Gryffindor Era

Melanjutkan dari cerita terakhir gue di Jatinangor, yaitu saat berpindahnya gue dari kost gue yang awalnya terletak di Jalan Sayang, sekarang berpindah ke Asrama Unpad yang terletak di dekat Rektorat Unpad.

Terdapat beberapa peraturan baru untuk kami sebagai anak baru yaitu,

1.  Dilarang pulang lewat dari jam 10 malam

2.  Harus menempati asrama selama 3 hari berturut-turut

3. Dilarang membawa lawan jenis ke kamar dan dilarang membawa teman menginap.

Sebenarnya masih banyak lagi peraturan-peraturan yang ada, tapi ya cuma 3 itu yang menurut gue gak bisa gue janjikan bahwa gue dan Andrea bisa menaati peraturannya. Banyak pertanyaan-pertanyaan masuk di gue soal asrama, yang paling aneh waktu itu datang dari anak Ilmu Pemerintahan yang gue ga kenal sama sekali sewaktu gue makan di Pujas dengan teman gue,

"Di asrama gitu, hp di periksain ya?" Tanya dia dengan nada datar

"Hah? Gak lah, kita bukan pesantren" Bantah gue

Yah, walaupun banyak steorotype mengenai asrama, ada yang bilang horor, kayak rumah di film Pengabdi Setan, banyak binatang dari berbagai macam spesies, dan yang paling aneh ada yang bilang seketat pesantren. Padahal, kamar gue adalah kamar yang bisa dibilang paling beruntung. Letaknya ada di paling depan, wifi juga tepat berada di depan pintu kamar, view pemandangan langsung ke gunung geulis, dan yang pastinya murah. Hal yang menjadi minus dari kamar gue sendiri yaitu, ada di lantai 4. Agak PR karena energi gue bakalan habis di lantai 3, nah makanya setiap gue mau naik ke kamar, gue bakalan berhenti sebentar di lantai 3 untuk beristirahat sebelum akhirnya berlanjut menuju ke lantai 4. 

Tapi, kalau mau ngomong-ngomong soal peraturan asrama, 2 dari 3 peraturan itu telah kami langgar dari hari pertama kami menempati asrama sampai hari ini. 

Peraturan yang gue dan Andrea langgar pertama kali adalah peraturan nomor 1.

1. Dilarang pulang ke asrama lewat dari jam 10 malam.

Sebuah notifikasi grup dari Untol tiba-tiba muncul. 

"Bandung yuk" Ajak Cici,

Gue pikir, hal itu cuma jadi omong kosong belaka, tapi engga omong kosong kalau Alif udah bilang,

"Ayoo aja, jam berapa?"

"Jam 10 mau ga? Kita mau kemana jadinya?" Tanya Cici lagi

"Katanya mau ke Bandung main bowling" Kompor Ali

"Gas sore sambil nunggu beres kelas" Kata Mang Cikso, setuju

"Mau naik apa?" Balas Ali lagi

"Mau naik haji" Ucap Alif, ngasal.

"Kereta aja yuk" Ajak Alif

Gue dan Andrea yang kala itu udah di asrama sempat berpikir.

Ini sih gak bakalan pulang sore, minimal jam 10 baru balik deh. Nah, peraturan asrama itu gimana?

Dilema menghujani kami berdua. Antara nginep di rumah Cici atau Qoni tapi besoknya di depak dari Asrama atau ngaku aja telat, untuk segala konsekuensinya yaudah liat nanti aja.

Disitu, gue ingat bahwa kita dalam masa pindahan, maka akan banyak hal-hal yang akan kita bawa dari tempat lama ke tempat baru. Sebuah pikiran liar kembali menghantam otak gue,

"Ndre, kita bisa pergi, tapi balik-balik kita harus bawa sesuatu, minimal perabotan"

"Pas banget, waktu kita ke rumah Cici sekalian beli ember, kain pel, sikat, sama yang kita butuhin buat di asrama"

"Nah, nanti kalo ditanya darimana, jawab aja abis ngambil barang soalnya rumah kita berdua di Bandung, gimana? Sekalian main, sekalian juga besoknya beres-beres asrama." Tanya gue

"GAS!" Ucap Andrea kala itu.

Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Akhirnya kita bawa-bawa ember ke rumah Cici. Malu sebentar gak apa-apa, daripada nanti kita pulang dengan tangan kosong dan berakhir tidur di jalan.

Akhirnya, gue dan Andrea siap-siap dan pergi ke toko perabotan, setelah itu ke rumah Cici untuk menitipkan barang-barang tersebut dan malamnya akan kita ambil lagi sebagai bukti ke satpam kalau kita masih dalam fase pindahan. 

