College Life
How time flies!
Perasaan baru kemarin gue ngambis dari pagi ketemu pagi, sekarang udah harus gak tidur lagi aja...
Ngga kok ngga, gak becanda maksudnya, beneran...
Halo semua! Gimana kabar kalian setelah dirundung cobaan bertubi-tubi? Gue harap kalian semua baik-baik aja dimanapun kalian berada dan jangan lupain kesehatan kalian semua di musim yang agak gak jelas ini. Di daerah Jatinangor a.k.a Bandung coret, baru aja ujan. Saat gue liat story Instagram teman-teman gue di Jakarta, benar saja pemirsa, di Jakarta juga gak kalah nangis karena dari tadi pagi hujan turun gak berhenti-berhenti. Berdoa aja semoga daerah rumah gue gak banjir.
Karena jarang banget gue update blog, bisa dibilang terakhir gue update cerita ada di tanggal 20 Agustus dan itu udah 19 hari dari hari ini. Yah, daily routinity gue sebagai anak kost bisa dibilang baru seumur jagung. Gue belum merasakan kekurangan uang atau kecopetan di angkot (amit-amit). Tapi, walaupun hidup gue sebagai anak kost baru sembilan belas hari, hal itu gak membuat gue ingin full turu. Gue melakukan kegiatan seproduktif yang gue bisa kayak contohnya nulis blog ini nih.
Sembilan belas hari berlalu juga gak mengurangi ingatan gue pada kenangan di hari pertama gue menginjakan kaki di kostan gue yang berada di daerah Cikeruh. Gue masih ingat usaha yang gue keluarkan untuk bisa ngekost selama sebulan di kostan gue sekarang yang menurut gue nyaman untuk di tinggali. Let's say gue ngekost di Wisma Mayangsari. Sebuah tempat yang sebenarnya cukup jauh dari kawasan Universitas Padjajaran, tapi selagi gue masih seneng buat jalan-jalan, jarak untuk mencari makan di Jalan Sayang yang kalau di hitung bisa sampai dua kilometeran gak membuat gue males untuk mencari makan. Sebenarnya ibu kost menyediakan berbagai variasi masakan, tapi ya namanya hobi jalan, apa enak kalau sehari ga keluar kostan?
Gue gak sendirian dalam menjalani hari gue sebagai anak kost. Gue ditemani Andrea, teman Pramuka SMP gue. Sebagai teman sekamar, gue gak punya keluhan apa-apa sama dia, gue sehat-sehat aja. Tapi mungkin dari Andrea sendiri ada, jadi mari kita tunggu review-an dia soal gue as a roomate-nya. Yang gue salut dari Andrea adalah seaneh apapun kebiasan gue di kost, tapi Andrea selalu memaklumi semua keanehan yang gue punya. Perbedaan tipis-tipis mah adalah. Kayak contohnya perbedaan selera makanan. Gue suka makanan yang manis sedangkan andrea suka makanan yang asin, andrea kalau makan bubur gak diaduk sedangkan gue diaduk, andrea protestan sedangkan gue islam, tapi hal itu gak menjadikan kita perang salib. Gue bisa merasakan toleransi mendalam selama gue hidup dengan Andrea. Toleransi yang selama ini diagung-agungkan di Indonesia tapi kalau ada salah dikit langsung kisruh masih kalah sama toleransi antara gue dengan Andrea di kost-an dua kamar. Hidup Andrea!
Selama menjalani masa ospek, gue dan Andrea selalu bersama. Dimana ada gula disitu ada semut. Dimana ada Andrea disitu ada saya. Yah kira-kira begitulah penggambarannya. Kebetulan gue ada cerita seru mengenai ospek. Ketololan sebagai mahasiswa yang baru kita mulai di hari itu. Gue yakin, selama empat tahun kedepan alias sampai lulus, ketololan ini bakalan selalu kita ingat.
Berawal dari tanggal 20, di saat gue baru dateng di kost, gue mendapati wajah Andrea yang sembab.
"Jangan ketawain gue pas lu dateng ke kostan ya, Pit"
Satu kalimat yang hanya bisa gue iyakan di dalam hati, tapi gak bisa gue lakukan kalau gue melihat muka Andrea saat itu. Saat gue tau alasannya, ya tentu saja karena Andrea gak rela berpisah dengan keluarganya. Makanya, saat malam hari gue baru datang ke kostan, gue ketawa secara gak langsung saat ngelihat dia yang sendirian sambil video call-an dengan temannya. Andrea dengan kesal, diam-diam menunggu momen saat gue juga akan menangis. Dia pikir gue adalah orang yang seperti itu. Haha, tidak semudah itu Andrea.
