Ospek Pisif
Sebagai anak Unpad, kalian pasti gak asing lagi sama kata,
"Jatinangor itu bukan di Bandung"
Yup, benar banget saudara-saudara. Buat kalian yang mau masuk Unpad di tahun 2023 dan seterusnya, gue cuma mau bilang, jangan berekspektasi tinggi-tinggi deh, soal Unpad ada di Bandung.
Fakta mengatakan kalau Unpad tersebar di beberapa wilayah di Jawa Barat salah satunya di Jatinangor. Emang sih ada Unpad di Bandung, tapi bukan untuk program S1, nah yang S1 ini nih adanya di Jatinangor alias Sumedang alias Jawa Barat. Tenang aja, Bandung juga bagian dari Jawa Barat kan? Tapi ... Jangan kecewa dulu, meskipun Unpad pusatnya di Jatinangor, tapi gak menjadikan Unpad sebagai salah satu kampus yang 'terpinggirkan', malahan buat gue, Unpad di Jatinangor adalah salah satu kampus terseru yang pernah gue tau. Ada bis yang kayak mobil Taman Safari dan anak kampus sering sebut sebagai odong, ada Gor Jati, ada gerbang lama atau gerlam yang merupakan surganya jajanan enak, ada Jalan Sayang dimana itu adalah surganya makanan yang lebih lengkap dari gerlam dan tempat untuk nongkrong, semuanya ada disana, pokoknya asik deh.
Di Unpad ini juga, gue banyak menemukan berbagai macam orang. Dari berbagai suku, agama, maupun kelakuan semuanya tersebar di kampus ini. Contoh kecilnya aja dari segi aksen.
Sebagai warga Jakarta, tentunya gue gak asing dengan bahasa indonesia dan suara mereka yang lempeng. Hal yang membedakan antara suara satu orang dengan yang lain adalah bentuk suara mereka masing-masing, ada yang serak, ada yang lembut, ada yang keras, ada yang gak kedengeran sama sekali saking malunya atau emang mereka yang ngaku kalau mereka introvert. Di Jakarta, semua suara gak asing di telinga gue, sampai akhirnya gue menemukan banyak sekali aksen bertebaran dari seluruh Indonesia yang selama gue di Jakarta gak pernah gue dengar sama sekali. Said that, temen gue anak Padang. Alif, Ali, dan El pernah sekali gue dengar mereka berbicara menggunakan bahasa Padang. Atau ketika banyak sekali orang yang berasal dari Bandung yang ngobrol sama gue menggunakan bahasa Sunda dengan bahasa dan logat yang lembut, berbeda dengan Qonita, teman gue yang berasal dari Serang ini sering kali menggunakan bahasa dan aksen Sunda yang dikenal sedikit lebih "kasar" dalam percakapan kami,
"Ulah kitu geh" Ini adalah contoh kalimat yang sering diucapkan Qonita sehari-hari.
Sebagai sesama orang Serang juga, setiap gue mendengar Qonita ngomong Sunda, gue merasa feels like home. Di rumah, gue sering mendengar orang tua gue ngomong persis seperti cara Qonita ngomong sehingga gue gak asing sama gaya bicara dari Qonita.
Berbanding terbalik dengan Cici, mungkin karena Cici orang Bandung, jadi gue merasa bahwa perbedaan antara Sunda kasar dan Sunda halus itu nyata adanya. Qonita yang kalau ngomong full ngegas berbanding terbalik dengan Cici yang kalau ngomong lembut dan ada "belokan" nya. Gue gak bisa deskripsiin belokan itu kayak gimana, intinya ada penurunan ke nada rendah di tengah kata dan dilanjut dengan nada yang normal lagi di akhir.
Atau ada lagi teman gue orang Semarang, namanya Rakha. Beliau ini juga punya aksen yang berbeda. Gue sering mendengar dia ngomong Jawa yang medok. Sengaja gak sengaja suka gue imbangi dengan suara gue yang gue medok-medokin yang bikin orang lain bilang,
"Ih parah banget, Rakh, diledekin"
Padahal tujuan gue emang ngeledek.