Dari kost Cici di Ciseke, kita berjalan ke kost Qonita yang terletak di Caringin. Di sana, kami akhirnya bertemu dengan Qonita yang menggunakan baju berbulunya.

Gak lama, satu persatu anggota circle Untol ini bermunculan. Dimulai dari Ali lalu dilanjut dengan Alif dan yang paling lama ditunggu yaitu Cikso. Sebelum Cikso datang, kami ngobrol dulu sejenak untuk menata rencana kepergian kami kemana dan ngapain aja. Tapi, hanya satu hal yang pasti. Bowling.

Kami berencana bermain bowling di daerah Siliwangi.

Sembari mengobrol hal-hal konyol, hujan tiba-tiba turun. Rencana kami terancam gagal. Kami terancam tidak jadi ke Bandung. Muka Qonita sudah mulai menunjukan rasa tidak sukanya. Akhirnya, di tengah hening itu, Ali bermain korek api di atas kaki Alif. Hingga secara tidak sengaja, korek api itu membakar celana Alif dan Ali malah teriak,

"Haaaa! Haaaa!" 

Yang bikin kita ketawa setelah itu karena suaranya Ali berubah menjadi melengking dan ekspresinya yang lucu banget sehingga Qonita yang awalnya bete karena menunggu Cikso yang ga muncul-muncul malah berakhir ikut ketawa.

Gue udah panik karena udah jam 4 lebih Cikso belum juga datang. Gue masih memikirkan bagaimana caranya pulang ke asrama tidak lebih dari jam 10. Di tengah kepanikan yang melanda, akhirnya orang yang kami tunggu-tunggu muncul juga. Setelah Cikso datang, semuanya mulai kesal karena kami menunggunya hampir satu jam lebih. 

Akhirnya, hujan reda di jam 5 sore dan kami jalan kaki dari Caringin ke Jatos untuk menunggu Damri tiba. Gue pernah mendengar dari warga lokal bahwa Damri terakhir dari Jatinangor ke Bandung adalah pukul 5 sore, makanya gue pasrah sampai akhirnya, kekhawatiran gue akan gagalnya kita ke Bandung dipatahkan dengan Damri yang tiba-tiba lewat di depan kami. Kami semua pun naik dan tiba di Bandung pukul 18.00. 

"Abis ini kemana? Langsung bowling?"

Karena perut kami keroncongan semua, maka tercetuslah sebuah ide tempat makan yang menurut warga bandung seperti Alif, Cikso, dan Cici terasa enak. Ayam Geprek Pangeran (AGP).

Dari DU, kami berjalan menyusuri setiap sudut kota di malam hari. Sejenak, gue melupakan semua beban mengenai asrama dan tugas perkuliahan yang harusnya gue selesaikan sebelum jam 12 malam. 

Sesekali gue merekam semua kejadian itu dan mengunggahnya ke dalam akun Instagram pribadi gue.  

"Hai Sivitas! Kembali lagi dengan Andre dan Ipit" Kata Andrea

"Dan CICIIIIII" Tambah Cici

"Kali ini kita sedang jalan di Bandung dan sedang mencari..." Kata Andrea, menjeda kalimatnya

"Ayam Geprek Pangeran!" Sambung Cici

"Sekarang kita sudah ketinggalan jauh, jadi ayo kita kejar" Tambah Andrea.

"Di depan kita ada Cikso, dan Alif, dan Qoni, dan Cici, dan Dul" Kata Andrea melalui video sembari mengabsen kehadiran Untol satu persatu, tapi tidak dengan Ali karena namanya diganti menjadi Dul. 

Gue baru sadar kenapa dipanggil Dul karena saat kami melihat Ali yang ketinggalan di belakang, Ali mirip banget sama anak ketiga dari Ahmad Dani yaitu Dul. Bukan Si Dul anak Betawi asli yang kerjaannya sembahyang mengaji.

Setelah sampai di AGP, kami langsung berbaris layaknya siswa boarding school yang kelaperan dan ingin cepat-cepat mendapatkan makanan. Gue sendiri memilih ayam paling besar sampai-sampai Alif meminta tukeran ayam sama gue walau endingnya gue menolak. Cikso yang dapat ayam kecil-kecil sampai rela mengambil 2 potong ayam demi mencukupi kebutuhan perutnya yang keroncongan. 

Hingga disana, kami makan dengan tenang walau sebenarnya gak terlalu tenang karena banyak kucing lucu berkeliaran. Bahkan, sampai ada yang berantem di depan kami. 

