Day 27: A Difficult Time In My Life

Asiiik... Udah hari ke 27 aja nih. Ini berarti gue udah ada di hari dimana Kevin Anggara akan menyelesaikan challenge ini dalam 3 hari lagi. Gak penting juga sih, tapi seenggaknya gue ada di titik yang sama kayak doi. Ngomong-ngomong juga, selamat tahun baru juga bagi kalian yang merayakan (semuanya merayakan). Gue ingin mewakili doa kalian semua. Semoga di tahun 2022 ini Covid 19 segera berakhir dan seluruh dunia bisa kembali melakukan kegiatan seperti di tahun 2018. 

Walaupun gue udah kelas 12, tapi entah kenapa raga gue masih terduduk di bangku kelas 10. Gue rasa perbedaan gue dari tahun ke tahun gak terlalu signifikan sih. Makanya nanti saat tanggal 3 gue masuk sekolah, gue bingung. Akankah gue menjalani kebiasaan sebagai anak kelas 12 di luar kebiasaan ambis? Atau gue akan tetap menjadi anak kelas 10 tukang tidur? Entahlah. Buat gue kelas 10,11, dan 12 gak ada perbedaannya sama sekali. 

Ehm, balik ke topik. Hari ini gue diajak untuk menyelami masa lalu. Sebuah keadaan sulit yang pernah terjadi dalam hidup gue. Semua manusia pasti ada sih, gak mungkin gak ada. Termasuk gue. 

Masalahnya, apakah gue mau untuk menceritakannya disini?

Mungkin.

Karena gue juga gak mau menghancurkan suasana di tahun baru, jadi kayaknya gue hanya akan menuliskan hal yang gak terlalu memicu rasa sesak di dada gue ataupun pembaca gue. Gue juga gak mau menarik simpati atas tragedi-tragedi pahit yang pernah menimpa hidup gue. Hal sulit yang pernah terjadi saat gue hidup salah satunya adalah ketika gue kelas 11.

Sekali lagi.

Gue gak peduli akan kemunculan beberapa orang yang kepo sama isi tulisan ini.

Gue gak peduli dengan orang yang memulai topik pergunjingan kalian dengan tulisan yang gue buat.

Gue gak peduli untuk kalian yang mau menghakimi tulisan gue ini.

Sekali lagi, gue gak peduli. Karena sisa kemarahan itu masih ada di hati kecil gue. Bahkan, setelah gue mengingat kembali, ketikan gue jadi super cepat karena gue benci untuk mengingat ini kembali. Biarkan gue bercerita walau ini melanggar apapun yang ada di dunia. Terutama pihak-pihak yang terkait.

Gue benci menjadi pemimpin. 

Waktu itu, udah pernah gue notice kalau ga salah di blog gue. Gue meyakini bahwa ada orang di luar sana yang mengira bahwa gue haus akan jabatan. Gue meyakini bahwa ada orang di luar sana yang mengkritik kinerja gue dari belakang walaupun gak pernah dia sampaikan ke gue secara langsung. Padahal sejujurnya, kalau bisa gue pergi dan gak pernah menyentuh itu semua, gue akan pergi. Bahkan, di tengah periode, gue dengan gamblangnya bilang ke teman gue bahwa gue mau keluar. Padahal saat itu, gue ada di posisi penting. Sulit memang, tapi banyak hal yang gue rasa ini adalah salah. 

Dari awal gue bertugas, gue langsung disalahkan atas apapun. Entah itu bukan salah gue, tapi gue akan menanggung semuanya. Jujur aja, gue sakit hati. Gue terlalu sering mengalah. Untuk sesuatu yang bahkan gue gak mau, gue terlalu sering mengalah. Tapi untuk hal itu, yang bisa gue maklumi adalah, 

"Lo pemimpinnya, lo bertanggung jawab atas segalanya"

Okee, fine! Thank you!

Tapi, lama-lama gue seakan gak punya pilihan. Dari segala macam aspek gue akan dinilai. Gue seakan panutan bagi semua orang. Jujur, gue gak betah. Dengan pergunjingan dibelakang yang gak jarang sesekali gue dengar, belum lagi dengan anggota gue sendiri yang gue jujur bingung gak tau gimana cara mengarahkannya. Orang yang dari awal selalu gue suguhi citra becanda, gak akan bisa terima ketika gue serius.

"Gue butuh seseorang untuk bisa mengimbangi kinerja gue." Batin gue

Tapi engga. Gak bisa. Layaknya lepas tangan aja. Gue juga merasa bahwa gue sedang mengejar layangan putus. Sia-sia.

Sebenarnya gue udah tau dari awal. Bahwa orang ini gak memiliki tanggung jawab. Tapi, gue hanya mengingat sebuah doktrin sampah dimana "aib keluarga jangan disebar ke khalayak"

Gue diam.

Berjalan sendirian, tanpa pernah gue ungkit ke siapapun. Gue bahkan enggan membahas hal terkait organisasi di dalam kelas ataupun teman-teman gue yang selalu membahas bahwa gue identik dengan organisasi tersebut. Kepala gue berteriak meminta mereka untuk stop. Bahkan, ketika gue lagi sendirian di rumah, gue akan ngomong sendiri sambil membahas keprofesionalitasan kerja mereka. Gue gak mau mencampur adukan kehidupan pribadi gue dengan organisasi. Karena capek.

Serius capek. 

Ini sama kayak lu punya keluarga disfungsional (maaf). Itulah organisasi.

