What If?
(Tulisan ini dibuat tanggal 24 Juli 2022)
Sebuah hal yang mengganggu gue semalam. Sebenarnya bukan hanya semalam, tapi dalam 23 hari ini hidup gue seperti melayang. Ibarat arwah gentayangan, gue sama seperti mereka, bedanya gue hidup aja. Sebuah skenario terpikirkan ketika gue lagi menyantap makan siang sambil namatin Peaky Blinders Season 6.
"Bagaimana kalau gue ditolak lagi?"
Ketakutan gue pada hal yang belum tentu terjadi emang terdengar sedikit berlebihan. Tapi mengingat pendaftar SBMPTN ada delapan ratus ribu orang dan yang diterima kurang dari dua ratus ribu, sukses bikin kepala gue mumet. Gue seakan menyiapkan sebuah amunisi karena takut kalau-kalau gelombang kesedihan mendalam itu datang. Tapi yang masih gue pertanyakan adalah, apakah gue bisa menahan gelombang dashyat yang jam 3 nanti datang?
Hal seperti skenario terburuk sudah gue pikirkan sejak jauh-jauh hari. Bahkan sebelum SNMPTN diumumkan. Bahkan lagi, saat UTBK berlangsungpun, gue masih memikirkan "Apa skenario terburuk yang akan terjadi nanti? Kalau ada, apa yang bisa bikin gue mengubah alur cerita itu menjadi sesuatu yang gak buruk-buruk amat?"
Ditolaknya gue dari SNMPTN sukses bikin gue nangis sesenggukan sambil ketawa (temen gue bilang kayak Joker). Alasannya adalah cukup lucu sih, gue ketawa karena hidup gue saat itu merasa dipermainkan. Entah kemana arah tujuan hidup gue, tapi yang jelas hidup gue penuh ketakutan. Takut akan UTBK, takut hasilnya, takut gak keterima UTBK, dan segelintir langkah untuk maju yang belum tentu berakhir dengan keberhasilan.
Kesedihan gue di SNMPTN untungnya hanya bertahan dalam semalam. Besoknya gue kembali belajar dengan giat sambil memikirkan strategi balas dendam pada soal-soal UTBK yang gak masuk di nalar. Sejujurnya, niat balas dendam gue gagal, karena malah gue yang dilibas sama soal-soalnya. Hal itu malah membuat gue semakin murung. Gue takut orang-orang akan kecewa pada apa yang telah gue lakukan selama gue hidup. Gue bener-bener takut dan peduli pada perasaan orang lain dibanding gue peduli pada perasaan gue sendiri.
Bahkan ketika nyokap gue nanya.
"Susah gak soal UTBK-nya?"
"Susah banget" Jawab gue, dingin.
"Loh, kan setiap hari belajar?" Heran nyokap.
"Apa yang dipelajarin banyak yang ga keluar, tapi tenang aja, udah daftar mandiri kok" Sahut gue meyakinkan, tapi sebenarnya ga seyakin itu. Terbukti dari gue yang gak bisa meyakinkan nyokap gue sendiri dengan berkata,
"Anakmu ini pasti masuk unpad. Percayalah!" Gue gak bisa ngomong begini.
Sebagai penyuka game strategi, gue hampir menyamakan kehidupan gue sebagai sebuah dasar dari strategi bertahan hidup. Buat gue, ujian mandiri adalah strategi. Seenggaknya, kalau gue ditolak dalam SNM dan SBM, gue harus kuat buat ikut mandiri. Kalau pun gue ga diterima mandiri, gue harus bisa menata hidup gue selama satu tahun menuju UTBK di tahun selanjutnya dengan epic comeback. Kalaupun gue gagal lagi, maka mungkin memang itu bukan jalannya dan seenggaknya juga, gue gak sendirian. Masih banyak orang lain yang mungkin bernasib sama dengan gue kalau gue gak diloloskan dalam SBM. Pikir gue kala itu.
Tapi tiba-tiba, muncul skenario baru di kepala gue,
"Gimana kalau seandainya lu beneran ketolak mandiri?"
Pertanyaan itu juga pernah ditanyakan sebelumnya saat gue kebetulan lagi main bersama dengan teman-teman gue,
"Kalau seandainya lu ga lulus mandiri, gimana?" Tanya teman gue.