Barulah, saat nyokap gue berlinangan air mata di mobil, gue hanya bisa diam dan tersenyum, sementara ada Andrea dengan tampang kesal karena ga bisa ngeledekin gue yang harusnya nangis saat itu.
"Ish, lu mah ga nangis, gue udah nungguin lu nangis loh biar ada temennya"
Haha, tidak semudah itu Andrea, Kata gue di dalam hati.
Selama menunggu ospek, kita mulai untuk keluar dari zona nyaman. Awalnya kerjaan kami hanya tidur di kost. Tapi hal itu gak bisa terus kita lakukan karena kami manusia dan manusia butuh makan. Sembari beranjak dari tempat tidur menahan rasa malas dan dingin, kita berangkat mencari makan di sekitaran Jalan Sayang. Dari kost ke tempat makan sih sebenarnya gak jauh, tapi yang bikin capek adalah tanjakannya itu loh. Astaga, setiap nanjak gue selalu ngeluh dan setiap turunan untuk balik ke kost rasanya gue ingin menggelindingkan diri aja.
Gue dan Andrea sukses mengeksplor semua tempat makan di Jatinangor. Tentu saja target kami adalah makanan paling murah dengan porsi setumpuk. List makanan tersebut udah tercetak tebal di otak kami berdua. Sebagai warga Jakarta, sekarang kami merasa bahwa kami adalah warga lokal. Gak jarang kami unjuk kemampuan ke orang-orang yang belum tau makanan enak nan murah apa yang tersebar di Jatinangor. Kami, sebagai warga Jakarta sudah tau itu dan memberikan rekomendasi ke teman-teman kami dengan memberikan review jujur dari lidah kami berdua.
Pernah sekali, gue dan Andrea makan di nasi padang seberang Jatinangor Square. Kalian tau apa? Dengan satu potong ayam dan nasi, kita dikenai harga delapan belas ribu. Hal itu membuat gue dan Andrea menjauhi nasi padang itu. Cukup sekali dan gak lagi-lagi.
Cukup dikecewakan sekali? Oh engga, masih ada lagi.
Ceritanya waktu Prabu day 3, gue bertemu dengan banyak sekali orang. Salah satunya orang dengan nama Cikso. Beliau ini berkata bahwa ada ayam geprek bernama ayam geprek free yang seporsinya seharga sepuluh ribu rupiah. Gue dan Andrea tau dimana ayam geprek itu. Lokasinya gak jauh dari arah kami pulang. Jadi, mari kita coba.
Awalnya saat gue baca di Google, tertulis bahwa ayam geprek itu tutup permanen sehingga gue kembali memprotes rekomendasi Cikso yang gak berguna. Iyalah, kalau tempatnya tutup siapa juga yang bakalan masuk? Tapi atas omongan beliau yang bilang bahwa kemarin baru aja buka lagi-lagi membuat gue dan Andrea percaya bahwa sebagai warga lokal asli Sumedang dia gak mungkin bohong. So, let's try!
Esoknya, dengan bermodal nekat, gue dan Andrea melangkah kaki ke tempat itu. Awalnya gue udah curiga kayak "Kok sepi?" Baru saat gue masuk, gue menyadari satu hal.
Harganya dua kali lipat dari apa yang Sir Cikso ini kasih tau. Lucunya, buat orang yang kepalang tanggung pasti ga enak dong kalau ga beli, tapi demi kesehatan dompet bersama, gue memutuskan untuk bertanya Andrea dulu,
"Gimana, Ndre?'
Andrea hanya mengangguk kecil tapi gak membantu. Gue bingung karena kalo mau nanya "Mbak, gak jual bebek ya?" takut di jawab "Buta mata lo?"
Jadi, satu-satunya cara untuk melarikan diri dan menyelamatkan kesehatan dompet kami adalah,
"Maaf ya mbak, gak jadi"
Asli, malunya berasa sampai sekarang dan tempat itu menjadi salah satu trauma mendalam bagi gue dan Andrea.
Selain hal itu, gue juga agak culture shock dengan budaya di Jatinangor ini, khususnya makanan.