Ngga ngga ... Kalau lu baca ini,
yaudah makasih.
Tapi untungnya karena gue mencintai keberagaman (asik), gue jadi gak terlalu kaget dengan perbedaan yang baru-baru aja gue alami sekarang. Contohnya waktu itu gue lagi fasil time via zoom, belum apa-apa gue harus menerima nasib bahwa gue anak Jakarta dan Jakarta identik dengan anak-anaknya yang tergerus pergaulan malam,
"Biasa minum dimana, Pit?" Tanya kakaknya
"Minum di rumah aja" Balas gue, serius.
"Oh biar langsung tidur ya?" Balasnya lagi.
Gue yang sebenarnya tau konteksnya apa dan mau dibawa kemana arah pembahasan ini hanya mencoba untuk mengikuti alur pembicaraan yang ada, sampai udah ga betah akhirnya gue bilang,
"Diem lah lo semua"
"HAHAHAHA"
Ketika mereka tau gue "bersih" teman-teman kelompok orasi gue agak skeptis. Begitu syulit jadi warga Jakarta yang taat aturan mama.
Ngomong-ngomong soal keberagaman, baru-baru ini gue menyelesaikan ospek kedua gue di kampus, yaitu ospek fakultas. Ospek fakultas sendiri memuat semua jurusan dari fakultas ilmu sosial dan politik. Bahkan, peserta maupun fasilitatornya berasal dari berbagai macam jurusan yang otomatis gue akan bertemu dengan anak jurusan lain juga. Waktu itu, gue bertiga dengan anak HI lain, ada Pupu dan Dippo, sisanya ada anak Ilmu Pemerintahan, Administrasi Bisnis, Kesejahteraan Sosial, dan masih banyak lagi.
Sebagai anak pisif, gue memiliki pandangan bahwa ospek gue akan keras, lebih tepatnya sih pasti banyak ngomong dan bakalan capek. Gue mempersiapkan segala macam hal yang diperlukan mulai dari barang bawaan yang terlihat sampai gak terlihat kayak contohnya mental gue. Jujur aja gue agak takut ya, karena walaupun gue udah melewati dua kali ospek dalam hidup gue, tapi gue masih sering mendengar banyaknya penyalahgunaan kekuasaaan para kakak tingkat melalui agenda perpeloncoan yang mereka lakukan di kampus lain. Gue selama ini selalu beranggapan bahwa gue termasuk yang beruntung karena gak pernah mengalami hal yang tidak diinginkan, tapi gue selalu merasa bahwa kemungkinannya akan selalu ada.
Selagi gue mempersiapkan mental itu, gue akhirnya mendapatkan pengumuman dari fasil gue, untungnya aja gue engga mendapatkan hari orasi di hari pertama sampai ketiga. Jadi guys, biar kronologinya jelas, gue ospek fakultas 3 hari dari tanggal 25-27 Agustus. Di hari pertama dan kedua gue mendapatkan bagian online. Sebenarnya sih buat gue sama aja, capek-capek juga. Tapi bedanya gue agak fomo aja dengan apa yang terjadi di hari pertama. Nah, gue mendapat offline alias datang ke kampus di hari ketiga. Di hari kedua malamnya, kita sekelompok berniat untuk kumpul dulu di salah satu tempat nongkrong bernama Backspace di Jalan Sayang untuk membahas strategi yang akan kita pakai di hari ketiga.
Gue berjalan dari kost gue ke Backspace. Sebenarnya gak terlalu capek karena gue setiap hari harus jalan turunan dan tanjakan hanya untuk mencari makan, tapi di hari itu, gue capek banget nanjak karena selain sendirian dan gak ada teman untuk diajak ngobrol, gue juga panik karena ini pertama kalinya buat gue nongkrong di Jatinangor dan bertemu dengan orang-orang asing yang gak gue kenal. Dengan panik, gue mencoba menelfon Nadia, teman sekelompok gue.
"Lu masuk aja ke dalem, nanti kita ada di dalem" Kata Nadia via telefon.