Hmm... Tentu saja gue akan sedih. Sedih dan merasa bahwa gue gagal di tahun ini. Tapi, gue hanya menjawab dengan menyebutkan hobi dan impian gue. Hobi yang sudah lama gue ingin seriusin, tapi karena terhalang kegiatan sekolah, jadi hobi gue agak sedikit terlantar dan rencananya hobi itu akan gue seriusin jika skenario gue ga lulus mandiri terjadi,
"Kayaknya gue mau les jait. Di rumah gue ada mesin jait tapi ga ada yang bisa jait. Oh, sama mau buat SIM kali ya? Gue pengen belajar nyetir mobil juga" Balas gue saat itu.
Saat skenario kedua itu muncul, gue kembali menimbang-nimbang. Melihat gue yang suka mempelajari hal baru, gue rasa jika skenario kedua muncul, gue akan mewujudkan semua itu. Tapi disamping hobi, hal pertama yang gue lakukan pasti memafkan, bahwa bukan kesalahan gue kalau gue gak diterima dimanapun. Kedua mengubah pemikiran gue, bahwa gue gak bodoh dan lebih tepatnya lebih berbakat di bidang lain daripada dua subtest yang di ujikan di tiap ujian. Ketiga, bahwa omongan orang lain gak memiliki pengaruh kuat untuk gue sendiri. Bagaimanapun gue adalah kendali untuk diri gue sendiri. Orang lain gak bisa mengatur gue sesuka hati mereka, cuma gue yang paham harus apa dan bagaimana untuk kedepannya, toh mereka juga ga 24 jam ada di dekat gue dan bahkan ga 24 jam bisa baca pikiran gue (kecuali Anya Forger).
Jika hal pertama sampai ketiga itu udah gue lakukan, gue percaya gue bisa melakukan langkah terakhir.
Langkah terakhir setelah gue mengubah jalannya pemikiran itu adalah, gue akan melakukan hal baru tersebut. Entah mungkin bersenang-senang, belajar, bermain, atau apapun. Toh dunia bukan ajang adu lari, ga ada garis finish.
Tapi gue percaya, seburuk-buruknya skenario, bukan berarti semuanya akan begitu sampai akhir. Ga mungkin badai bakalan terus ada. Capek juga kalo setiap hari badai. Tapi maksud gue, segalanya yang buruk gak selamanya akan berakhir buruk. Bahkan hal buruk kayak gagal masuk PTN bisa jadi adalah awal dari langkah menuju sesuatu yang baik lainnya. Gue percaya itu.
(Tulisan ini dibuat tanggal 14 Juli 2022)
Haiii! Gimana-gimana? Ada kabar apa hari ini? Selamat? Semangat?
Apapun itu hasilnya, gue selalu berdoa supaya itu menjadi suatu awal langkah menuju hal-hal baik. Anggap aja lu lagi berjalan menyusuri pelangi dan mencari bongkahan koin emas. Agak bocah, tapi menurut gue layak untuk menghilangkan segala pikiran negatif yang lagi berkecamuk di kepala lu. Gue juga begitu. Setiap ada hal yang kurang menyenangkan terjadi dalam hidup gue, gue bakalan mikir,
*Ouh kesandung
"Ya Allah, apakah ini pertanda bahwa hamba akan menjadi salah satu dari orang terkaya di dunia?"
Ga gitu juga sih.
Lebih tepatnya gue selalu berkata pada diri gue sendiri bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang bisa menjadikan gue 'sesuatu' nantinya.
Maka, ayo tarik napas sebentar. Nangis boleh? Kenapa engga, itu adalah salah satu emosi yang harus lu akui bahwa lu lagi sedih saat ini. Tapi, secukupnya ya, jangan berlarut karena capek juga nangis tuh. Butuh minum yang banyak dan jadi bikin bolak-balik ke toilet. Emang gak capek ke toilet sambil nangis?
Gue membuat blog ini karena gue masih merasakan kesedihan itu. Lebih tepatnya perasaan teman-teman gue yang masih harus berjuang dalam ujian mandiri dan bahkan berniat untuk menjalani gap year di tahun depan. Apapun keputusan kalian, gue akui kalian hebat.
Gak semua orang bisa.
Gak semua orang mampu.
Komentar
Posting Komentar