jalan Sayang. Sayangnya, saat gue dan Ocha ke sana, penjaganya sedang pergi. Otomatis gue dan Ocha ke rumah dulu untuk menunggu Sabriani yang sedang kelas. 

Sorenya setelah Sab selesai kelas, kami makan di warung ayam serundeng bersama Naufal, Chalila, Faiz, Ocha, dan Sabriani sembari menceritakan pengalaman kami naik gunung kemarin.

"Pokokna mun mawa si Ipit mesti sedia sekop (Pokoknya kalau bawa si Ipit harus sedia sekop)" Canda Naufal

"Eh, itu lumrah ya di gunung" Bela gue

Faiz yang gak tau apa-apa karena gak ikut hanya bisa tertawa kecil. Sementara kami yang tahu konteks menertawakan Naufal yang membahas diare gue di gunung.

Ternyata, tragedi diare ini gak cuma berhenti sampai di situ. 

Pak Dadan rupanya menceritakan pengalaman diare gue ke kelas MNC (Multinational Corporation). Setelah kelas selesai, semua anak 22 bertanya ke gue,

"Pit, udah sehat?" Tanya Annisa

"Udah, eh kok lu tau?" Curiga gue

"Tadi Pak Dadan cerita di kelas, lu abis sakit kan?" Tanyanya polos

"HAH? KELAS APA? KOK CERITA?" Tanya gue panik

"Dia cerita pengalaman di gunung kemarin"

"HAH?" Gue kaget mampus. Duh, itu aib besar. Gue berharap jangan sampai ada orang yang tau, tapi Pak Dadan... 

"CEU! PAK DADAN CERITA APA?" Tanya gue mencegat Ageu dan Agatha yang baru saja selesai kelas Pak Dadan.

Ageu dan Agatha terang saja langsung menceritakannya ke gue.

"Begitu, Pit" Selesainya Ageu bercerita

"Wah bjir, tapi dia gak bilang gue sakit apa, kan?" Ujar gue was-was

"Engga kok" Ucap Agatha menenangkan.

Hufh.

Sialnya, akhirnya Annisa tau semua cerita gue dari Isa. 

----------------------------------------------

Sekian cerita di gunung kali ini, gue juga mau minta maaf ke Paung karena udah ngilangin kompornya di angkot. Peace ya, Bang, udah gue ganti kok hehe...

Anw, setelah apa yang gue bilang kemarin kalau gue kapok nanjak gunung, ternyata salah besar ya guys. Rupanya gue masih ada nyali untuk menanjak gunung di musim hujan. Belum ada 20 hari setelah gue nanjak Cikurai, di tanggal 24 nya gue nanjak gunung lagi HAHAHHAHAHAHA. Untuk cerita selanjutnya akan gue post segera, so thank you for reading this blog and see you~







Komentar

Ê• •á´¥•Ê”