The Night Has Come

Hi, It's me, Pit!

Time flies so fast, sampai ga sadar terakhir kali gue membahas perkuliahan di blog ini waktu semester 2 lalu. Pun, kehidupan yang gue update di Instagram juga gak jauh-jauh dari foto, buku, atau kegiatan yang gak banyak menceritakan apapun yang sedang gue rasakan.

Jadi, saatnya gue membahas sedikit kehidupan sebagai mahasiswa yang lagi ada di semester 7,
tahun terakhir gue sebagai mahasiswa.

Sebelum itu, kalian yang berada di semester atau tahun yang sama dengan gue, apa kabar?
Hidup berjalan seperti yang diharapkan? Engga? 
Udah mulai memasuki quarter life cricis? 
Belum?

Kalau belum, nikmati hidup selagi bisa dan kalau udah, selamat! Kita berada di titik dan level kestressan yang sama.

Ketakutan gue pada skripsi dan masa depan sebetulnya ga ada apa-apanya dibandingkan ketakutan gue untuk meninggalkan Jatinangor.

Gue pernah punya harapan,
semoga hidup stuck di masa kuliah. 

Di mana hidup cuma musingin tugas, skripsi, atau drama perkuliahan yang ga ada hentinya. 
Gue juga awalnya berpikir bahwa skripsi adalah hal ter-stress yang pernah gue kerjakan. Tapi. setelah gue pikir-pikir lagi, hal stress lain masih menanti, kayak nyari kerja, contohnya?
Atau tekanan sosial yang mengharuskan gue harus nikah lah, punya rumah lah, punya uang 270 triliun lah (Ini ga usah lah, ya) atau hal-hal yang kata orang adalah puncak dari kebahagiaan tertinggi dalam hidup.

Jujur, bahkan buat gue, kebahagiaan itu adalah sebuah paradoks.
Ketika lo mencapai suatu kebahagiaan tertentu maka bisa dikatakan bahwa lo bahagia, tapi apakah bahagia itu akan bertahan lama? Belum lagi dengan proses mengejar kebahagiaan itu sendiri yang tentunya akan penuh dengan halangan rintangan yang bikin lo ga nyaman, lalu apa bisa dikatakan bahwa lo bahagia kalau dalam usahanya aja lo ga bahagia?

Ah, entahlah. 
Kalau bahas hal itu pasti ga ada habisnya. 
Otak gue udah setengah kering mikirin hal yang ga penting tapi bikin pening. 
Bener kata orang, salah satu obat tetap waras adalah untuk tidak mempertanyakan hal-hal yang ga ada jawabannya. 
Ya, itu salah satunya.

Kembali ke Jatinangor.
Walaupun kata orang Jatinangor adalah tempat yang bosenin, isinya gitu-gitu doang, mall-nya cuma ada Jatos, makanannya ayam lagi-ayam lagi, tapi buat gue, Jatinangor lebih dari sekadar itu.

Jatinangor tiap sudutnya punya banyak cerita.

Gue bersyukur bisa ada di tempat ini selama hampir 4 tahun lamanya dan merajut setiap potongan cerita di tiap sudut tempat yang ada. 

Gak jarang, sekelebat memori (walaupun gue belum lulus) tapi masih menempel erat di kepala. 
Setiap gue datang ke suatu tempat yang sama dengan orang yang berbeda, gak jarang gue refleks bilang,
"Dulu gue pernah ke sini...".

Gue gak bisa bilang Jatinangor itu bagus.
Bahkan, kalau dibandingkan dengan kecamatan lain di Jakarta, Pasar Rebo masih lebih asri dan Ciracas masih lebih ramai dibanding Jatinangor. 

Jatinangor kalau dilihat dari segi tata ruang wilayah maupun tata kelola tentunya masih sangat amat butuh perbaikan lebih. Tapi, gue gak lagi ngomongin itu.

Gue ingin berbicara mengenai waktu yang gue habiskan selama di Jatinangor ini.

Semester ini gue habiskan dengan lebih santai. Gak kayak semester-semester lalu yang sibuk kepanitiaan sana-sini dan pulang sampai larut malam bahkan pagi buta.

Mengingat gue juga punya skripsi dan judul yang ga nemu-nemu, jadi gue memang sengaja untuk tidak terlibat dalam banyak kegiatan yang memakan waktu. 