Selesai makan, kami akhirnya memutuskan untuk berjalan kembali ke tempat yang sudah kami rencanakan sedari awal, yaitu bowling. Tapi sayangnya, tempat tersebut sudah penuh dipesan sehingga kita mengalami kebuntuan. Mau kemana coba kalau rencana kami satu-satunya aja udah gagal?

Akhirnya kami memutuskan untuk ke Braga.

Braga lagi, Braga lagi. Untuk ukuran orang yang baru pertama kali menginjakan kaki di Bandung, mungkin Braga adalah tempat yang cocok untuk berwisata. Tapi tidak untuk warga Bandung asli. Makanya, bagi warlok seperti Alif, Cikso, dan Cici, mungkin hal itu menjadi hal yang tidak istimewa, tapi berbeda dengan gue, Andrea, Ali, dan Qonita. Kita sih bahagia-bahagia aja. 


Hingga kami berjalan cukup jauh, dan sampai disana kami melihat Bonge dengan Wilie Salim tengah melakukan shooting ditemani dengan kru-kru lainnya. 


Baru kali ini gue melihat orang yang tengah viral-viralnya berdiri di hadapan gue secara langsung. Wilie pun melihat gue dengan tatapan sinis, sedangkan gue hanya terdiam di tempat karena takut juga. 

Ali yang melihat gue tengah memvideokan keadaan sekitar langsung membelokan kamera hp gue ke arah Bonge yang tengah shooting sambil makan sotong,

"Videoin-videoin" Ucap Ali.

Gue menyorot semuanya dan kembali dengan perasaan masih takut-takut.

Setelah itu, kami kembali menyusuri Jalan Braga.

Kami mendapati sebuah lukisan Yesus. Di sana, hanya Andrea yang beragama Kristen, sisanya Islam. Gue pun meminta mereka untuk berfoto di depan lukisan tersebut sembari berpura-pura berdoa layaknya orang kristen bagi yang islam dan yang kristen akan berdoa mengadahkan tangan selayaknya orang islam. Ah, indahnya toleransi.

Malam hari di Jalan Braga saat itu juga mengingatkan gue pada Alma dan Nadia. Kami bertiga pernah menyusuri jalan yang sama walau rentang waktunya berbeda. Langsung saja gue menelpon Nadia walau akhirnya tidak diangkat. Saat gue menelpon Alma, dia langsung mengangkat dan bertanya,

"Ada apa, Pit?"

Gue langsung mengalihkannya mejadi panggilan video dan berkata,

"Gue di Braga, gue jadi inget lu" Kata gue sembari mengarahkan kamera handphone gue pada sekeliling. Di saat seperti itu, Cikso bertanya,

"Siapa, Pit?"

"Temen gue. Ma, ini ada yang mau kenalan" Iseng gue dan memberikan Hp gue pada Cikso. 

Cikso yang bukan orang pemalu justru semangat berkenalan dengan Alma, bahkan mereka sampai seperti teman lama yang baru bertemu lagi. 

"Alma sekarang lagi dimana?" Tanya Cikso

"Lagi kerja" Jawab Alma

"Kerja dimana?" Tanya Cikso lagi yang langsung saja diketawain anak-anak yang lain karena sikap sok akrabnya.

Setelah panggilan telepon berakhir, langsung kami berangkat menuju alun-alun Asia Afrika. Disana, gue merasakan suatu hal yang berbeda. Walaupun ditemani dengan teman-teman gue yang lawak, tapi tidak dengan suasana yang dengan kuat sudah terbangun dari awal di sana. Suasananya tenang dan cantik. Di tambah dengan para pedagang yang menjajakan dagangannya dengan rapih. Gue melihat seorang pedagang bunga mawar di sudut kota tersebut dan mengabadikannya melalui kamera handphone gue. 


Saat itu, lampu kota tengah bersinar terang. Lampu berwarna kekuningan itu berpendar mengelilingi setiap penjuru kota. Gue rasa teman-teman gue merasakan hal yang sama dengan gue. Sehingga kami ingin mengabadikan momen itu bersama. Tapi masalahnya adalah, dengan siapa kita harus meminta bantuan? 

Alhasil, kami meminta seorang akang-akang yang lewat dan berfoto bersama di depan Gedung Warenhuis De Vries. Sebuah gedung peninggalan zaman Belanda. 

Setelah melihat hasilnya, walau agak buram, tapi tidak apa-apa deh. Hal itu malah menambah kesan antik dari momen yang terabadikan tersebut. Hingga kami melanjutkan berkeliling ke alun-alun. 


Disana, kami mendapati banyak sekali orang yang tengah bercosplay menjadi hantu. Ada yang memakai topeng The Scream, pocong, hantu belanda, bahkan sampai ke Transformers pun ada. 

