USA (Urang Sumedang Asli) Pt.2
Kerinduan gue pada Sumedang membawa gue pada ingatan gue di malam hari bersama Andrea.
Kala itu, kita tengah nongkrong di depan gapura SDN 01 Cikeruh sembari menunggu Ali yang akan menjemput kita. Kami ditemani oleh city light Jatinangor yang bagus banget apalagi kalau kita mau lihat bisa tanpa effort sama sekali, tinggal dateng aja ke depan gapura. Malam itu gue bergumam sendiri…
“Ndre, kata lu dalam 5 sampai 10 tahun lagi, kita bakalan bisa kesini lagi ga?”
Andrea yang gak kaget akan perbincangan yang tiba-tiba menjadi serius itu hanya menjawab,
“Gue yakin bisa sih, tapi kayaknya gak bakalan sama, sama apa yang kita lihat sekarang”
“Tapi, emang lu mau kesini lagi?” Tanya gue penasaran
“Sebenarnya walau gue ngeluh mulu disini, tapi pasti sih gue bakalan kangen sama Jalan Sayang. Gue pasti kesini lagi cepat atau lambat” Jawab Andrea
Gue dan Andrea akhirnya hanya mendengar udara kosong setelahnya. Sepertinya angin juga tau kalau pembicaraan sudah terlalu dalam. Hari ini jangan sampai kita bersedih sampai gak bisa tidur. Dalam keheningan itu, gue berbicara sendiri di dalam hati,
“Gue bakalan kesini terus”
Kenangan kecil seperti itu kembali menjangkiti isi kepala gue yang kosong melompong. Seharusnya gue belajar untuk persiapan satu semester kedepan. Tapi, kegiatan itu terganggu karena gue merasa ada hal yang belum gue lakukan sekarang. Iya, menulis. Gue harus menyelesaikan semua cerita yang terjadi dalam rentang waktu September sampai Desember tahun lalu karena gue yakin hanya di waktu ini gue bisa merampungkan segala urusan perbatinan ini.
Kemarin, gue baru aja menceritakan mengenai H-4 gue pindahan dari kost ke asrama. Sekarang, gue akan melanjutkan cerita mengenai H-3 gue pindahan sampai hari H nya.
Keesokan paginya, tepatnya tanggal 16 September setelah kejadian otak-otak kematian dan hampir ketinggalan kereta, gue dan Andrea tentunya mengawali hari dengan semangat 45. Kesialan boleh aja terjadi kemarin, tapi hari ini, keberuntungan menunggu kita untuk makan makanan terakhir di Jalan Sayang. Fyi aja ya gengs, makanan di Jalan Sayang itu sebanyak itu sampai sangking banyaknya kita dibuat bingung mau makan apa. Seperti biasa gue dan Andrea akan berjalan ke warung ibu-ibu yang suka menjual ayam serundeng. Kami berdua adalah saksi dari awal karir si ibu-ibu warteg karena sejak warteg itu buka, Andrea adalah pelanggan pertamanya. Sayangnya, saat warteg itu buka juga, gue saat itu sedang tidak berada di kost, jadi gue gak sempat untuk mencoba kelezatan dari ayam serundeng yang selalu Andrea elu-elukan. Sampai suatu ketika gue mencobanya sendiri.
Saat itu gue ingin ke Unpad sendirian karena ada kerja kelompok Dasar Dasar Ilmu Politik. Gue memberanikan diri untuk makan di tempat sendirian dan mencoba ayam serundeng ibu warteg pengkolan. Saat gue mencoba dan benar aja. Enak. Pake. Banget. Udah gitu ibu wartegnya selalu memenuhi nasi gue dengan serundeng karena setiap gue beli pasti gue minta ekstra serundeng. Maka, jadilah gue dan Andrea di mata ibu warteg pengkolan sebagai dua budak (anak) serundeng.