Selama ini yang gue tau, makanan manis hanya ada di Jawa khususnya tengah, tapi ini kenapa Jawa Barat ikut-ikutan? Sebagai pecinta sambel pedes yang gak bikin mules, gue agak sedikit kaget aja sih sama sambel-sambel disini.
Selain makanan, gue juga culture shock sama sarana dan prasarana di kecamatan ini.
Jalanan di Jatinangor gak ramah untuk pejalan kaki. Mungkin, kalau di daerah sekitar unpad banyak banget trotoar, tapi di bagian lain kayak contohnya arah ke kost gue di Jalan Sayang, boro-boro trotoar, cuma ada jalanan dari teras-teras ruko yang tersisa. Itu juga kalau gak ada kendaraan parkir, kalau ada ya kita terpaksa pakai jalanan. Emang dasarnya juga nyebelin, kadang saking ga ada jalannya, gue pake jalanan di pinggir aja masih kena klakson dari pengendara motor atau mobil yang ada. Gini ya, minimal ngerti lah kalo manusia cuma punya kaki, jadi mohon pengertiannya kalau gue pake jalan sebentar, kalau ada jalanan yang kosong juga gue pindah kok. Mohon banget ini mah.
Culture shock gue yang lain adalah soal bahasa.
Gue pernah bilang bahwa gue adalah orang Sunda yang gagal.
Tapi gue banyak berkenalan dengan orang Jawa Barat. Walaupun lahir dari keluarga Sunda juga, tapi bahasa Sunda gue agak sedikit berbeda dengan bahasa Sunda mereka. Masalahnya, bahasa yang udah sering gue dengar lewat nyokap dan bokap gue aja gue gak ngerti, ini ditambah bahasa asing lagi. Gue makin merasa gagal menjadi orang Sunda. Sebuah bahasa baru yang gue tambahkan ke kamus gue, ada moyan yang berarti berjemur dan giung yang berarti kemanisan. Selebihnya udah. Gue gak bisa full ngomongnya, tapi kalo untuk mengartikan masih okelah.
Kehidupan kampus gue sendiri, bisa dibilang aman. Gue memiliki beberapa teman dari berbagai fakultas dan jurusan, gue juga akhir-akhir ini kuliah daring dan luring. Tapi, kebanyakan daring sih, hal itu yang membuat Andrea sebagai bocah homesick berpikir "Apa gue balik ke Jakarta ya, Pit?"
Tapi ya tetap, mau daring atau luring, kalau ada kesempatan gue sering datang ke kampus. Untuk sekadar ke perpustakaannya entah untuk belajar atau diam-diam nonton film karena wifi kampus kayak wifi nasa. Kencangnya bukan main. Pemandangan dari lantai atas perpus juga gak kalah bagus. Dengan view Gunung Geulis dan pepohonan cukup memanjakan mata dan membuat gue mendapatkan inspirasi untuk menulis atau nugas.
Nah, culture shock lagi nih. Selama di SMA gue sering sekali mendapatkan tugas. Gue ingat, tugas gue yang paling berat adalah tugas praktek di kelas 12. Sekarang, baru aja masuk kuliah, ga ada 10 hari, gue udah diminta untuk membuat sebuah makalah dengan jumlah kata minimal 12.500 untuk 5 orang yang berarti satu orang harus bisa menulis 2.500 kata. Berat? Iya menurut lu aja. Dalam kurun waktu dua hari, gue harus selesai membuat tugas penulisan itu. Karena ada satu dan lain hal, gue baru memulai mengerjakan di jam setengah delapan malam sedangkan deadline tugas ada di jam tujuh pagi. Dengan berat hati gue harus begadang sampai jam dua pagi demi terselesaikannya tugas ini. Awal gue menginjakan kaki ke kostan, gue dihantui suara tokek di jam 12 malam. Di hari gue mengerjakan paper itu, gue gak peduli mau ada suara tokek ataupun komodo sekalipun, yang gue harapkan cuma selesai dan segera tidur, udah. Jadi buat yang mau masuk hubungan internasional, ada baiknya kalian pikir dua kali kalau gak mau waktu tidur kalian kacau. Tapi ya, gue tetep seneng karena gue udah biasa untuk menulis, jadi 2.500 kata bukan jadi masalah besar buat gue. Tapi jadi masalah terbesar di hidup gue.
So guys, segini dulu life update dari gue, mungkin besok gue bakalan update cerita yang lebih seru lagi karena jujur gue lagi keteteran buat nulis.
Thanks for reading and have a nice dream for y'all! :D
Komentar
Posting Komentar