Gue pikir mereka akan diam-diam saja. Tapi engga, gue dikagetkan dengan satu cosplayer yang memakai topeng Scream. Kesempatan ini digunakan oleh Cikso untuk mencoba mendorong gue mendekat ke hantu-hantu yang ada. Gue yang tadinya stay cool walaupun takut, berakhir makin takut.

"Woi Ipit takut!" Kata Cikso, mencoba menyebarkan isu tersebut ke yang lain sehingga cosplayer-cosplayer itu semakin bersemangat untuk nakutin kami (Gue lebih tepatnya)

Tapi, gue gak bakalan takut lagi. Saat ada Transformers yang ngagetin kami, gue malah ngagetin dia balik. Si Transformersnya cuma bisa ketawa liat kelakuan aneh gue.

Gue lupa. Gue harus pulang sebelum pukul 10 malam. Kalau gue pulang lebih dari jam 10, sihir gue akan lenyap dan gua akan kembali menjadi mode babu.

Bukan. Ini bukan cerita Cinderella. 
Cinderella pulang jam 10 malem masih cantik. Jam malam Cinderella aja jam 12. Masa iya gue kalah sama Cinderella? 
Tapi gak apa-apa. Gue akan menaati peraturan kali ini demi keberlangsungan hidup gue selama 1 tahun kedepan. 

Di tengah perjalanan itu, gue melihat jam menunjukan pukul 8.30 malam. Gue tengah di Jalan Naripan saat itu. Kami harus sampai di Stasiun Bandung pukul 9. Hingga akhirnya gue meminta anak-anak untuk cepat-cepat berlari ke Stasiun Bandung sampai Alif harus mengeluh "Lu ngapain sih lagian pake tinggal di Asrama?"

Di sana, kami akhirnya memesan tiket ke Stasiun Rancaekek dan naik kereta untuk pertama kalinya. Hingga sesampainya di Rancaekek, jam menunjukan pukul 9.40. Gue yang panik langsung memesan grab car untuk pulang ke Kost Qoni, gather point kita, dan selanjutnya Gue, Andrea, dan Cici akan diantar oleh Ali, Alif, dan Cikso ke asrama dan Kost Cici.

Di tengah jalan, Andrea tiba-tiba bilang,

"WOI LIAT CARDIGAN GUE GA?"

Anak-anak yang kebingungan cuma bisa tatap-tatapan sementara gue yang panik menunggu respon semuanya karena gue juga panik, itu adalah cardigan kesayangan gue yang dipinjam oleh Andrea.

"Oh ada" Kata Andrea yang akhirnya membuat gue lega

"CARDIGAN GUE PLISSS" Kata gue meringis

Setelah drama cardigan tersebut, gue baru ingat, gue harus ke Kost Cici dulu untuk mengambil perabotan. Jam sudah menunjukan pukul 10 lebih. Kami cepat-cepat diantar ke asrama dan sesaat setelah melakukan salam perpisahan ke 3 orang itu, gue dan Andrea diberhentikan oleh seorang satpam.

"Dari mana, Dek?"

Menurut skenario, kami harus berbohong habis mengambil barang di Bandung. Maka, gue berkata,

"Ini, Pak. Kita habis ngambil barang di Bandung, baru sampe tadi" Kata gue, berbohong

"Ini mah saya ngasih tau aja ya, jam malam di asrama ini jam 9, jadi kalau bisa jam segitu udah ada di sini ya"

"Loh, Pak, di website jam 10" Bantah gue, pada hal yang menurut gue miss informasi ini.

"Saya dikasih taunya jam 9, Dek. Sekarang gak apa-apa masuk aja, besok jangan gitu lagi, ya."

"Oke, Pak. Makasih ya" Balas gue demi menghindari perdebatan yang lebih panjang

Malam itu, kami bisa berpergian dan tidur di kamar dengan nyenyak. Maka dengan ini, peraturan asrama nomor 2 telah gue dan Andrea patuhi karena yang nomor 1 masih ada lagi ceritanya, hehe,

2. Dilarang membawa lawan jenis ke kamar dan dilarang membawa teman menginap.

Ini gue gak melanggar kalimat pertama kok. Gue hanya melanggar kalimat kedua. Yup, gak jarang gue dan Andrea membawa teman sejurusan atau lintas jurusan untuk menginap. Sekali dua kali bahkan kadang ada yang betah sampai lebih dari sehari menginap di kamar gue. Yang sering membawa teman ke kamar sebenarnya Andrea, tapi gue gak masalah selama gue gak diganggu pas lagi tidur atau di matiin lampunya pas lagi di toilet (Lagian siapa juga?)