Malamnya, Andrea melakukan ibadah gereja terlebih dahulu sebelum kita ke tukang fotocopy untuk ngeprint dokumen yang dibutuhkan saat nanti kita check in asrama. Tempat fotocopy itu letaknya ada di atas, dekat dengan pertigaan. Sebenarnya ada yang lebih dekat dari kostan, tapi menurut gue, tempat fotocopy ini punya karakteristik sendiri yang membuat tempatnya berbeda dengan tempat fotocopy lain. Perbedaannya yang paling mencolok adalah, tempatnya dijaga oleh kucing abu-abu berkalung oranye. Iya lo lagi-lagi gak salah baca. Ada satu kucing lucu disana yang dipelihara dan sering tidur di atas etalase kaca. Pengunjung bebas mau megang-megang beliau karena beliau gak bisa teriak “ADA PELECEHAN!”
Satu-satunya kata yang keluar dari mulut kucing ini saat dipegang-pegang pembeli adalah “Miaw~” Udah. Abis itu dia kembali tidur.
Suatu hari di tanggal 26 Agustus, gue baru saja pulang dari first meet dengan kelompok orasi (Ospek Fakultas) gue. Tiba-tiba gue teringat akan perlengkapan ospek yang belum gue beli. Jadi, gue berniat pulang dahulu baru kita beli perlengkapan ke fotocopy-an pertigaan sekalian mengajak Andrea juga. Jam 10 malam kita baru berangkat ke atas. Segala sisa energi untuk bercanda, kami habiskan di hari itu juga karena mengingat pulangnya pasti capek banget kan ya, apalagi besoknya kita harus bangun pagi-pagi buta. Jadi setelah ini, kami berniat untuk tidur. Sesampainya di tempat fotocopy, gue melihat juga banyak anak-anak lain yang mungkin senasib dengan kami. Tapi gue agak takut sedikit karena banyak dari mereka laki-laki dan terlebih lagi kalau itu kating gimana?
Gue dan Andrea memang anak Fisip, jadi perlengkapan ospek kami sama. Saat itu yang kami butuhkan adalah sebuah name tag dengan tali putih. Di saat gue menuliskan format nama, kita berdua ketawa-tawa karena format nama yang gue tulis selalu salah.
Hingga gue mendengar ada seseorang yang ngomong dari belakang kami,
“Tuhkan, Bim. Di tulis tangan.” Ungkap seseorang ini pada temannya.
Kami yang sadar akan hal itu hanya menganggap sebagai angin lalu saja karena kita sama-sama ngga saling kenal. Hingga salah satu anak ini memberanikan diri untuk meminjam spidol yang tengah kami pakai,
“Misi, boleh minjem spidolnya ngga?” Tanya si anak laki-laki yang berkacamata
“Eh boleh, sok pake aja, tapi ini kita dari Fisip emang disuruhnya begini, kalian dari Fisip juga kah?” Tanya gue
“Eh engga, gue bukan dari FISIP, ini temen gue yang dari FISIP” Kata si anak berkacamata dengan menunjuk temannya yang lagi menggendong kucing abu-abu milik ibu tempat fotocopy ini.
“Oalah” Balas gue dan Andrea
“Eh btw, nama lo siapa?” Tanya anak berkacamata ini.
“Gue Ipit, ini temen gue Andrea, nama lo?” Tanya gue. Dari sini gue merasa bahwa kami berasal dari daerah yang sama yaitu Jakarta
“Nama gue Althof” Jawab si anak berkacamata
“Kalo lo?” Tanya Andrea pada si anak Fisip yang tengah menggendong kucing.
“Gue Bimo” Jawab Bimo, singkat
“Lo Fisip jurusan apa, Bim?” Tanya Andrea lagi penasaran, sedangkan gue kembali sibuk menuliskan name tag dan perlengkapan lainnya.
“Gue Antropologi, lo pada apa?” Tanya Bimo balik
“Gue Administrasi Publik, kalo dia HI” Jawab Andrea
Setelah berbasa-basi sedikit dan akhirnya gue mendapatkan informasi bahwa dia juga berasal dari Jakarta tapi bedanya dia Selatan sedangkan gue dan Andrea Timur. Kami akhirnya bergegas untuk pulang, tapi,
“Btw, boleh minta Ig lo berdua ga?” Tanya Althof tiba-tiba.
“Eh, boleh lah, mana sini Ig lo” Tanya Andrea
Akhirnya secara resmi kami tukeran Instagram di tukang fotocopy-an dengan Althof dan Bimo. Gak jauh dari tempat fotocopy-an. Gue dan Andrea hanya kebingungan dengan hal yang baru saja terjadi.
