Timeline-nya Udah Lupa
Halo! Guten Nacht for all of you!
Gue udah lama gak nulis, bahkan saking lamanya, gue udah lupa cerita gue sampai dimana. Tapi, karena hobi gue setelah lulus SMA adalah nge-vlog, alias bikin video di akun kedua Instagram gue yang tanpa di cek lagi bagus atau engganya, dan dengan begitu, akhirnya gue bisa tetap mengingat beberapa memori yang hampir hilang sepenuhnya.
Sebenarnyaa timeline dari cerita gue udah lewat banyak banget. Bahkan, saking banyaknya kejadian yang terjadi setiap harinya, kayak ga mungkin aja. Apalagi ketika gue di Jatinangor. Potongan adegan pendek aja bisa jadi memorable di kepala gue, bahkan sampai ke dialog-dialog yang diucapkan oleh para pemeran dari drama hidup ini alias teman-teman gue sendiri.
Selain menulis menjadi salah satu hobi, menulis bagi gue juga adalah ajang dari pelarian.
Pelarian dari hari-hari gue yang padat akan kesibukan organisasi,
Pelarian dari tugas kuliah di semester 2 yang lagi banyak-banyaknya,
Pelarian juga dari pikiran gue yang sempat kacau dalam beberapa tahun kebelakang dan belum terselesaikannya kekacauan itu sampai sekarang.
Jadi, jalan satu-satunya untuk "Pergi" dari semua itu adalah menulis.
Dengan menulis, setidaknya untuk sementara waktu gue gak perlu musingin beban yang secara serentak bisa aja mengubur gue dalam-dalam ke dasar bumi. Untungnya, tulisan dan blog ini menjadi penyangga dari semua hal buruk yang ada di kepala gue sekarang ini terjadi.
Kali ini, gue gak bakalan ngomongin persoalan dunia perkuliahan gue.
Kali ini agak serius sedikit. Kita bakalan deep talk.
Hehe.
Gue masih penasaran sebenarnya, akan skenario apa yang sebenarnya sudah disiapkan?
Jujur, gue gak berekspektasi penuh pada apa yang sering orang sebut sebagai mimpi.
Gue punya mimpi. Tapi masalahnya, gue merasa bahwa mimpi itu terlalu tinggi. Gue merasa bahwa gue gak bakalan bisa meraih mimpi tersebut. Sehingga suatu ketika, mimpi itu juga yang meredupkan semangat gue untuk masuk di jurusan gue yang sekarang. Gue merasa bahwa gue terlalu kecil dan mimpi tersebut bukan dicipta untuk gue.
Sama kayak baju, kalo kebesaran gak enak kan?
Nah, disitulah gue merasa bahwa kalo mimpi, ya yang realistis-realistis aja, gitu loh. Saat sma, gue merasa bahwa kemampuan gue pastilah terlampau jauh dari teman-teman gue yang sudah melangkah sedari awal, sedangkan gue masih stuck disitu-situ aja. Maka, gue kembali mengingat sebuah ucapan naif dari seorang anak perempuan yang bahkan gak tau apa yang diucapkannya di kelas 10 sma,
"Saya Ipit, saya mau masuk HI UI atau HI Unpad." Kata gue di depan kelas, disaksikan oleh seluruh teman kelas gue (Kecuali yang gak masuk) dan guru bahasa Indonesia gue, Bu Saodah.
Bu Saodah meminta satu kelas untuk bertepuk tangan pada mimpi gue yang bahkan gue gak tau itu apa. Gak ada satupun petunjuk yang membuat gue yakin bahwa gue akan menjadikan itu pasti terjadi. Gak ada juga sinar matahari yang menyilaukan saat gue berkata gue akan masuk HI Unpad agar seakan-akan disanalah gue akan berakhir. Gak ada pertanda apapun dan hanya ada suasana hening setelahnya.