Sekali waktu, pernah saat bulan puasa gue sendirian. Andrea sedang ke Jakarta. Maka gue mengundang Chalila untuk datang menemani gue berbuka dan teraweh bersama. Kami juga membuat konten untuk nantinya di post di Instagram Universitas Padjadjaran mengenai serba-serbi puasa hari pertama di kostan. 

Waktu itu juga, Cici dan Qonita sering menginap di asrama. Kalau ada mereka, kamar berantakan itu udah pasti. Qonita akan tidur di atas bersama gue dan Cici akan tidur di bawah bersama Andrea. Akibat kedatangan mereka juga, jam tidur kami jadi berbeda dari yang biasa. Yang biasanya kita tidur di atas jam 1 dengan lampu menyala, ini kami bisa tidur di bawah jam 12 malam dengan lampu harus mati. Gue dan Andrea tentunya gak masalah karena kami bisa tidur di segala kondisi dan situasi. Tapi ya kalau kedatangan mereka ini, siap-siap aja kamar berisik. Untung tetangga gue Camilla, makanya dia sabar banget gak pernah negur gue karena berisik. Pernah sekali, waktu UAS berlangsung, tapi gue minta maaf banget karena gue gak sadar atas suara gue sendiri.

Nah, tapi gue rasa, inap-menginap ini juga kayaknya ketauan. 

Jadi, suatu waktu setelah kejadian menginap ini, di grup asrama terdapat pengumuman di mana jam 8 malam kita diminta untuk berkumpul di bawah. Saat itu gue tengah sendirian dan tiduran di ranjang gue. Gue mendapati kabar itu dari Andrea yang tiba-tiba telepon.

''Pit, lu lagi di asrama kan?"

"Iya, kenapa, Ndre?"

"Matiin lampu sama kunci pintu, Pit. Nanti takut ada yang ngetok, anak-anak asrama disuruh ke bawah"

Gue langsung menutup telepon dan turun dari kasur dengan heroik. Gue langsung mematikan lampu dan mengunci pintu. Setelah semua dirasa aman, gue kembali naik ke ranjang gue. Ternyata Andrea benar. Terdengar dari luar suara anak-anak yang tengah riuh untuk turun ke bawah. Sementara gue mendengar suara pintu diketuk satu persatu dari kamar ke kamar. Gue pikir itu ketukan pertama dan terakhir. Tapi, gue mendengar lagi suara pintu diketuk. Itu Camilla, teman sejurusan gue sekaligus tetangga asrama.

"Pit!" *Tok...Tok..Tok
"Ada orangnya?" Tanya orang asing yang gue gak tau siapa bertanya pada Camilla

"Gak tau, tapi lampunya mati sama pintunya dikunci"

Setelah kalimat itu, gue gak mendengar gangguan apapun lagi. 

Gue menguping dari dalam kamar karena suara nya rada terdengar walaupun percuma karena ketutupan sama riuh yang ada, jadi gue hanya bisa menunggu info lebih lanjut dari Camilla atau Dila (Tetangga yang sejurusan juga).

Ternyata setelah gue telusuri, aturan asrama kembali diperketat. Maka dengan ini, gue kembali menegaskan pada teman-teman gue kalau sudah gak bisa lagi menginap di kamar gue. Mereka yang biasanya main, yang ada bedmut duluan, apalagi Qoni. 

Aturan yang makin diperketat itu, makin banyak juga gue langgar.

Contoh kecilnya saja soal peraturan dilarang pulang jam 10 malam. Awalnya gue paling ditanya "Dari mana?" lalu gue akan menjawab jujur sejujur-jujurnya bahwa gue baru selesai rapat kepanitian atau yang lain. Satpam biasanya akan langsung mengizinkan gue ke atas dan gue bisa tidur dengan tenang. Tapi, karena gue dan 2 teman gue yaitu Andrea dan Deasy juga sering pulang di atas jam 10 malam, maka sebuah peraturan baru terbentuk,

"Bagi siapa saja yang pulang lewat dari jam 10 malam tidak diizinkan masuk, akan ada meja penghalang di lantai 1, jadi untuk yang pulang diatas jam 10 silahkan cari tempat lain untuk menginap dan ini berlaku untuk alasan apapun"

Baiklah.

Oke.

Toh teman gue banyak ini. Pikir gue, naif.

Awalnya gue masih ngeyel dengan berpikir untuk manjat atau lewat kolong, tapi masalahnya untuk akses ke tangga sendiri harus melalui penjagaan satpam, itu berarti gue harus belajar mengendap-endap atau kalau bisa gak usah napak aja sekalian.

Tapi, hasil mengendap-endap itu juga gagal, saudara-saudara.

