Bandung Bagiku...
Melanjutkan dari kisah sebelumnya...
(("Izin dah gue, boleh gak? Takut ketinggalan bis nih" Keluh gue saat jam menunjukan pukul setengah lima sore.
"Yaelah, mau kemana sih lu?" Tanya Kak Aksyal.
"Mau healing gue, ke Bandung" Balas gue ))
Sepulangnya gue dari ospek jurusan, gue ditemani oleh Balqis dan Andrea berjalan kaki dari Unpad ke kost gue di Jalan Sayang tepatnya di dekat SDN Cikeruh II. 1,8 Km yang kita hadapi waktu itu gak berasa karena sepanjang jalan kita bertiga ngomongin banyak hal mulai dari ospek fakultas yang baru aja gue jalanin, Balqis yang kenalan sama anak Ilmu Pemerintahan, dan cowoknya Balqis yang sekarang lagi long distance relationship antar pulau. Akhirnya kita mampir dulu di warteg yang ada di Jalan Sayang karena nanti malam Andrea gak akan bisa mencari makan karena dia akan sendirian sampai dua hari kedepan. Sorry Andrea...
Setelah itu, kami berjalan hingga sampai di kostan gue. Gue buru-buru packing dan berganti baju tanpa mandi atau sikat gigi. Balqis yang gak kuat akhirnya bilang
"Pit, ke jatosnya naik grab car aja deh ya, gue yang bayar gapapa"
"Oke deh, asal lo yang bayar" Saut gue, kurang ajar.
Kita berdua pamit ke Andrea dan gue berpesan agar Andrea berhati-hati selama sendirian di kost karena ini pertama kalinya Andrea di kost sendirian. Kalau ada yang denger ini, gue pasti dikatain tega, untuk sekadar klarifikasi aja ya gengs, Andrea udah gue ajak juga ke Bandung tapi beliau ini gak mau. Dah ya, clear.
Setelah sampai di Jatos, gue kembali bertemu dengan Mamanya Balqis dan satu keluarga teman Mamanya Balqis dan ternyata anaknya kuliah di Unpad jurusan Sastra Rusia. Sembari berkenalan, gue kembali membawa Balqis berjalan-jalan berkeliling Jatinangor Square sembari menunggu Balqis mengambil uang di mesin ATM.
Karena mesin ATM-nya gak bisa, kita akhirnya kembali ke tempat dimana Mama Balqis dan temannya duduk dan karena hari sudah mulai sore juga, kita semua akhirnya memutuskan untuk pergi. Teman mamanya Balqis mengantar kami ke luar Jatos, sambil sesekali gue mencoba mengobrol dengan beliau,
"Anaknya di Unpad juga, tante?" Tanya gue saat itu.
"Iya nih, dia di Unpad, kamu di Unpad juga?"
"Iya tante, aku fisip, katanya anak tante sastra rusia ya? Kebetulan fakultas kita tetanggan, tante sendiri tinggal disini atau cuma jenguk anak tante?" Kata gue mulai membuka obrolan
"Wah iya nih, deketan ya berarti fakultas kalian? Tante sih kesini buat nemenin dia (anaknya), sebenarnya tante sedikit khawatir, kan baru aja ya, kemarin ada kasus yang ospek sampai meninggal itu" Curhat tante yang gue gak sempat tanya namanya siapa.
"Howala, tenang aja tante, disini ospeknya santai kok, kemarin aja aku baru dateng langsung banyak yang sambut mahasiswa barunya dari panitia ospeknya" Balas gue mencoba untuk menenangkan.
"Bagus deh kalau begitu, tante seneng dengernya"
Setelah sampai di atas, gue, Balqis, dan Mama Balqis menunggu Damri di depan Jatos. Agak lama menunggu sampai akhirnya Damri tiba di depan kita, namun sayang jurusannya bukan ke Dipatiukur. Gue mencoba meyakinkan diri dengan bertanya ke mamang parkir yang lagi mencoba mengatur kendaraan yang berlalu lalang di sekitar Jatos.