Ditambah lagi gue selalu dihubungi setiap malam oleh orang-orang terkait untuk membahas suatu kepentingan dan persiapan tertentu. Gak jarang gue menghabiskan malam gue untuk mendengarkan itu semua. Gak cuma malam, di saat ulangan pun terkadang gue terganggu dengan suara telepon. Padahal beberapa dari mereka tau jadwal tertentu gue sekolah. Mereka tau. Tapi apa peduli?

Gue sering mengalami kekhawatiran setiap selasa. Tidur gue gak pernah tenang di hari minggu dan selasa. Gue akan memikirkan itu terus. Tanpa pernah bisa berganti ke pemikiran yang lain. Ketika telepon masuk, gue akan marah-marah terlebih dahulu sebelum gue mengangkat teleponnya. Baru setelah kemarahan gue mereda, selang 1-3 detik gue akan angkat. Masih dengan sisa kemarahan yang menempel, gue memaksa suara gue untuk bisa berbicara seformal dan sesopan mungkin. Gue gak akan pernah bisa menunjukan emosi gue ke siapapun. Lagian, siapa juga yang peduli?

Beberapa teman gue ada yang mencoba meredakan emosi gue dan mencoba untuk menetralisir emosi gue dengan meminta gue marah melalui mereka aja. Sayangnya gue gak bisa. Bahkan jika diizinkan untuk marah-marah tanpa perantara, gue gak bisa. Hal yang selama ini gue lakukan adalah memendam. Gue selalu diarahkan untuk begitu. Emosi bukan sesuatu yang berarti buat gue, yang penting adalah keberlangsungan acara dan jalannya organisasi. Lagi-lagi, emang siapa juga yang peduli sama emosi pribadi?

Gak jarang gue menangis. Menangis sejadi-jadinya kayak orang abis digebukin massa. Gue selalu membandingkan dengan kehidupan karyawan masa kini. Tapi setidaknya mereka lebih baik karena mereka mendapat penghasilan. Gue gak mau ngadu nasib sebenarnya, tapi ya dari sudut manapun gue rasa kerja digaji lebih baik daripada kerja menggaji. 

Gue hanya menunggu waktu. Sampai akhirnya gue terbebas dengan semua hal yang bikin gue muntah.

Tapi, tidak saudara-saudara. Hal itu belum berhenti sampai disini. Gue masih mendapat telepon ditengah tidur gue yang pertama kali nyenyak di tahun 2021. Tau apa? Gue masih harus bertanggung jawab atas apa yang telah gue lakukan selama gue memimpin. Katakanlah gue lemah. Tapi dengan gue yang sendirian karena seseorang yang gue percaya udah mencoreng kepercayaan gue, apakah gue akan tetap tenang dengan semua ini?

Bersyukurnya, banyak pihak yang tau akan apa yang gue pikirin. Banyak orang yang bersimpati dengan kondisi gue saat itu. Entahlah, mungkin kalau benar-benar gak ada yang peduli, gue gak tau bakalan kemana. Sampai sekarang. kemarahan gue masih belum selesai.

Kalau disuruh untuk mengenang masa-masa itu, gue hanya bisa mengenang segelintir kenangan yang menurut gue gak buruk-buruk amat. Gak ada yang menyenangkan. Gue hanya bisa bilang sejujurnya ke blog gue karena gue yakin, gak banyak juga yang paham dan sadar. Gue sering menuliskan hal ini ke diary gue. Tapi gue juga gak mau mengotori diary gue dengan cerita dari kemarahan-kemarahan yang gue tempatkan tidak pada tempatnya. 

Yah, semoga gak ada lagi kejadian adu nasib. Lo sama gue ya sama aja. Bedanya adalah tentang bagaimana tiap orang menyikapinya aja. Lo mungkin besyukur atas hal yang lu punya karena dasar teman-teman lu, mungkin? Gue? Kalau teman-teman gue sama aja, terus gue harus apa?

Belum lagi dengan drama yang terjadi. Semua  permasalahan seakan menuntut minta diselesaikan. Untungnya, teman-teman gue juga memiliki rasa yang sama dengan gue untuk bergerak menyelesaikan permasalahan. Bukan malah pergi dan gak pernah bertanggung jawab atas apa yang pernah mereka buat.

Semoga hal ini menjadi sebuah awal dari pembelajaran yang pernah gue ambil. Gue gak pernah menyalahkan organisasinya. Gue hanya menyesal kenapa pernah masuk. Gue gak berniat untuk menjelekan nama siapapun disini, tapi buat yang merasa, gue minta maaf. Gue gak bisa diam dan memendam untuk selamanya.

Akhirnya, waktu udah beberapa bulan berlalu. Akhirnya juga, gue sudah menyelesaikan semua tugas dan tanggung jawab gue tanpa ada beban yang masih tertinggal. Gue bangga akan hal itu, gue gak lagi merasa hal itu sia-sia. Setidaknya, peristiwa-peristiwa masa lalu bisa membantu gue untuk menangis lagi.

Wkwkwk, agak dramatis ya? Gue yakin lo semua bingung gue ngomongin apa. Jadi intinya, masa tersulit gue adalah mengenai kepemimpinan dan gue akhirnya  berhasil melalui masa itu walaupun masih ada sedikit sisa sakit hati yang berujung gue ceritakan seperti detail cerita di atas.

Kurang lebihnya mohon maaf, wassalamualaikum wr. wb. (Loh, bukan proposal?)

Sc: Pinterest


Komentar

Ê• •á´¥•Ê”