Gue awalnya berusaha mencari data mengenai satpam asrama dari yang pasif sampai yang paling aktif. Langkah selanjutnya adalah tinggal mencari cara agar gue pulang di jam satpam pasif tersebut bekerja. Kenapa gue bilang pasif? Karena kerjanya main Mobile Legend terus.

Ada di satu hari, gue baru pulang dari Porang.

Waktu menunjukan pukul 11 malam karena waktu itu gue membantu menjaga venue warnet, maka gue harus standby di sana (Walau ga standby terus karena baliknya gue main PS bareng Alza, Fajar, dan Abin)

Setelah dianter Abin ke asrama, gue melihat tanda-tanda asrama tidak ada pergerakan apapun dari musuh, eh maksudnya satpam. Gue ingat juga jadwal hari ini adalah jadwal si satpam pasif, pasti dia lagi main Mobile Legend di bangkunya. 

Langsung saja gue mengendap-endap, melangkah sepelan mungkin karena takut gue menginjak keripik kentang dan berakhir semua usaha gue sia-sia dan gue gak bisa tidur di asrama selamanya.

Seketika gue merasakan ada backsound musik Mission Imposible di kepala gue. Lebay.

Ketika gue sampai di depan post penjagaan, tuh kan, benar apa kata gue. Satpamnya lagi main Mobile Legend, jadi dia gak peduli gue ada di depannya. Misi untuk naik ke lantai 4 gak imposible-imposible amat. Gue melihat meja di depan gue agaknya bisa gue dorong, tapi saat gue melihat ke atas, gue kaget sendiri,

"EHH"

Dia kaget, gue kaget. 
Ada satpam lain. Mampus.

"Abis dari mana, Dek?"

Pertanyaan template. Ucap gue dalam hati

"Abis Porang, Pak. Acara jurusan" Ucap gue mencoba ramah walau badan remuk abis balik dari Jakarta langsung Porang.

"Kok sampe malem?" Tanya satpam itu lagi

"Soalnya acaranya baru dimulai jam 7" Balas gue masih mencoba ramah

"Kenapa gak dari siang?" Tanya satpam itu lagi, mulai dengan nada nyebelin

Kalo bisa gue buat dari subuh juga udah gue buat dari kemaren

"Gak tau, Pak. Saya juga baru pulang dari Jakarta langsung diminta buat ke sana" Jawab gue

"Loh saya gak peduli, itu mah urusan adek" Balas satpam tersebut, makin nyebelin

Kalo gak peduli minimal mah gak nanya

"Terus saya tidur di mana dong, Pak kalau gak ke asrama?" Ucap gue sembari memasang muka melas, siapa tau doi iba ya kan?

"Ya itu mah terserah adek, ini baru 1x ya, KTM adek mana?" Tanya Pak Satpam tersebut untuk meminta Kartu Tanda Mahasiswa milik gue

"Gak ada, Pak. Ilang" Di sini, gue berani berbohong. Padahal surat-surat lengkap, no minus.

"Kok bisa?" Peduli Pak Satpam tersebut padahal di awal bilangnya gak peduli

"Ya mana saya tau" Jawab gue mulai ketus

"Pokoknya kalau 2x lagi begini, KTM adek saya ambil terus saya kasih ke fakultas adek" Ancam Pak Satpam tersebut

"KTM saya aja gak tau ke mana" Ucap gue masih berbohong

"Ya udah gak apa-apa sekarang adek ke atas aja" Kata Pak Satpam yang akhirnya mempersilahkan

Kalo gak peduli, kenapa gak dari awal aja woy!

Dari situ, setiap gue ke bawah entah untuk beli makan atau ke luar, gue akan dengan senang hati menendang kaki meja di lantai satu walau berakhir kaki gue yang sakit. Gue juga yang biasanya melemparkan senyum pada semua orang disana akhirnya menjadi orang paling menyebalkan yang pernah lu liat. Gue benci asrama itu. Gue benci ketika kegiatan positif yang gue lakukan di hambat.

Pernah suatu hari, gue pulang dari Rapat Departemen Keilmuan. 

Saat itu gue pulang lewat jam 10 malam. Badan gue udah capek banget. Gue udah kangen banget sama guling dan selimut kesayangan gue di kamar. Otomatis, gue bersikeras untuk pulang dulu ke asrama, siapa tau gue bisa ke atas kan? Kalo engga ya gue ke kost teman gue. 