Bahkan saking ragunya gue pada mimpi gue sendiri, gue sendiri juga yang berencana mengacak-acak mimpi itu sendiri. Akibat ga percaya diri, gue memilih jurusan dan universitas yang berbeda saat SNMPTN. Itu semua murni karena diri gue. Karena gue ga pede dan karena gue merasa "Lo bisa apa?"
Pikiran itu terus berkecamuk di kepala gue.
Seakan-akan gue adalah orang paling bodoh di dunia. Ironisnya adalah, itu adalah pikiran yang gue buat sendiri dan pikiran itu juga yang membunuh mimpi gue sendiri.
Sampai salah satu teman gue bilang,
"Lo kebanyakan mikir, santai aja, hidup belum tentu berjalan sesuai sama apa yang lo pikirin" Kata teman gue
"Loh, gue santai aja, gue cuma mikir kalo emang kejadian gimana? Gue harus siap sama skenario terburuknya dong?"
"Iya kalo beneran buruk, kalo malah bagus, gimana?"
Saat itu gue berpikir dalam sudut pandang strategi. Apakah gue lebih memilih menghancurkan apa yang sudah hancur? Atau membangun kembali atas kehancuran yang gue ciptakan sendiri?
Dan kalau memang berakhir bagus, apa yang bakalan gue lakukan? Bertahan? Atau tetap bersikukuh pada mimpi yang sebenarnya gak se-gue-impi-impikan-itu?
Jujur aja, kala itu gue terhanyut akan gengsi dan prestise. Bukan untuk gue sombongkan, lebih tepatnya gue takut akan ekspektasi orang-orang.
"Ih dia dulu rajin, tapi kenapa akhirnya biasa aja ya?"
"Padahal kamu bisa loh kesini, tapi kenapa pilih kesana?"
Praduga prasangka yang gue takutkan itu menghantui diri gue. Walau belum terjadi, otak gue selalu penuh dengan kata "Gimana kalo beneran terjadi?"
Mau gak mau gue harus menjauhi diri dulu dari rasa ketakutan itu. Gue mencoba menjadikan diri gue layak. Walaupun, dengan merasa layakpun rasanya gak cukup, tapi seenggaknya gue bisa percaya diri dulu.
Rasa setengah percaya diri akhirnya muncul. Gue dengan setengah hati pula memilih Ekonomi UI dan Ekonomi UB di SNMPTN. Yang berakhir juga mendapatkan penolakan sepenuhnya dari kedua universitas tersebut. Pikiran gue kembali mengawang,
"Tau bakalan ditolak gini, kenapa gue gak milih HI UI atau HI Unpad ya?"
Hingga penolakan itu memberi tiang penghalang untuk gue kembali memilih ilmu ekonomi yang walaupun saat gue SMA, gue sangat mencintai mata pelajaran tersebut. Dari kasus penolakan itu juga, gue dapat membuat tragedi menjadi komedi. Gue belajar bahwa ada hal yang memang seharusnya diketawain aja, ga usah dianggap serius. Jadi, ketika gue ditanya,
"Kenapa gak HI UI?"
"Ah kapok gue milih UI, kemaren udah nolak gue masih minta gue pilih lagi, ogah lah, sok jual mahal"
Tapi, sebenarnya apa yang gue ucapkan suka gak sesuai juga dengan apa yang gue pikirkan. Yang gue pikirkan saat itu adalah,
Ilmu ekonomi aja lo ga bisa, apalagi hubungan internasional.
Habis ngejokes, gue sedih lagi. Sial.
Yang lucunya, gue malah bermain dengan mempertaruhkan rasa percaya diri, harga diri, dan keberuntungan gue di SBMPTN.
Gue ingin tahu, sampai mana potongan kehidupan ini akan selesai?
Gue jadi mengingat apa kata Syahrir,
"Hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan"
Hingga akhirnya, gue sadar, bahwa gue gak ingin menjadi orang yang kalah terus. Kali ini gue harus dapetin HI Unpad walau taruhannya adalah dengan mempermainkan kehidupan gue sendiri.
"Gue milih HI aja lah, cuma itu yang gue mau dan cuma itu mimpi gue. Gak ada lagi. HI harga mati" Kekeuh gue saat jam 1 malam.