Saat gue masuk ke dalam, sayangnya gak ada orang yang kumpul, gue keluar lagi
"Mana? Gak ada"
"Nih, lu lurus, nanti ada belokan ke bawah, kita di luar"
Dengan langkah yakin, gue berjalan mengikuti arahan Nadia dan bertemulah gue dengan banyak orang yang sedang duduk berkumpul. Ada Rakha, Izra, Dippo, Pupu, Royan, Cindy, dan Sisi, selagi gue berkenalan karena gue anak baru disitu, gue mencoba untuk meng-approach anak-anak lain dan meminta spoiler tentang hari pertama dan kedua orasi. Sebagai ketua kelompok, Rakha tentu saja yang paling apes karena harus datang 3 hari berturut-turut. Sambil menunggu yang lain, kami membicarakan soal kode etik.
Ketika tengah seru-serunya ngobrol, muncul Kak Aksyal selaku fasil kami yang kami anggap sebagai bapaknya kelompok 4 sehingga kita diharuskan memanggilnya dengan sebutan Pipi. Kita semua berkumpul dan bercerita juga mengenai kode etik dan gaya bicara mereka yang khas. Menurut info yang didapat dari Kak Aksyal, kode etik memerlukan waktu 3 bulan untuk berlatih membulatkan suara mereka. Tadinya gue ngang-ngong saat mereka ngomongin tentang kode etik, sampai akhirnya Rakha merangkumnya kalau di hari pertama dan kedua itu ada sesi dimana yang offline diminta menutup mata dan kakak pendamping alias fasil akan berganti tugas dengan orang yang sedari tadi mereka sebut sebagai kode etik dan tugasnya tentu saja untuk masalah kedisiplinan. Setelah gak lama ngobrol, datang Kak Nicat yaitu fasil kelompok 4 juga yang kita semua sebut sebagai Mimi. Gak lama muncul juga Acel dan terakhir ada Salman.
Akibat gak ada topik lagi, kita semua akhirnya bermain game yang membuat Dippo dan Kak Nicat kalah dan berakhir tiktokan bareng bikin video "Efek gedang kluthuk" Ada juga saat Nadia dan Kak Akysal kalah yang membuat mereka Nadia harus cosplay sebagai Nunung yang suka ketawa sambil megangin perut karena nahan pipis dan Kak Aksyal yang ngomong "Ciat...Ciat..Ciat" sambil nusukin sedotan ke matanya. Atas dendam kesumat Nadia sama Izra, akhirnya Nadia bersabda,
"Pokoknya lu kalau kalah cosplay jadi Tukul!" Kata Nadia menunjuk Izra
"Lah kok gue?" Kesal Izra
"HAHAHAHA" Tawa anak-anak yang lain.
Dan... Benar saja saudara-saudara, di putaran selanjutnya, Izra kalah dan berakhir jadi Tukul Arwana yang suka ngomong "Ea...Ea...Eeee....Aaaa"
Malam itu, gue ketawa banget karena tingkah laku teman-teman gue ini gak pernah gagal bikin gue ketawa. Gue kembali pulang dengan berjalan kaki melewati lapangan bola yang sepi dan gelap. Untungnya di ujung jalan ada pos kamling dan ada banyak laki-laki sedang karaokean. Gue pasang muka sok berani padahal jantung gue hampir ngalahin jedag-jedug video tiktok. Tapi, gue berhasil pulang dengan selamat. Hal yang lebih gue takutkan besok adalah kode etik.
Gue inget banget, besok gue harus membawa kursi goyang. Masalahnya, kursi goyang gue yang berupa karton pink udah robek dan udah gue buang dari ospek universitas hari terakhir, mau gak mau gue harus beli lagi. Ya gak apa-apa sih, seinget gue juga ada kok toko fotocopy-an 24 jam.