"Mang, punten mau tanya, Damri ke DU terakhir jam berapa ya?" Tanya gue.
"Damri ke DU terakhir jam 7 neng, sok tunggu aja dulu disini" Balas mamangnya.
Gue mencoba berkontak mata dengan Balqis dan memberikan tanda bahwa aman untuk kita pergi ke Bandung jam 5 lewat. Hingga akhirnya, gak lama setelah gue bertanya, muncul satu damri yang dari jauh gue baca jurusan Jatinangor-Dipatiukur. Gue tenang saat melihat bahwa damri masih ada di jam yang hampir menunjukan pukul setengah enam sore.
Gue, Balqis, dan Mama Balqis pun naik ke Damri. Gue bilang, tata cara pembayarannya ke Balqis dan akhirnya Balqis dan mamanya diperbolehkan masuk. Tinggal gue. KTM gue di mana? Mampus.
Gue inget banget gue menaruh KTM gue di dalam dompet. Dompetnya sendiri gue masukan ke dalam tas yang isinya juga penuh sama baju dan berbagai perlengkapan untuk bertahan hidup dalam dua hari gue di Bandung nanti. Gue mengorek semua isi tas gue sampai baju-baju gue keluarin, untungnya saat itu bis agak renggang, jadi gue lebih leluasa walaupun sebenarnya gue sedikit malu karena jadi pusat perhatian.
"Udah teh, kalau lama tetehnya naik bis berikutnya aja" Kata supir bisnya, judes.
"Sebentar, Pak. Ada kok. Nih." Kata gue sembari menunjukan Kartu Tanda Mahasiswa yang gue punya.
Bapak supirnyapun langsung tancap gas saat itu juga dan berkata,
"Makanya Teh, kalau sebelum naik, kartunya di siapin dulu, biar gak lama"
Gue hanya terdiam karena malas juga untuk menanggapi Bapak Supir yang lagi badmood. Daripada gue juga ikut badmood, mending gue sumpel kuping gue pakai earphone yang lagi gue bawa dan cepet-cepet gue tancapin di lubang hp biar suara bapaknya yang ngeluh mulu tiap ada penumpang yang salah gak kedengeran. Tapi minusnya, gue gak dengar setiap Balqis ngajak ngomong gue. Agak gak enak juga sih karena gue cuekin doi, tapi ya mau gimana lagi.
Perjalanan ke Dipatiukur sepertinya agak gak berjalan mulus.
Gue sampai di DU sekitar pukul 7 malam. Saat itu, bus dibawa oleh supir bis badmood dengan serampangan yang membuat gue entah kenapa jadi mabuk perjalanan. Bahkan, saat gue turun dari bus, Balqis yang mengucapkan salam perpisahan dibalas dengan gue yang hampir muntah. Balqis yang tau kondisi fisik dan mental gue yang terumbang-ambing di jalanan akhirnya hanya menepuk pundak gue dan berkata,
"Pit, hati-hati ya... Gue balik dulu"
"Huweeek"
Gue yang belum mengucapkan sepatah kalimat pun langsung merasa tidak enak dan memanggil Balqis sesaat setelah kesadaran gue kembali.
"Qis"
Balqis langsung berhenti.
"Thank you ya, nanti kalau gue ke Jakarta, gue main ke rumah lu"
Balqis tersenyum mengangguk dan pergi bersama ibunya ke tempat penginapan mereka.
Disana, gue langsung memesan grab. Mari berkata 'Mampus' karena baterai ponsel gue tersisa 15%. Setelah gak lama gue menunggu, akhirnya grab bike gue sampai. Gue memakai helm dengan kepala setengah pusing dan menikmati udara malam hari selepas hujan di Bandung. Sesekali gue menengok ke kanan dan ke kiri untuk menikmati pemandangan sembari mengobati kepusingan yang semakin lama akhirnya semakin memudar. Akhirnya gue sampai di salah satu apart yang pas gue ceritain ke teman gue yang asal Bandung asli, dia malah bilang,
"Ih... Itu kan apart buat open bo"
Gue cuma mengangguk saat mendengar fakta pahit dari apart yang akan gue tinggali selama dua hari. Lagian, gue gak mau open bo juga.