Hingga bisa dibilang gue beruntung.
Setelah gue mengingat detail persis soal dan sikap gue mengerjakan soal UTBK, semuanya berbanding terbalik dengan hasil. Gue diterima di pilihan pertama. Gue jadi anak HI. Mimpi gue yang belum ada kelanjutannya itu udah tercapai. Curiga gue adalah, pasti ada campur tangan orang tua dan gue dalam semua prosesnya (yang dimaksud disini adalah do'a ya teman-teman, aku gak menghendaki cara curang). Sekarang mimpi gue tercapai, tapi selanjutnya apa? Gak mungkin dong seumur hidup gue cuma hidup dalam mimpi gue yang cuma jadi seorang anak hubungan internasional?
Keluarga gue udah membombardir gue dengan rentetan pertanyaan "Kalo lulus nanti jadi apa? Gaji berapa? Mau punya anak berapa? Kalo meninggal lebih milih dikubur atau dibakar?"
Engga-engga. Semuanya emang berlebihan, tapi kayaknya ga selebay itu.
Intinya, gue kembali ditanya lagi mengenai mimpi.
Mimpi kedua yang bahkan gue gak tau.
Mimpi pertama aja bahkan hampir gue kubur karena perasaan gak mampu.
Tapi kembali lagi, gue harus bermimpi untuk yang kedua, ketiga, bahkan untuk yang kesejuta kali.
Jujur, bahkan ketika gue bermimpi untuk menjadi seorang anak Hubungan Internasional dan alhamdulillah-nya tercapai, gue gak tau gua harus bermimpi apa lagi untuk selanjutnya.
Hingga setelah semester satu kemarin gue menjalankan hari-hari gue sebagai anak hubungan internasional, tapi sebuah perasaan muncul. Perasaan akan ketidakmampuan itu hadir kembali. Menggerogoti setiap senti pikiran gue yang kala itu tengah berada di titik terbawah. Lagi-lagi perasaan remeh-temeh dan merendahkan diri sendiri hadir dikala gue yang awalnya tidak kenapa-kenapa harus jadi kenapa-kenapa. Gue merasa bahwa HI bukanlah tempat gue sesungguhnya. Gue lebih memilih bersantai sembari membicarakan resesi ekonomi dan pasar saham daripada bergelut pada badai politik dunia yang gak pasti ini. HI buat gue terlalu mengawang-awang. Gue bahkan sempat bertanya pada salah satu kakak tingkat gue di jurusan ini,
"Gimana sih kak cara betah di HI?"
"Jawaban seriusnya sih, lo sukain dulu sama pelajarannya, jawaban gak seriusnya lo cari cowok di sini, nah terserah milih yang mana"
Setelah gue pikir dua kali, daripada gue suka sama orang, terus pikiran gue masih acak-acakan, gue lebih memilih suka sama pelajarannya. Seenggaknya gue gak memberikan dampak negatif apa-apa ke orang lain. Jadi, di semester satu, gue mulai menyukai sejarah dan dasar ilmu sosial.
Tapi, pikiran ini gak ada habis-habisnya.
Setelah gue menyukai pelajarannya, kali ini gue belum menyukai lingkungannya. Menurut gue, anak-anak jurusan gue pinternya udah another level. Terkadang gue minder sendiri sama skill berkomunikasi mereka. Cara gue berkomunikasi lebih menjurus ke arah obrolan anak jalanan jika dibandingkan sama skill komunikasi mereka yang kayak Dewan Perwakilan Rakyat. Lurus, tertata, dan bikin orang kayak gue pasti gak ngerti mereka lagi ngomongin apa dan mikir, apakah berguna untuk masa depan gue kelak?
Ditambah lagi dengan prestasi-prestasi yang mereka cetak sebelum mereka masuk HI. Pasti ga sih? Gak mungkin mereka masuk HI gak bawa apa-apa.