Akhirnya gue bangun di jam 5 pagi. Saat itu gue mandi, mengambil sarapan, dan perlengkapan. Gue dan Andrea karena satu fisip (bangga) jadi kita mengenakan baju putih dan celana training sembari mengalungkan name tag dan menggendong ransel. Kami akhirnya pergi dengan jalan kaki dari Jalan Sayang ke Unpad. Masalah baru muncul saat gue sampai di tukang fotocopyan. Karton alias kursi goyang yang gue beli gak ada plastiknya. Jeng-Jeng *Backsound horor play*
Gue udah ngebayangin bakalan di jadiin ayam geprek sama kode etik. Minimal 10 kali push up ada lah.
Gue udah gak mau membayangkan hal yang menyeramkan dan belum tentu terjadi takut-takut gue kena maag atau mules, gue memilih untuk bersikap bodo amat dengan apapun yang terjadi. Jadi ayam geprek jadi ayam geprek lah. Gue udah berpasrahkan diri. Hal yang bisa gue peluk saat itu cuma agama. Gas, takbir, Allahuakbar!
Saat sampai di gerlam, gue mencari tempat untuk duduk karena jalan 1,8 Km itu capek banget ya, say. Rakha yang nanya "Lo Ipit?" aja gak bisa gue jawab saking capeknya, jadi gue hanya bisa mengangguk kala itu. Saat itu sudah ada Rakha, Royyan, dan Acel. Gue gak tau lagi ada siapa selain mereka sampai ada orang yang bertanya ke gue,
"Kamu Ipit ya?"
"Lo siapa?" (Respon kecapekan, jangan diambil hati ya guys)
"Gue Novi, ini Andine, kita sekelompok" Jawab Novi kala itu.
"Ooh, Haiii gue Ipit" Kata gue mencoba kembali ramah setelah istirahat sebentar.
"Lo naik apa Pit kesini?" Tanya Rakha.
"Jalan gue"
"Oalah pantesan lama" Ucap Rakha karena gue yang baru dateng 30 menit setelah gue bilang "Otw" di grup orasi.
Setelah menunggu sebentar, kita ternyata termasuk kelompok yang sudah lengkap. Jadi, kita berbaris dan mengantre untuk scan pedulilindungi. Setelah itu kita diarahkan untuk berjalan ke lapangan parkir fisip. Disana sudah ada Kak Nicat yang memegang papan kayu. Tanpa memegang papan juga sih sebenernya gue udah tau kalau itu adalah tempat untuk kelompok 4.
"Yang mau makan atau ke toilet bisa makan sama ke toilet dulu" Ucap Kak Nicat.
Gue yang kala itu belum makan, tentunya tergoda untuk makan dulu. Tapi, karena nyamuk di Fisip ini kalau gigit rasanya kayak vaksinasi dosis 3, gue mengurungkan niat gue untuk makan. Jadi, setelah Rakha dan Acel kembali dari toilet, tiba-tiba kita diminta untuk tutup mata. Rakha yang sudah memperingatkan dari awal akan kemunculan kode etik membuat gue ketakutan sendiri dan sesekali mengintip setelah para fasil sudah pergi menjauh.
"Nanti bakalan ada yang marah-marah" Kata Rakha, spoiler.
"Siapa?" Tanya gue.
"Kode etik, yang pitanya warna merah" Balas Rakha
"Oh, kalau pita ungu tuh fasil, merah tuh kode etik ya, kalau biru apa kak?" Tanya gue pada Kak Nicat.
"Pit...Pit... Makanya guidebook-nya dibaca" Ledek Rakha
Gue hanya cengengesan setelah menyadari bahwa ada satu poin penting yang gue lupakan, yaitu Guidebook.
"Udah ya, lo pada tutup mata" Kata Kak Nicat.
"Tapi ya, untungnya kita kelompok 4, jadi berdirinya gak lama" Spoiler Rakha, lagi.
Gue hanya ber-oh ria karena jujur aja, dalam 2 hari kebelakang, gue udah ketinggalan informasi yang cukup banyak dari kelompok gue.
"KELOMPOK. 1. HARAP. BERDIRI. DI. DEPAN. SAYA!"
Begitu mendengar suara kode etik, gue jadi sadar kenapa hal ini seru banget buat dibahas waktu lagi nongkrong kemarin. Jujur aja, setelah mendengarnya langsung, gue jadi teringat satu tokoh. Kaffa Nugraha yang dikenal di tiktok karena ia sering memainkan perannya sebagai "Maba Nurul"
Saat kelompok gue dipanggil, ternyata kita diarahkan ke lapangan Fisip.