“Baru kali ini gue ke tukang fotocopy-an dimintain Instagram” Gumam Andre
“Baru kali ini juga gue ke tukang fotocopyan langsung akrab sama orang lain” Balas gue.
Flashback selesai dan ayo kita kembali di tanggal 17 September. Pagi itu, gue dan Andrea tentunya ingin membeli makan lagi. Tapi pagi itu berbeda karena Andrea dan gue harus makan sendiri-sendiri. Gue ada agenda wawancara radio (detail dan cerita spesifik mengenai radio bakalan gue post belakangan) Gue gak makan dulu dan lebih memilih makan setelah gue pulang wawancara aja. Naasnya, saat itu hari Sabtu. Gak ada odong ataupun kendaraan. Unpad tengah sepi-sepinya. Jadi, gue berjalan kaki sendirian sepulang wawancara dan berakhir nyasar di kampus sendiri. Gue berjalan melalui jalur Ipa yang mana jalur itu adalah jalur paling jauh kalau mau pulang dari arah rektorat. Gue berakhir di Fakultas Psikologi dan bertanya di grup Utol,
“Ini belok kanan apa kiri?”
Namun karena tak mendapat respon apapun, gue mencoba mengikuti insting. Gue belok kiri. Sujud syukur saat tau kalau gue gak nyasar gue pun akhirnya bisa tersenyum bangga dan sebagai self reward atas hari ini, gue bakalan makan nasi padang sepuluh ribuan (Ini worth mampus)
Pulangnya, gue menceritakan mengenai apa saja yang terjadi selama gue wawancara pada Andrea (Sesi ini bakalan gue ceritain terpisah)
Andrea cuma menyimak sembari mencuci baju.
Rencana gue pada H-1 kepindahan adalah untuk menikmati sore hari di lapangan bola sembari menatap Gunung Geulis untuk yang terakhir kalinya (Dramatis), kost tour, dan terakhir adalah packing.
Sore itu, gue dan Andrea kembali berjalan untuk berburu makanan, tapi sebelum berburu makanan, kami berkeliling di halaman kost terlebih dahulu karena dalam sebulan kita tinggal, kita gak tau apa aja yang ada di atas dan di sekelilingnya. Wilayah yang kita ketahui cuma tempat parkir, kamar kita, dan terakhir dapur bersama. Kami terkejut karena di atas ada banyak banget kamar kosong dan pemandangan dari atas ke bawah bikin takjub karena pemandangan dari kamar atas kita langsung dihadapkan sama sawah dan perkebunan yang asri. Benar-benar ghibliable. Tapi, Andrea lagi-lagi masih menganggap bahwa kostan itu sebagai zoo.
Akhirnya setelah puas mengeksplor kost-an kamipun puas dan beranjak keluar untuk mencari makan di Jalan Sayang.
And If you have a minute why don’t we go~
Talk about it somewhere only we know~
Saat dalam perjalanan mencari makanan gue bersenandung ria lagu Somewhere Only We Know nya Keane dalam maksud menyindir Andrea yang istilahnya udah gak betah lah ada di kostan semenjak kejadian di tegur wifi itu. Andrea cuma ketawa-tawa sembari sesekali bilang,
“Besok gue pindah, bye kost ga jelas”
Gue dan Andrea ketawa-tawa sendiri sama inside jokes yang pastinya ibu kost gak tau.
Dibutuhkan waktu yang lama karena perjalanan yang panjang dapat ditempuh dengan hanya berjalan kaki karena kami berdua gak ada yang punya kendaraan di Sumedang. Demi bisa makan, kami harus melewati tanjakan dan pulangnya harus melewati turunan tentunya yang kalau dikisar, kita bulak balik bisa 15 menit sekali jalan. Tapi, hal itu gak ada apa-apanya karena kami sering mengobrol. Jujur aja, selama 30 hari gue dan Andrea melakukan hal itu, kami nyaman-nyaman aja tuh. Sampai Qonita yang penasaran dan fomo itu tiba-tiba bertanya sewaktu dia main ke kost kami,
“Kalian tuh kalo berdua gini gak pernah abis topik gitu?” Tanya Qoni, kepo.