Sebelum sampai, gue mengabari nadia melalui Whatsapp dan mengirim lokasi terkini karena gue takut dibawa kabur dan dijual ginjalnya sama abang-abang yang sedang mengendarai motor yang sedang gue naiki ini.
"Aku udah otw" Kata gue
*send resent location
"Nanti kalo udah sampai masuk aja terus tunggu di depan lift, biar pas gue turun lo langsung masuk, ga bisa naik kalo ga pakai card soalnya"
Gue sembari melihat maps langsung terkejut saat abang grabnya berhenti di tengah jalan. Gue langsung membayangkan adegan di mana nantinya ada mobil lewat dan gue di paksa masuk dari motor ke mobil yang nantinya orang tua gue akan dimintai tebusan sebesar 5 miliyar. Tentu saya orang tua gue tidak akan memberikan uang itu karena emang gak ada. Kalopun ada juga, gue agak gak yakin kalau gue layak di tebus dengan harga segitu.
Lanjut ke gue yang panik karena gak tau ini di mana dan gue sendirian di dunia ini. Abang-abangnya juga panik lalu bertanya pada gue,
"Teh, ini belok ya?"
"Loh, pak, gak tau. Saya juga baru aja kesini, tapi kalo di maps sih, iya, belok"
Akhirnya, dengan segala daya dan upaya, gue sampai juga. Gue melihat di lobby nya ada seorang bule yang kayaknya hampir mau check in. Sedangkan gue mencoba untuk menelpon Nadia. Hingga akhinrya telpon gue diangkat dan di depan lift ternyata udah ada sosok yang gue kenal, yaitu Nadia sambil memegang handphonenya di telinga. Saat tau itu gue, dia mengajak gue untuk segera masuk ke dalam lift.
"Alma mana?" Tanya gue saat lift sudah tertutup dan segera menuju ke lantai yang kita tuju.
"Ada di kamar. Capek katanya"
"Anjir. Gue pusing banget. Tadi ada Balqis, nanti deh gue ceritain di kamar"
"Iya santai, sisain aja ceritanya buat di kamar"
Nadia tau, gue gatel banget buat ceritain tentang apa aja yang terjadi hari ini, Makanya dia menahan gue untuk menumpahkan segalanya di lift untuk lebih baik di ceritakan di kamar nanti bersama Alma.
Selepasnya gue sampai, benar saja. Baru saja membuka pintu, gue langsung menyapa Alma yang sedang tiduran di kasur dan bilang,
"Anjir, lu lama banget"
"Ya maap, kan gue hari ini abis blablalblablablabla" Gue menceritakan segala detail yang terjadi pada hari ini. Dari mulai ospek fakultas sampai diomelin supir damri dan nyasar di perempatan yang gak tau itu di mana. Mereka berdua cukup amaze liat energi gue yang gak habis-habis padahal gue sempet ngeluh pusing barusan. Sembari melakukan vlog kecil-kecilan di instagram pribadi, Nadia tiba-tiba nawarin minum dengan cara yang aneh.
"Pit ini minum dulu, Pit" Kata Nadia sembari mengambil gelas dan menuangkan air dingin dari dispenser.
"Gak usah sok baik!" Kata gue, yang langsung dibalas dengan cengiran dari Nadia. Aneh aja gitu, biasanya dia gak begitu.
Baru deh, habis itu, gue mandi dan makan. Mie Gacoan dan Kopi Toko Djawa menemani malam gue yang indah sambil sesekali melakukan deep talk dengan mereka. Kami makan di balkon kamar sembari memandang jalanan kota Bandung yang saat itu sedang senggang dan tidak ramai mobilitas ataupun orang-orang yang berlalu-lalang.