"PERHATIKAN. LANGKAHNYA. ARKAMUDA!" Ucap salah satu petugas kode etik ketika kami menuruni tangga.
Sampai di lapangan, kita melakukan pemeriksaan terhadap barang bawaan. Setiap barang yang disebutkan nantinya kita harus mengangkatnya untuk membuktikan bahwa kita membawa barang bawaan yang diminta. Kalau ada yang gak dibawa, kita akan diminta untuk keluar barisan dan ada yang bilang nanti bakalan dapat tugas tambahan. Nah, disini permasalahan dimulai.
Karton gue gak ada plastiknya.
Ketika diminta menunjukan kursi goyang alias karton, gue mengangkat karton gue yang tanpa plastik.
"Bagi. Yang. Tidak. Membawa. Barang. Bawaan. Yang. Diminta. Harap. Memisahkan. Diri. Dari. Barisan!" Ucap salah satu kode etik.
Ada satu kode etik yang melirik gue karena setelah gue nengok kanan kiri, gak ada satupun orang yang gak pakai plastik di kartonnya, alias cuma gue yang gak pakai plastik. Akibat muka tebal dan putusnya urat malu yang gue derita sejak dari lama, gue dengan pede tidak memisahkan diri dari barisan. Lucunya gue gak di tegur juga alias kursi goyang yang gue bawa dianggap sah.
Setelah selesai melakukan pengecekan, kami diminta untuk berdiri kembali dan berbaris di lapangan parkir seperti di awal karena kami akan melakukakan parade, yeaay!
Parade Fisip dilakukan dengan berkeliling kampus jalur IPS. Rutenya adalah, Fisip, FIB, Hukum, Komunikasi, Bale Santika, FEB, lalu kembali ke FISIP. Sambil ditemani oleh nyanyian dan yel-yel dari Fisip, parade kali itu bisa dibilang cukup ramai. Gak lupa di tengah tanjakan yang menuju Bale Santika, ada challange dari panitia agar satu orang melakukan orasi. Setelah itu, kita kembali berjalan dan lagu kembali dikumandangkan,
We love you Fisip, we do
We love you Fisip, we do
We love you Fisip, we do
Fisip we love you~
Begitu terus dan berganti dengan lagu Buruh Tani dan lagu wajib indonesia. Setelah itu, kami kembali ke lapangan Fisip dan melakukan kegiatan menghias tanaman. Andine sebagai penanggung jawab tanaman membawa dua buah pot dan pita berwarna kuning dan biru. Kita yang saat itu clueless mau dihias apa pot dengan pita, akhirnya kami cuma bisa menempelkan pita pada pot yang ada, sedangkan kelompok lain ada yang menggambar di pot mereka masing-masing menggunakan cat akrilik. Hingga akhirnya tercetuslah ide untuk mengepang pita yang ada dan melilitkannya pada kawat pengait yang ada di pot. Awalnya Acel agak kontra dengan kepangan yang gue kerjakan, tapi lama-lama beliau fine-fine aja karena emang udah terlanjur juga kan ya...
Untuk sentuhan terakhir, kita memberi nama pada pot warna putih dengan cat akrilik warna merah hasil minta kelompok sebelah. Yah, emang se-gak-modal-itu.
Setelah itu, kita diwawancarai oleh MC dari orasi. Royan sendiri agaknya gugup sekaligus berani karena saat disamperin, Royan dengan pede mengajak foto salah satu MC perempuan dan kita terus ngetawain Royan saat itu.
Sampai mungkin akhirnya MC menyadari bahwa kelompok 4 adalah kelompok yang ramai, kita akhirnya diminta untuk melakukan yel-yel kelompok 4.
"Yang kenceng ya, Pit"
"Iyee"
"KELOMPOK EMPAAAT" Pimpin gue.