Akhirnya gue di antar oleh teman gue ke asrama. Di sana gue meminta untuk diam dulu sembari menunggu apakah situasi aman atau tidak. Baru mau ke atas, ternyata gue hampir dihadang oleh 2 orang satpam. Dan dua-duanya satpam super aktif. Daripada gua gak dipeduliin lagi kayak yang udah-udah dan diintrogasi gak selesai-selesai, akhirnya gue memilih untuk pergi dari asrama dan pergi ke kost teman gue. 2 satpam itu ngeliatin gue yang cabut keheranan. Masalahnya, kost teman gue yang mana? Mana baterai handphone gue dan teman gue habis. Akhirnya kita mengetok pintu rumah teman gue. Cinde yang kostnya di Cisaladah gak ada di rumah, akhirnya kita ke kost Thya di Jalan Sayang. Untung dia ada di rumah, sehingga gue gak harus tidur di Masjid Raya Unpad di hari itu.

Hal ini juga terjadi pada Andrea. Tapi anehnya, Andrea pulang jam 3 pagi pun, dia gak pernah ketemu sama satpam dan berakhir tidur dengan tenang. Bahkan, ia juga masih berani untuk mengajak Fanny, teman sejurusannya, untuk menginap di kamar. Sedangkan gue gak berani karena takut akan resiko yang mungkin akan berdampak buruk pada yang lain dan gue sendiri nantinya.

Tapi, waktu satu tahun telah berlalu. 

Gue harus meninggalkan asrama ini.

Entah gue harus senang atau sedih, tapi asrama ini, terutama kamar gue memiliki banyak cerita di dalamnya. 

Cerita waktu gue pertama kali kenalan sama teman-temannya Andrea, seperti Deasy yang berakhir jadi bahan cengcengan setiap dia datang ke kamar gue. Gue ingat saat pertama kali gue ketemu dengan Deasy. Waktu itu gue sedang menelfon nyokap gue. Saat itu Andrea dan Deasy masuk dengan terengah-engah. Tiba-tiba Andrea bilang,

"Kenalin nih, Pit. Deasy, temen sejurusan gue"

For your info, buat gue, temannya Andrea adalah teman gue, dan teman gue adalah temannya Andrea juga walau gak semuanya.

Kata Andrea dia cukup pemalu, tapi anehnya setiap gue berisik ngomongin banyak hal, ini anak ketawa gak berhenti-berhenti. Gue cukup tertarik dengan keanehan dia, jadi baiklah, kami akhirnya berteman.

Terus juga, gue berteman dengan Dhea. Teman sekamarnya Deasy anak statistika.

Ada kejadian lucu dengan Dhea saat itu.

Di semester 2 ini, gue sudah dikenalkan dengan statistika sosial. Hal yang gue pikir di HI gak ada matematikanya ternyata salah besar. Justru itu 3 SKS sendiri.

Ada salah satu tugas saat gue diminta untuk mencari mean, mode, dan simpangan baku dari grafik yang gue asal aja ambil di google dan gak tau itu apa. Akhirnya, dengan aplikasi yang ada, Dhea ke kamar gue dan beliau mengerjakan pekerjaan itu di depan mata gue walau gue gak tau dia ngetik apa barusan melalui laptopnya. Gue berterima kasih atas dedikasinya dalam membantu gue. Selain itu, gak jarang Dhea juga jadi sasaran empuk satpam karena sering bawa kendaraan dan motornya sering dipinjem dua anak itu (Baca: Andrea dan Deasy) untuk beli makanan keluar. Di satu waktu, pernah kunci motornya Dhea hilang oleh Fanny, Deasy, dan Andrea yang gak tau bisa ketemu di mana. 

Di asrama itu juga gue bertemu dengan anak-anak lain. Ada Dayen dari Sastra Sunda.

Ia tiba-tiba mengetok pintu kamar kami sembari memberikan chococrunch.

"Hai! Aku Dayen, aku baru pindah ke sini. Ini ada cococrunch aku gak tau enak apa engga tapi dimakan yaa!" Ucapnya ceria

Gue dan Andrea bingung. Kok bisa ada orang kayak begini yang tanpa malu-malu mengetuk pintu penghuni asrama satu-satu. 

Gak hanya itu, terkadang Dayen juga datang membawa makanan lain. Gue ingat banget, Dayen pernah membawa kerupuk seblak untuk gue karena Andrea saat itu tengah pergi keluar.


Selain itu, kamar gue juga sering dijadikan basecamp oleh anak-anak jurusan Administrasi Publik. Maka gak heran kalau gue sering mendengar kata maaf dari mulut mereka karena takut-takut acara jurusan mereka mengganggu hari gue. 
"Maaf ya, Pit, kalau berisik" Ucap Siska
"Iya, gak apa-apa kok" Balas gue sembari tetap tertidur

Gak sekali dua kali gue menemukan adanya orang asing di kamar. Kayak tiba-tiba ada banyak orang duduk di lantai sembari memandang ke depan laptop mereka masing-masing. Saat gue tanya ada apa, mereka hanya menjawab "Sosang"
Gue hanya mengangguk sembari melipir kembali ke luar.