Setelah makanan mereka habis, gue lalu membereskan makanan gue sendiri karena kebetulan makanan gue masih bersisa sehingga gue membawa kembali makanan gue di dalam karena ada microwave jadi bisa buat besok. Tapi percuma juga sih, itu kan mie ya, terus pedes. Menurut lu aja bisa dipake buat sarapan apa engga?
Akhirnya setelah makan, kita berencana untuk nonton bareng. Kita menonton film Makmum 2 saat itu. Seingat gue, Makmum 2 udah gue tonton di rumah bareng Nadia. Tapi, Nadia keukeuh bilang kalau yang kita tonton saat di rumah gue itu adalah Makmum pertama. Jadilah kita bertiga nonton. Tapi, entah kenapa karena gue kecapekan jadi gue berakhir dengan tidur duluan. Kayaknya di tengah-tengah film gue terbangun dan ngigo hingga Alma dan Nadia ngomong ke gue dengan tatapan iba,
"Udah, Pit. Tidur aja"
Gue kembali melanjutkan tidur gue yang sempat tertunda karena faktor ospek yang harus bangun pagi dan dengan begonya gue tidur agak larut.
Gue tertidur dengan perasaan nyenyak dan tenang.
Hingga saat paginya gue bangun, gue mendapati selimut gue sudah hilang dari kaki gue. Ternyata selimut gue ditarik oleh Alma. Sehingga gue mendapatkan sisa sedikit selimut dari Alma dan Nadia yang maruk itu. Gue dengan maruk juga kembali menarik selimut tersebut dan tidur lagi hingga pukul 7 pagi. Mari kembali membalik memori saat malam kemarin,
"Besok pokoknya harus bangun pagi ya, kita ke Braga" Kata Alma
"Ga sarapan dulu?" Tanya gue
"Mau go food aja?" Tanya Nadia
"Kesana langsung aja, makan apa sih? Jatinangor House kan?" Tanya Alma
"Iya" Balas gue
Balik ke flashback. Ternyata kita semua baru siap jalan di jam 9 pagi. Sangat amat lambat dari rundown yang seharusnya. Gak semua sebenarnya, cuma Alma. Gue sudah bangun dari jam 7 pagi dan malah nonton Disney Clubhouse di tv. Sementara Nadia bangun setelahnya dan ngajak nonton film sampai Alma bangun.
Jam 9 itu, kita semua buru-buru buat mandi, make up, nyatok, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Setelah itu, Alma langsung memesan grab dan sembari menunggu grab datang, kita semua foto-foto dulu di tiap dinding yang ada kacanya. Se-norak-itu.
Saat grabnya sampai, seperti biasa pasti ada yang rebutan biar gak duduk di samping pak supir yang sedang bekerja, mengendarai kuda supaya baik jalannya HEI!
Endingnya, Alma yang duduk di depan dengan muka pasrah.
Jalanan yang dikelilingi oleh pohon-pohon rindang di kanan dan kiri membuat cahaya matahari tidak langsung jatuh ke jalan. Gue merasakan hawa sejuk karena ac mobil. Ngga, maksudnya karena pohon lah.
Hingga gak lama kemudian, kita pun sampai di Jatinangor House di Bandung. Loh? Jatinangor kok di Bandung, bukan di Sumedang? Jadi gengs, Jatinangor House punya banyak cabang. Bahkan, di Jakarta aja ada loh. Nah yang kemarin gue datengin tuh adalah salah satu cabang yang ada di Bandung tepatnya di Dago Atas.
Tempatnya cukup homey ternyata. Padahal dari luar, gue melihat antrean penuh. Tapi saat masuk, ternyata itu adalah antrean dari pembeli online alias gofood atau grabfood. Sedangkan di dalam, tempatnya sangat sepi walau agak panas karena semi outdoor. Lantainya pun di penuhi oleh batuan kerikil kecil dan juga kucing. Jadi, kalau salah langkah kita akan menginjak ranjau 'alami' hasil dari para kucing-kucing lucu disini.