"EA...EAA...EEEE....AAAAA" Balas teman-teman gue sembari memperagakan gaya Tukul Arwana,
Jujur aja, kita belum mempersiapkan yel-yel saat itu. Tapi karena ketutup oleh suara kita yang bikin semua orang nengok, yel-yel kita yang bukan apa-apa jadi sedikit bermakna buat kita (Asik)
Nah, setelah acara berkebun, kita diminta untuk ke gedung ungu lantai 3 atau tepatnya di Aula.
Di aula lantai 3 ini, gue dan sekelompok gue memilih untuk duduk di deretan depan tapi gak terlalu di depan. Gue bersebelahan dengan Andine dan dibelakang ada Novi.
Ternyata bakalan ada Orasi Awards dimana kelompok-kelompok terbaik nantinya akan maju dan mendapatkan sertifikat penghargaan.
"Udahlah jangan berharap" Kata Kak Nicat selaku fasil gue yang lagi duduk di depan pintu, tepat di sebelahnya ada Kak Aksyal yang lagi tidur. Melihat mereka berdua kayak gitu, gue jadi mengangguk yakin kalau kata-kata Kak Nicat ini ada benarnya. Kelompok 4 gak akan menang. Okelah.
"Kelompok Tersigap, kelompooooook........ Tigaaa!!" Kata Mc
"HUUUUUU" Sorak kelompok 3 duluan.
"PULUH!!!" Lanjut Mc nya, nyebelin.
"AHAHAHAH" Tawa gue.
Setelah itu pengumuman untuk kelompok terasoy.
"Untuk kelompok Terasoy diberikan kepada kelompoooook....EMPAAAT!!!"
Ketika di sekiling gue sudah riuh akan tepuk tangan, kelompok gue malah skeptis sendiri
"Ah itu mah empat belas bukan empat" Kata gue
"Empat itu maju" Kata kelompok tiga puluh yang ada di depan gue.
"Hah? Serius? RAKHAA MAJUUU!!!"
Rakha pun dengan bangganya maju, sedangkan kita kelompok empat masih skeptis dan sebenarnya agak gak terima juga sih karena diantara nominasi lain, kenapa kita dapetnya nominasi kelompok terjamet ðŸ˜
Hingga Rakha didepan kembali meneriakan slogan Tukul Arwana, kita pun mengikuti instruksi Rakha sambil ketawa-ketawa.
Setelah itu, Kak Nicat dan Kak Aksyal selaku fasilitator kelompok empat diminta untuk maju ke atas panggung.
"Gimana nih tanggapan kakak fasilnya soal anak-anaknya?" Tanya salah satu dari Mc orasi di depan.
"Yah saya kira, kita yang bakalan nularin virus kejametan ini ke mereka ya, tapi ternyata malah fasilnya yang ditularin sama anak-anaknya" Kata Kak Nicat
"HAHAHAHAHA" Tawa kami serempak.
Jujur aja gue malu sih. Gue baru aja dateng di day-3, tiba-tiba kelompok kita memenangkan awards sebagai kelompok terasoy yang bisa disebut juga sebagai kelompok terjamet. Ini membuat gue bertanya-tanya, apakah aura jamet gue sekuat itu? Apakah selama bertahun-tahun gue hidup di wilayah Condet membuat gue secara tidak sadar menjadi bocah jamet kabupaten? Apakah sebentar lagi gue akan memperluas bangsa pasar kejametan ini di seantero wilayah Jatinangor?
We never know~
Hingga pas balik, Kak Aksyal ngomong,
"Lu curang lu, Pit. Baru dateng sehari langsung ngerasain menang"
"Yee harusnya lu seneng, gara-gara ada gue kita jadi kelompok terjamet, kan?" Tanya gue retoris.
Setelah itu kita kembali ke Lapangan Fisip gak tau untuk apa.
Sesampainya disana, kita diminta berbaris seperti semula dan kembali diminta untuk menutup mata. Waduh kalau gini tau dong ya bakalan ada apa? Bener banget, kode etik.