Bagusnya, gue punya waktu untuk me time, ngelakuin apapun yang gue suka, yang sebelumnya sempat terhambat karena kegiatan-kegiatan gue itu dan gue akhirnya punya waktu untuk teman-teman gue yang juga sempat gue tinggal pas lagi sibuk-sibuknya. Sekarang, gue akan fokus ke diri gue dan orang-orang yang gue sayang. 

Tapi satu masalahnya, gue jadi sulit untuk sekadar ngobrol santai atau ngehabisin waktu luang karena gue yang terbiasa setiap harinya ada kegiatan. Sejujurnya, gue masih ambil beberapa kegiatan di luar waktu semester 7 ini, tapi perubahannya kerasa banget. 

Yang biasanya gue sibuk ngoceh sana sini di radio, sekarang skill komunikasi gue melempem. Sekarang gue harus memulai semuanya dari ulang lagi. Belajar ngomong lagi, belajar sosialisasi lagi, bahkan sekarang gue mulai belajar menulis lagi setelah sekian lama ga nulis. 

Gue gak bilang komunikasi gue jelek, gue masih aktif, kok, komunikasi sama teman-teman gue, tapi entah kenapa sekarang komunikasi gue tidak seasik dan seenergik dulu. 

Dulu, gue bisa dengan mudah menyapa orang entah kenal ga kenal yang penting sapa aja dulu, sekarang energi gue udah gak kayak dulu. Gue juga gak ngerti kenapa, entah ini bawaan umur, atau emang gue lagi capek aja, tapi masa capek tiap hari? Gak ngerti.

Tapi yang jelas, semester 7 ini kembali membawa gue kepada kesendirian. 
Sama seperti sebelum gue masuk kuliah, saat-saat sendiri dan gak ada yang nyautin pas lo lagi yapping, ya karena serem juga sih, kalau ada yang nyaut.

Sepi.
Sendiri.

Dua kata yang selalu muncul beriringan. Tapi yang orang kadang ga sadar, sepi ga selalu sendiri dan sendiri ga selamanya sepi.

Gue gak merasa kesepian, kok.
Gue senang-senang aja dengan kesendirian yang gue miliki sekarang ini, tapi ada saatnya gue juga butuh ngobrol. 

Makanya, terkadang gue selalu siasati itu dengan menulis. Menumpahkan pikiran gue yang semrawut di atas secarik kertas atau layar putih.

Balik lagi, pikiran adalah racun buat gue.
Terkadang, gue senang gue punya pikiran dan masih bisa berpikir sampai sekarang. 
Tapi terkadang juga, rasanya pengen gue copot kepala gue dan gue kubur di entah berantah supaya pikiran-pikiran itu ga mengganggu gue.

Tapi, yah, itu mungkin sekelebat perasaan gue selama semester 7 kebelakang aja. 
Sebelum itu,
ya lebih parah wkwkwk...

Tapi serius, gue merasa bahwa kesedihan itu menghinggapi gue ketika semester 7 ini.
 
Berapa waktu yang tersisa untuk akhirnya gue kembali ke Jakarta?
Berapa lama lagi waktu yang bisa gue habiskan bersama teman-teman gue?
Berapa lama lagi gue harus tinggal di kost gue?
Berapa cerita harus gue rangkai supaya gue gak menyesal karena waktu yang udah meminta gue untuk kembali?

Rasanya gue gak pengen ini berakhir.
Atau kalaupun berakhir, ya udah sekarang aja dan akan selamanya begini.

Ah, tapi terkadang gue lupa, ada mimpi-mimpi lain yang harus gue gapai.

Rasa pesimis gue emang udah menggerogoti gue sampai ke tulang. 
Rasa takut yang gue punya kemungkinan hadir dari keyakinan gue bahwa gak ada tempat yang bisa memeluk gue sehangat ini. 

Padahal, keyakinan gue belum tentu benar.

Bisa jadi ada tempat yang jauh lebih hangat dari Jatinangor di luar sana.
Bisa jadi, masih banyak cerita yang harus gue rangkai setiap harinya.
Atau mungkin, tempat itu yang akan jadi 'penawar racun' bagi pikiran yang gue punya

Siapa tau?

Tapi intinya, di manapun gue nanti, gue harap gue gak akan pernah lupa kalau itu bukan tujuan akhir. 

Justru, gue dan mimpi-mimpi gue gak akan pernah gue biarkan mereka berhenti hanya karena waktu berakhir.






*Bonus foto UKM Barat Universitas Padjadjaran


Terima kasih sudah membaca :)







Komentar

Ê• •á´¥•Ê”