Hingga gak lama, pesanan kami akhirnya datang. Gue memesan satu spicy chicken, scramble egg, iced lemon tea, dan gak lupa yang ditunggu-tunggu, daun kailan.
Sejujurnya, gue harus menahan diri selama di Jatinangor untuk ngga mencoba si Jatinangor House ini di sana. Gue berjanji pada diri gue sendiri untuk mencoba si JHouse ini di Bandung. Akhirnya, hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu. Gue akan memakan makanan spesial bersama dengan orang-orang yang spesial pula.
Bentuk makanan yang sangat menggoda untuk dihabiskan di atas piring biru itu tentunya mengundang para kucing untuk mendekat. Untungnya saja, kucing-kucing di sana gak bar-bar. Ada satu kucing oren yang terus mendekat ke arah kami dan hanya berakhir menjadi keset untuk kaki gue. Kucing oren ini kayaknya bukan kucing oren asli. Lebih tepatnya, dia gak menggambarkan sifat dari kucing oren yang barbar dan hobi main cewek sana-sini.
Pagi itu, kami ditemani oleh makanan yang enak dan ngenyangin plus kucing oren yang lucu dan sibuk tiduran di bawah sambil gue elus-elus pelan pakai kaki. Mungkin dari dalam hatinya dia bilang,
"Dasar hooman gak sopan"
Tapi untungnya, yang hanya bisa beliau lakukan hanya mengeong. Gue aman dari judgemental seekor kucing.
Setelah selesai makan, gue izin ke kamar mandi karena ayamnya buat gue terlalu pedas untuk ukuran orang yang payah kayak gue, ayam JHouse bikin gue mules. Jadi daripada sakit perut sepanjang perjalanan, gue lebih memilih langsung 'membuang' apa yang sudah gue makan. Hingga akhirnya Nadia bilang sambil ketawa,
"Bego, abis makan enak malah dibuang"
"Ya mau gimana" Balas gue sembari menutup pintu kamar mandi.
Akhirnya, beres gue menyelesaikan urusan pribadi, kita pun beranjak ke Braga.
Perjalanan ke Braga memakan waktu satu jam lebih karena macet yang disebabkan oleh acara yang ada di Gedung Sate. Gue sempat berbincang singkat dengan supir grabnya waktu itu. Saat tau gue anak Unpad, bapak drivernya jadi excited karena anaknya juga berada di satu instansi yang sama dengan gue. Hingga akhirnya, perbincangan kita terhenti saat kita udah sampai di Braga. Kita turun dan berjalan ke arah kanan untuk mencari Myloc Coffee. Tadinya kita sempat mau mencoba photobooth, tapi karena antre jadi kita mengurungkan niat dan lebih memilih untuk ngopi di Myloc.
Kami mencari posisi yang pw (pualing wenak) buat di tempati. Tentu saja pilihan paling tepat adalah di atas. Jelas saja, di atas sangat sepi. Bisa dibilang hanya kita saja yang ada di atas. Gue lagi-lagi memesan lemon tea karena siang itu panas banget dan gue lebih memilih untuk meminum yang seger-seger. Sampai Alma bilang "Anak ini udah 2x loh minum lemon tea"
Ya habis gimana, wong panas terik begini, masa iya gue minum jamu beras kencur?
Sembari menunggu minuman tiba, gue menikmati pemandangan Jalan Braga dari atas. Laju para pejalan kaki, daun yang melambai diterpa angin, maupun musik yang mengalun syahdu menambah keindahan di hari itu. Meskipun panas, tapi di sini gak semenyengat di Jakarta. Entah kenapa gue jadi membandingkan Bandung dengan Jakarta. Tapi emang faktanya panas Jakarta kayak simulasi neraka. Mau gimana lagi?
Hingga akhirnya, kita bersiap untuk pergi ke alun-alun kota Bandung. Menuju Jalan Asia Afrika dan bertemu para cosplayer hantu yang tiba-tiba ngomong ke arah gue.
"IH ADA TUPAC"
Gue hanya berbisik ke Nadia. "Tupac siapa?"