Gue dan Andrea hanya saling pandang karena sebenarnya gak ada, tapi kalau dipikir-pikir, iya juga ya, selama di kost-an, hal yang selalu kami lakukan adalah mengobrol. Tapi kok topiknya gak habis-habis?
“Gak tuh, topik ngalir terus, ya kan, Ndre?” Tanya gue meminta persetujuan Andrea
“Iya, kalau emang lagi gak ada obrolan ya diem aja. Emang mau ngapain lagi?” Tanya Andrea balik ke Qoni
“Iya sih, tapi ya, gue mah gak bisa sebenernya teh sekamar berdua begini, butuh privacy gue mah, tapi ngeliat kalian berdua gue fomo. Gimana dong?” Kata Qoni pada kami. Gue dan Andrea hanya ketawa ngeliat ke-fomo-an Qoni.
Sore itu, sekitar jam 5 sore, kami membeli makanan dan 2 bungkus batagor yang rencananya akan kami nikmati di lapangan bola sembari memandangi Gunung Geulis untuk yang terakhir kalinya.
Kami duduk di atas tribun berwarna biru sembari memakan batagor yang dibeli di depan warteg dan sekalian menyaksikan matahari tenggelam juga di hari itu. Lamunan gue sore itu dipecahkan oleh Andrea yang tiba-tiba bilang,
“Ayo pulang, lu gak shalat emang?”
Gue pun pulang karena Andrea sudah berkata mengenai ibadah. Setelah ini gue bakalan shalat dan makan, terakhir gue dan Andrea akan packing.
Kami packing sambil ketawa-ketawa karena jujur kalau melihat kebelakang, kayaknya nasib kami benar-benar mengenaskan. Pertama, kami berdua gak punya lemari. Ada lemari yang emang udah disediakan tapi gak muat untuk berdua. Jadi kami hanya memasukan baju-baju kecil saja di dalam lemari. Sisanya kami taruh di dalam koper terbuka. Kedua, kita kemana-mana jalan, terakhir, semua urusan rumah tangga kita lakuin sendiri. Salut.
Kami mengemas barang-barang sembari melakukan timelapse dari kamera HP gue. Hasil timelapse itu kami posting di snapgram sembari menambahkan backsound Hyehwadong dari OST Reply 1998. Lagunya benar-benar menggambarkan kehidupan orang pinggiran dan menyedihkan seperti kami berdua. Di dalam timelapse itu terdapat gue dan Andrea yang lagi nyobain overall milik Andrea yang dia bilang mirip dengan apron barista. Setelah gue coba, iya juga sih. Bagus kok, walau di gue kependekan aja. Setelah itu, gue membandingkan tampilan Al-Qur’an dan Alkitab milik Andrea. Terlihat begitu simple milik Andrea sedangkan punya gue banyak banget, tebal, dan besar.
“Gue sejujurnya mager bawa Al-Qur’an ini anjir. Di HP gue juga udah ada” Keluh gue
“Jangan gitu lu, Tuhan lu nanti marah” Kata Andrea
Karena takut diomelin Allah dan Andrea, gue memasukan Al-Qur’an gue ke dalam koper walau sebenarnya udah penuh banget.
Hingga tersisa barang-barang kecil yang bisa dimasukan ke dalam kantung-kantung belanja yang gue bawa banyak dari Jakarta.
Akhirnya, proses packing barang selesai juga. Gue dan Andrea akhirnya tertidur agar proses check in asrama di keesokan harinya dapat berjalan lancar karena ga telat.
Gue udah ngode di grup Utol kalau besok kita bakalan pindah. Cici dan Ali berencana mau membantu kami saat itu. Hingga di pagi harinya, sekitar pukul 9 kami berencana ke kost Cici untuk mengambil motor Ali. Tapi ternyata, Cici ada di FIB dan kunci motor Ali ada di kamarnya. Motor Ali memang sengaja dititipkan di kost Cici karena tau gue dan Andrea bakalan pakai di hari itu. Saat tau Cici ada di FIB Gue dan Andrea kebingungan saat itu. Haruskah kita check in dulu ke Bale Wilasa di dekat rektorat atau menunggu Cici pulang?