Jadi, disanalah gue. Mulai merenungi apakah gue harus UTBK lagi? Dengan kembali memilih pilihan yang lebih sesuai sama diri gue banget. Kayak sastra contohnya, (Bukan berarti sastra jelek yah, coba dibaca lagi kalimat habis ini) menurut gue sastra udah penggambaran diri gue banget. Kebetulan gue suka baca novel dan puisi, jadi agaknya gue bisa lebih nyambung buat bahas buku dibandingkan politik luar negeri ini.
Tapi gue sudah terlanjur masuk dalam ranah politik. Gue sudah terlanjur terjun dan menyelam di dalamnya, jadi masa iya gue balik lagi keluar dan menceburkan diri di lautan sastra? Ga mungkin.
Hingga sampailah gue pada pikiran,
"Apa gue harus UTBK lagi? Milih HI UI kali ya? Gapapa gak diterima, gue udah di HI Unpad ini, kalo diterimapun, yaudah aja liat nanti"
Sebuah pikiran egois merasuki diri gue. Gue sebelumnya benci banget sama kating yang suka coba-coba dan ga diambil, tapi sekarang gue malah mau menjadi kating yang kayak begitu.
Tapi untungnya, Jatinangor membujuk gue untuk tidak pergi.
Gue diberikan teman, kerjaan, dan juga kebebasan yang mungkin gak akan gue dapetin di Depok atau Jakarta.
Jatinangor yang dikelilingi oleh pegunungan seakan sengaja membuat langit-langitnya menjadi cantik dan membuat gue membandingkan langit-langitnya dengan Jakarta sehingga pikiran gue untuk pergi kembali terdistraksi.
Dengan distraksi sekecil itu, gue rasa, untuk sementara ini gue gak akan pergi.
Tapi, gue masih merasa diri gue kecil, gimana dong?
Hingga sampailah saat gue makrab radio. Gue begadang ditemani oleh Kak Bilqis sampai jam 2 pagi. Di sanalah gue bertemu dan berbincang dengan salah satu kakak tingkat dari jurusan lain. Saat itulah, gue berbicara mengenai semua keluhan gue yang barusan gue tulis di atas. Iya, seperti rasa rendah diri dan lingkungan yang kurang mendukung dan membuat gue merasa bahwa gue harus pergi dari HI.
"Nih ya, cara biar dapet nilai A tuh aktif. Udah itu aja"
"Tapi kak,...." Semuanya gue tumpahkan di malam itu. Hingga kating itu hanya bisa merespon,
"Ih, Pit. Jangan mikir begitu, sekarang tuh kita harus jadi yang 'paling' dalam artian 'aing mau maju nih, lo semua minggir!' Jadi kalo begitu, siapa yang berani ngeremehin?"
"Tapi kak, emang gapapa ya? Aku takut sih jujur"
"Ya gapapa atuh, dosen juga ngerti namanya juga lagi belajar, udah sekarang mah cuek aja, jawab aja semuanya, kalo bisa di organisasi juga maju terus, jadi po orasi misalnya"
Yeeeeh malah promosi....
Gue akhirnya bersalaman dengan dia atas tuntutannya yang menginginkan gue untuk menjadi po orasi, walau gue mengiyakan, tapi sebenarnya pikiran gue berkata lain,
Lo mana bisa?
yah terkadang apa yang beracun itu adalah pikiran gue sendiri. Walau gue gak tau apa mimpi kedua gue setelah gue masuk HI Unpad dan apa rencana menjadi po orasi atau bahkan po prabu akan terlaksana, seenggaknya gue masih disini untuk menunggu,
janji apa yang dibuat sampai gue rela menanti bahkan sampai hari ini?
Setidaknya dari percakapan itu, gue jadi mengurungkan niat gue seratus persen untuk pergi. Gue kembali mengingat-ingat salah satu buku yang gue baca
"People have forgotten this truth," the fox said. "But you mustn’t forget it. You become responsible forever for what you’ve tamed. You’re responsible for your rose." ― The Little Prince
Ada yang harus gue pertanggungjawabkan disini, yaitu pilihan gue sendiri.
Komentar
Posting Komentar