"Itu baju yang lu pake Tupac, tolol" Balas Nadia karena baju yang gue pakai sekarang adalah baju dia.
"Oh..." Balas gue santai
"Si anjir dari tadi baru sadar" Kesal Nadia karena se-apatis itu gue.
Hingga akhirnya kita memutar ke Jalan Naripan, lalu kembali ke arah Braga, dan terakhir berjalan pulang.
Setelah sampai di kamar, gue cepat-cepat mandi karena gerah banget dan ini adalah hari terakhir gue bersama mereka. Habis ini, gue akan kembali ke Jatinangor.
Eiiiit... Ada poin yang ketinggalan nih.
Jadi, saat gue di Dago Atas dan makan JHouse, Nadia tiba-tiba bertanya,
"Pit, kasian banget lu, Andrea gak di ajak" Kata Nadia yang disetujui oleh Alma.
"Tau lu Pit, ajak aja ke sini orangnya, lagi ga ngapa-ngapain kan?" Tanya Alma.
"Orangnya gak mau anjir, dari kemarin juga gue udah ajak nginep malah. Ga mau" Balas gue
Saat itu, terpikirkan Andrea oleh gue. Hingga gue bertanya melalui Whatsapp dan meminta dia untuk datang. Tapi, brengseknya, beliau malah udah ada di Bandung dengan anggota Unpad Pintar yang berisikan teman-teman Prabu (Ospek universitas) gue, di dalamnya ada Cici, Qonita, Alif, Andrea, Ali, Cikso, dan gue.
Gue sempat pamer ke grup kalau gue sedang ada di Braga, sampai akhirnya gue di counter sama Alif yang mengirimkan foto mereka semua yang ada di dalam mobil sambil bilang "Pit sorry banget, Pit"
Gue hanya bisa merespon dengan "Benci banget"
Dari chat-an itu, gue cepat-cepat untuk mandi dan memesan grab untuk menyusul mereka ke Armor Coffee. Nadia dan Alma sempat menahan gue untuk tidak pergi karena mereka juga masih ada waktu sehari di sana. Tapi, sekali lagi. Gue memikirkan Andrea yang harus hidup sendirian di kostan tanpa gue. Belum lagi dengan orang tua gue juga yang mikirin nasib Andrea yang gue tinggal sendirian. Jadilah gue memilih untuk pulang di sore itu. Sambil packing, Alma bilang ke gue,
"Pit, Nad mau nangis tuh lu balik"
"Lah? HAHAHAHAHA" Tawa gue
"Ih lu mah malah ketawa anjeng" Kesal Nadia pada gue
"Lucu banget lagian anjir, kek gak bakalan ketemu lagi" Balas gue menahan ngakak
Setelah gak lama abang grabnya pun sampai. Alma dan Nadia mengantarkan gue sampai ke depan. Gue kembali berpelukan dengan mereka dan berjanji bahwa gue akan ke Jakarta dalam waktu dekat dan tentunya main dengan mereka semua. Gue sekali lagi meledek Nadia,
"Nad, jangan nangis ya"
"Nggak ih, najis banget"
"Aowkwkokwokw"
Gue pun naik motor dan menggunakan helm demi keselamatan fisik dan dompet (Takut di tilang)
Sekali lagi, gue membuka line dan menuliskan pesan di grup Unpad Pintar.
"Kursi satu belakang muat kan ya? Gak mau tau, gue harus muat" Tanya gue agar gue gak perlu naik Damri kematian buat pulang dari Bandung ke Jatinangor.
"Lu lanjut sama temen-temen lu aja, Pit. Gak apa-apa" Balas Alif.
Tentu saja gak bisa dibiarkan. Gue sedang menuju ke Armor Coffee di Dago Pakar untuk menyusul mereka. Gue seperti karakter yang baru aja membuka wilayah baru untuk gue kuasai. Di sepanjang perjalanan gue hanya terpana akan pemandangan yang di sajikan. Apalagi saat mencapai puncak atau di atas. Gue bertemu dengan Warung Taru yang membuat gue menjadikan warung itu sebagai destinasi gue selanjutnya kalau-kalau gue ada kesempatan untuk ke Bandung lagi.