Tapi karena takut kebagian kamar di lantai paling atas, kita menyerah dan memilih untuk berjalan dari Ciseke ke Bale Wilasa 1 yang ada di rektorat. Hari itu Hari Minggu, jadi gak ada odong untuk mengantar kami kesana. Sembari berjalan, kami mendengar ada orang yang tengah berkaraoke ria di gedung laboratorium dengan menyanyikan lagi Mungkinkah dari Stinky. Gue dan Andrea yang tau lagu itupun akhirnya bernyanyi bersama sembari menahan capek karena bulak-balik kesana-kemari dengan hanya bermodalkan berjalan kaki.
Sampai di asrama, ternyata sudah banyak orang yang tengah menunggu antrean. Saat itu gue ditemukan dengan Camilla dan Mayla. Salah satu teman sejurusan gue. Kita sebelahan dan ending-nya malah berakhir jadi tetanggan. Jam menunjukan pukul 11. Gue lagi-lagi sial karena mendapatkan kamar di lantai 4. Namun, gue masih sempat bersyukur karena ada salah satu orang di barisan belakang gue yang dapat kamar di lantai 5. Saat mereka tengah menggendong-gendong tas, gue dan Andrea hanya bisa bilang,
“Semangaat!!!”
“Makasih yaa” Jawab mereka sembari tersenyum
Setelah mendapatkan kunci kamar, gue dan Andrea membuka pintu kamar. Kamar yang didapat bakalan hoki-hokian karena kita gak tau kondisi kamar kami sendiri. Udah gitu kondisi tiap kamar berbeda-beda.
1...
2…
3…
JENG-JENG!
“Bagus anjir” Kata gue ke Andrea.
Kami mendapatkan kamar dengan kondisi yang lumayan bagus. Lampu sudah disediakan di atas lemari. Ranjang tingkat dengan kondisi juga masih baru sama seperti lemari putih kayu yang besar. Jangan lupa ada 2 meja dan bangku yang juga sama bagusnya, dan saat kita menengok ke luar, kita mendapati pantry dan dua kamar mandi. Belum lagi dengan view dari kamar kami ke arah pepohonan dan bunga yang bahkan kayaknya asrama kita lebih bagus daripada apartemen di Paris.
Gue dan Andrea berniat mengambil peralatan kebersihan di kost dan membersihkannya sampai 3 atau 4 kali pel lalu baru kita memindahkan barang-barang kami.
Saat keluar, kami mencoba mengintip kondisi kamar Camilla. Rupanya hampir mirip dengan kamar kami walau peletakannya banyak yang berbeda. Setelah itu, barulah kami kembali ke kost Cici untuk mengambil motor Ali. Butuh waktu untuk menunggu Cici pulang dari FIB karena ada acara dari jurusannya. Setelah zuhur, barulah kami bisa bulak-balik asrama dengan motor Ali.
Ada mungkin 18x perjalanan dari kost ke asrama dan asrama ke kost. Dari jam 12 siang itu, kita selesai membersihkan segalanya di jam 9 malam. Kami berdua juga harus menggotong koper yang berjumlah 3 buah dengan berat setara dengan satu ekor kambing (Bahkan lebih) dari lantai 1 ke lantai 4 sendirian. Yang paling menantang adalah saat kita harus bawa kasur dan galon pakai motor. Andrea sebagai penguasa jalanan berperan sebagai driver dan menaruh galon di kaki kirinya. Kalau Andrea melepaskan kakinya, antara galonnya yang jatuh atau kitanya yang jatuh. Sedangkan peran gue adalah duduk dibelakang dan memegang kasur Andrea yang besar. Di tanjakan gue beneran hampir jatuh karena Andrea ngegas mendadak. Di saat-saat krisis itu, sempat-sempatnya gue nge-vlog. Ibu warteg pengkolan juga tiba-tiba sadar bahwa kita lewat. Beliau akhirnya meneriaki kami yang lagi kesulitan,
“HEIII!!!”
“EH IBU-IBUNYA MANGGIL!” Seru Andrea
“Seriusan? Anjay, emang ibu warteg pengkolan udah kayak Ibu ketiga gue deh selain nyokap sama Bunda Maria” Kata gue di Vlog, udah mulai meracau.
Hingga akhirnya, selesailah prosesi angkat mengangkat barang sendirian tersebut. Gue dan Andrea belum sembat merapikan dan menata ulang isi koper kami masing-masing, tapi jam 9 malam itu, muncul pertanyaan,
Ini cara balikin motornya Ali gimana?