Ada di satu waktu, saat pagi-pagi gue baru sampai di kamar, gue mendapati suara air dari kamar mandi. Seingat gue, Andrea kala itu juga tengah menginap di kost temannya. Maka, daripada parno, gue mulai memastikan apakah itu Andrea atau pembunuh bayaran,

"Ndre!"
"Iya!"
Oh aman. Gue masih bisa hidup.
Tapi kagetnya gue saat yang keluar bukan Andrea, melainkan temannya, Fanny.

Ngomong-ngomong soal basecamp, akhir-akhir ini juga teman-teman sejurusan gue mulai menginvasi kamar gue dan Andrea. Biasanya gue yang pergi kali ini Andrea yang pergi.
Kala itu H-1 Makrab (Cerita soal makrab akan gue ceritakan di lain kesempatan)

Teman-teman gue seperti Chalila, Wianda, Thya, dan Rahma akan berkunjung ke kamar gue. Wianda apalagi. Dia sangat penasaran untuk merasakan rasanya tidur di bunk bed. Sore itu, gue persilahkan mereka ke atas duluan sedangkan gue masih ada urusan di rektorat bersama Christine. 

Sepulang dari rektorat gue langsung ke atas. Pemandangannya lucu banget, mirip kayak imigran gelap yang terdampar di kapal. Ada Wianda dan Rahma yang lagi tiduran di atas, di bawahnya, ada Thya yang lagi tidur telentang dan Chal yang duduk di kursi milik Andrea. Saat datang, gue cuma bisa ketawa jahat karena jarang banget ngeliat mereka kayak orang pinggiran. Sayangnya gue gak foto sih. 
Kami berkumpul untuk melakukan waxing bersama dan try on outfit Makrab untuk besok.

Ada lagi nih cerita lucu mengenai asrama ini. 

Jadi, waktu itu gue tengah mandi di siang hari. Selesai mandi, gue ingin membuka lemari untuk mengambil baju. Tapi anehnya, lemarinya menutup-terbuka dengan sendirinya secara berulang-ulang untuk waktu yang lama. 
Kok kayak ada yang gedor dari dalem ya? Pikir gue dalam hati.

Masalahnya, kalau mau mikir itu hantu, saat itu tepat siang bolong atau jam 12 siang. Mana ada hantu muncul jam segitu? Tapi, kalau mau dikaitkan dengan hal mistis ya bisa aja mengingat track record asrama ini juga serem. 

Gue seperti pemeran utama film The Conjuring saat itu. Gue pelan-pelan membuka pintu lemari dan ternyata gak ada apa-apa. Gue dengan begonya masih takut menghadap ke belakang takut-takut hantunya nampakin muka dari belakang. Gak lama, gue mendengar suara kerumunan dan,

"GEMPA!" Teriak seseorang dari luar. 
Gue buru-buru membuka pintu dengan hanya bermodalkan handuk dan pakaian yang sedari tadi gue genggam. Orang yang ada di depan kamar gue hanya bisa tertawa melihat gue yang gak siap untuk turun keluar. Akibat malu, gue kembali menutup pintu. Hancur, hancur lah, ini gedung. Gue mau pakai baju dulu. 

Banyak kejadian terjadi dan sesuatunya terasa ajaib dan aneh dalam satu waktu.

Adalah cerita pakaian gue dan Andrea kemasukan belalang atau hewan lainnya yang aneh, ada cerita soal ibu kantin dan ngomongin banyak hal soal asrama, atau paket gue yang waktu itu nyasar ke Puri padahal udah di anter ke asrama padahal udah gue samperin ke Purinya. 

Gue bakalan kangen sama tempat itu nantinya. Walaupun akses gue ke makanan jauh banget, tapi akses buat gue siaran di rektorat deket banget sampai gue bisa dihitung setiap hari siaran. Walaupun nantinya gue akan pindah, gue gak akan lupa sama tempat ini. Yah... Kesannya emang love hate, tapi sejujurnya gue berat banget untuk pergi. Gue terlanjur nyaman di sini. Di tempat di mana gue bisa jadi seperti sekarang.

Akhirnya, blog seputar asrama jadi juga. Padahal ini udah gue anggurin sekitar 3 bulan loh wkwkw... 
Makasih banyak ya udah baca cerita ini, even gak di baca juga gak apa-apa sih, gue cuma mau meringankan beban gue yang udah lama gue simpen di kepala, hehe...



Komentar

Ê• •á´¥•Ê”