Akhirnya, gak lama kemudian, gue sampai di Armor Coffee di sore hari menjelang malam.
Gue langsung menelfon Andrea karena gak tau harus masuk lewat mana. Akhirnya dia menjemput gue di luar dan gue bisa bertemu dengan para anggota dari Unpad Pinter itu. Mereka menatap gue dengan sinis karena kehadiran gue agaknya tidak diharapkan di sana.
"Lu ngapain Pit, di sini?" Tanya Alif
"Iyaudah iya, gue balik" Kata gue pundung, sembari membawa lagi tas ransel gue balik yang langsung di tahan oleh Cici dan Qonita.
"Eyyy duduk sini" Kata Cici.
Kita di sana berbincang ria sambil sesekali melepaskan jokes yang hanya Unpad Pinter ini yang mengerti. Jam memasuki waktu maghrib. Tiba-tiba Cikso bilang,
"Di sini kan banyak pocong" Katanya.
Gue hanya memandang sekeliling dan benar aja pemirsa, banyak banget pohon bambu. Tapi yaudah. Cuek.
Setelah makan cireng dan minum anggur (Dalam arti harfiah), kita pun berlanjut pergi. Cikso sebagai orang asli Sumedang dan besar di Bandung membawa kami berjalan-jalan berkeliling kota Bandung di malam hari. Tentu saja dengan kesompralannya, di setiap jalanan berhantu, dia akan menceritakan urban legend yang gak semua orang mau tau sih sebenarnya, tapi biar orang ketakutan aja kali ya, padahal gak ada yang takut. Wong di dalem mobil berdempetan gitu.
"Nih di sini katanya ada hantu anak kecil bawa boneka" Kata Cikso saat kita memasuki Jalan Babakan Siliwangi.
Tapi sayangnya gak ada yang takut karena kita semobil bertujuh.
Gue sendiri memangku Cici dan Andrea memangku Qonita. Sedangkan Ali anteng karena memangku doa. Alif di depan sendirian, tenang dan tidak tersentuh. Kami menyebut posisi kami saat itu sebagai posisi ikan di dalam aquarium hingga tercetuslah nama "Mobil Aquarium"
Tadinya, Cikso mengajak kita untuk makan sate di Bu Ngantuk, tapi karena ramai ya gak jadi, kita akhirnya pulang.
Di tengah jalan pulang, tiba-tiba nyokap gue menelpon.
"Eh diem dulu, nyokap gue nelpon" Kata gue ke anak-anak yang lagi berisik.
"Halo ma?" Tanya gue
"Neng, lagi di mana?" Tanya nyokap balik
"Di Bandung, ini mau pulang kok" Kata gue jujur
"Halo Tante!" Kata Cici menyapa
"Eh, halo Nadia" Balas nyokap gue ke Cici yang di sangka Nadia.
"HAHAHAHAHA NADIA SIAPA?!" Tawa anak-anak
"Ini Cici Tante" Balas Cici lagi
"Oh... Hehehe" Respon nyokap gue dengan terkekeh.
"HAHAHAHAHA" Tawa anak-anak lagi mendengar nyokap gue terkekeh
"Ipit mau pulang, ini udah sama Andrea kok" Kata gue supaya lebih meyakinkan
"Oh iyaudah, pulangnya hati-hati" Pesan nyokap gue
Setelah mengiyakan, gue menutup telepon dan kembali mengobrol dengan mereka membicarakan hal-hal yang tidak penting mulai dari ngajak spa sampai topik rokok dan vape.
Akibat laper berat, kita pun akhirnya ke Dipatiukur alias DU untuk mencari makan. Hingga akhirnya terbesitlah Bebeke Om Aris yang waktu itu pernah di promosikan oleh Uus di video youtubenya. Walaupun warungnya bernama bebek, tapi tetap saja, gue lebih memilih memakan ayam.