Akhirnya mau gak mau, kita berdua isi bensin dulu di Pom dan terakhir ke tempat Ali yang sekarang sedang berada di kost-an temannya yang terletak di Jalan Sayang dan kemudian Ali akan mengantar kita berdua pulang ke Asrama dan dia bakalan pulang sendiri. Iya, kita bakalan reptil atau rempet tilu. Kalau di Jakarta namanya Boti alias Bonceng Tiga, tapi gatau ya, kenapa banyak banget istilah di Sunda ini, ada yang bilang Deptil lah (Dempet Tilu). Hadeh...
Setelah mengisi bensin, kami bertemu juga dengan Ali. Ali menyetujui ide untuk bonceng tiga itu karena gak ada cara lagi buat nganter kami berdua ke asrama. Hingga di tengah jalan, Ali bertanya,
“Tadi lo pindahan di bantuin siapa?”
“Gak ada” Jawab Andrea
“Lah Cici?” Tanya Ali lagi
“Cici gak jadi, dia ada acara di jurusannya, itu juga tadi kita nungguin doi dulu gara-gara kunci motornya lu titipin di kostnya” Keluh Andrea
“Terus, Alif sama Cikso gimana?” Tanya Ali lagi
“Apa yang mau lu harapin sih dari mereka, lo sendiri kemana emang?” Tanya gue sebel
“Kalau tadi gue gak ada acara mah udah gue bantuin, Pit, dari pagi” Jawab Ali dengan nada gak enak
“Emang kenapa lu gak sewa mobil aja sih?” Tanya Ali lagi
“Mahal li, ini pertengahan bulan lagi krisis-krisisnya” Jawab gue
“Oh iya sih bener” Kata Ali mengiyakan
“LO TAU GAK SIH LI, TADI KITA NGANGKAT KOPER, KASUR, GALON, DERAJAT ORANG TUA (AMIN) SENDIRIAN DARI LANTAI 1 KE LANTAI 4” Adu Andrea pada Ali seakan Ali adalah kakaknya yang harus tau semua perjuangannya selama berkuliah
“Iya apa? Anjay kece juga, terus sekarang udah bersih?” Tanya Ali sembari mengapresiasi kerja nyata kami berdua
“Tinggal di atur aja sih, abis ini pokoknya kita mau tidur” Ucap Andrea
Malam itu kita berterima kasih banyak pada Ali dan motornya. Bahkan walau tanpa kehadiran orangnya, gue dan Andrea sangat terbantu karena dengan motornya kita bisa beli lampu dan makan di malam itu.
So, dari gue mungkin ini adalah akhir dari cerita USA (Urang Sumedang Asli)
Gue dan Andrea lebih nyaman untuk tinggal di Asrama sekarang, yah walau bulan September nanti kita bakalan ngekost lagi, tapi seenggaknya ini adalah kisah yang gak bakalan bisa gue lupa. Andrea juga yang selalu bilang,
“This queen don’t need a king” Membuat gue sadar bahwa kita juga bisa melakukan apapun sendirian. Emang bagusnya sih minta bantuan, tapi bantuan gak selalu ada, jadi baiknya as a woman ya kita harus bisa juga jadi independent. Tentang teman-teman gue yang bersedia untuk membantu gue, tentang ibu kost dan kenalan baru kita sekarang yaitu ibu kantin asrama, dan banyak hal seru yang pastinya gak bakalan gue lewatkan.
Saking nyamannya di asrama, setiap hujan tiba, gue bakalan main ukulele di atas pantry dan bernyanyi lagu Hujan dari Utopia. Suara gue bercampur dengan suara petir yang siap kapan aja menyambar gue yang sumbang kalo nyanyi.
Last banget nih, makasih banyak udah menyempatkan waktu untuk membaca kisah ini. Gue tau banget kok ini gak penting. Gue menulis bukan untuk apa-apa. Gue menulis supaya setiap cerita gak cuma bisa untuk dilupa. Tapi, atas keberadaan kalian semua, entah kenapa cerita gue seakan menjadi penting, minimal untuk diri gue sendiri sehingga gue sampai sekarang bisa melanjutkan semua cerita keseruan gue selama hidup.
Komentar
Posting Komentar