Di sana warungnya cukup ramai sehingga kita harus menunggu sebentar untuk bisa mendapatkan kursi dan meja. Setelah itu, pesanan pun sampai di meja kami. Cikso pakai acara rebutan nasi dengan gue karena nasinya tidak sempurna kayak yang lain, akibat kebanyakan ngalah kalau di rumah, kali ini gue gak mau ngalah sehingga nasi sempurna itu menjadi milik gue. Beliau cuma bisa menatap gue sinis.
Kami makan dengan tenang dan setelah kenyang kami kembali ke mobil untuk pulang. Tentu saja masih dengan kursi yang berdempetan. Cici selalu bertanya kondisi gue. Kondisi gue tentu saja baik, tapi tidak dengan kaki gue, harusnya doi bertanya ke kaki gue daripada bertanya ke gue langsung.
Masih dengan kegilaan kita semua, kita malah ngide untuk pergi ke Jakarta.
"Udah belok aja ke Jakarta" Kata Qonita
"Yaelah lu ke Jakarta mau nyari apaan dah? Gak ada tempat asik" Tanya gue sambil mengeluhkan kenapa warga luar mau ke Jakarta. Plis lah, gak usah. Bikin macet.
"Ke Dufan" Jawab Cikso
"Anjir ngapain coba" Kata Andrea
Malam itu, kita akhirnya bisa kembali ke Sumedang dengan selamat walaupun Qonita gila-gilaan di belakang kayak manusia kesurupan. Mungkin ini juga ada sangkut pautnya dengan doa yang Ali lantunkan dari bangku sebelah ataupun Alif yang marah-marah nyuruh kita buat diem. Semuanya memiliki peran tersendiri untuk membuat perjalanan kali ini menjadi aman atas kegaduhan yang Qoni buat.
Akhirnya, malam itu, kita turun di Caringin, tepatnya di depan kostnya Qoni. Baru deh dari sana gue dan Andrea di antar oleh Ali dan Alif ke kost-an.
Sebenarnya, hari itu benar-benar gak bisa gue ungkapkan lewat kata-kata. Terlalu banyak hal-hal seru yang terjadi dalam satu harinya. Bahkan, dari hari kemarin. Mulai dari teman-teman gue yang menyempatkan waktu mereka hanya untuk bertemu gue dari Jakarta ke Bandung bahkan sampai ke Jatinangor, perjalanan mengelilingi kota Bandung, sampai dempet-dempetan di mobil kayak ikan asin, sangat berkesan di hati gue. Entah kenapa, gue seperti menunda-nunda membuat tulisan ini.
Entah karena gue males atau emang gue gak mau euphoria yang gue rasakan sampai sekarang nantinya hilang digantikan dengan euphoria dari cerita lain yang nanti masuk. Gue masih gak rela untuk menepikan cerita di hari itu dan memfokuskan cerita gue pada cerita lain. Sampai akhirnya gue merasa bahwa, rasa senang yang gue miliki gak berhenti sampai di situ. Masih banyak kebahagiaan lain yang menunggu untuk gue tulis. Masih banyak keseruan dan cerita ajaib lagi yang gak kalah seru dan sayang kalau sampai gak gue tulis.
Untuk itu, gue berterima kasih untuk lo yang udah membaca cerita gue. Gue harap, rasa bahagia yang masih ada ini bisa tersalurkan kepada kalian. Maaf banget kalau penggambaran gue kurang mengenai Bandung. Tapi, apa yang gue lihat maka itu yang gue tulis. Kejujuran adalah salah satu kunci dari tulisan ini. Tanpa bumbu, tanpa merica. Kayak makanan aja, lebih kurang rasa, biasanya lebih sehat. Sama kayak cerita ini.
Sekali lagi, gue juga mau berterima kasih pada teman-teman gue dan beberapa nama yang ada di dalam cerita ini.
Karena tanpa kalian, Bandung jadi kota yang kurang bermakna untuk gue...
Terima kasih karena telah ada :)
Komentar
Posting Komentar