Saat fasil sudah pergi, kita semua menutup mata. Barulah saat itu kode etik masuk dan meminta kita untuk membuka mata. Mereka satu persatu berjalan dan berbaris untuk memperkenalkan diri mereka dihadapan kita. Setelah selesai, mereka pergi dan Mc kembali masuk. Ketegangan yang dari awal kita rasakan akhirnya tersapu bersih karena kehadiran Mc saat itu. Gue kira, itu adalah akhir dari ospek fakultas. Ternyata, ada penampilan dari Band Society. Bangganya saat tau kalau anggota dari Society ini adalah kakak tingkat gue yaitu anak HI 19. Gue sebagai anak introvert tentunya hanya bisa berkumpul di tengah dan mengikuti anak-anak lain yang saat itu tengah heboh berjoget di lapangan Fisip. Gue, Andine, Novi, dan Andrea hanya bisa berdiri kayak anak hilang.
Tiba-tiba gue mendapatkan chat masuk dari Balqis, teman sma gue.
"Jam berapa selesai ospek?" Tanya Balqis
"Jam 3" Jawab gue
"Balik ke Bandung bareng yuk, Pit. Naik damri mau ga lu? Diajak nyokap gue" Kata Balqis
"Ya udah ayo"
Gue ingat, di tanggal 27 Agustus itu, gue memiliki agenda yang sedari lama gue dan teman smp gue rancang. Kebetulan, di hari yang sama, teman sma gue juga sedang berkunjung ke Bandung, jadi dia menyempatkan waktunya untuk mengunjungi gue di Jatinangor dan pulangnya gue bisa ke Bandung bareng dia karena perkiraan waktu gue sampai di Bandung adalah pukul 7 dan gue akan menginap di salah satu apartemen di daerah yang dekat dengan Braga.
Saat Society tampil, Balqis sudah ada di depan Fisip. Jadi gue sengaja mengajak dia memasuki keramaian yang ada.
"Emang boleh, Pit?" Tanya Balqis.
"Udahlah masuk aja, ada Andrea tuh temen kost gue, sama Andine sama Novi temen sekelompok gue" Kata gue memperkenalkan Balqis ke teman-teman gue.
Ternyata, gue yang salah kira. Gue kira Balqis akan malu di depan banyak orang yang sedang berjoget ria di Fisip. Gue lupa urat malu dia ditinggal di rumah, jadi saat orang lain joget, dia juga joget gak kalah heboh. Sampai-sampai orang lain yang melihat dia minggir karena doi joget gak kenal tempat. Gue sebagai temannya tentu agak sedikit malu dan prihatin, tapi gak lama kemudian gue ikutan buat joget bareng dia, hingga rasa malu itu berpindah ke Andre, Novi, dan Andine yang mukanya udah merah karena capek ketawa ngeliatin tingkah kita berdua.
Setelah Society tampil, ternyata ada persembahan dari kakak-kakak fasilitator yang menarikan lagu dari orasi,
Selamat datang Arkamuda~
Di sini mari berkarya~
Leluasa menggapai asa~
Karena kita satu, Fisip Bangga~
Terakhir adalah penampilan dari Dj yang membawa lagu-lagu hits indonesia maupun luar negeri yang bikin suasana makin pecah. Gue kira, acara kali itu akan selesai pukul empat sore. Saat tau semua orang berteriak,
"Lagi! Lagi! Lagi!"
Dj di depan akhirnya menuruti kemauan penonton dan memutar musik sampai jam 5. Sedangkan gue sudah harap-harap cemas karena setau gue, Damri jurusan Jatinangor-Dipatiukur akan berhenti untuk beroperasi di jam 5 sore. Tapi, gue juga pernah mendengar dari unpadfess kalau Damri terakhir ada di pukul 7 malam. Dengan modal nekat, gue tetap akan jalan ke Jatinangor Square untuk menunggu Damri,
"Kak, ini kapan selesainya sih?" Tanya gue ke Kak Nicat di akhir.
"Ini bentar lagi" Kata Kak Nicat
"Izin dah gue, boleh gak? Takut ketinggalan bis nih" Keluh gue saat jam menunjukan pukul setengah lima sore.
"Yaelah, mau kemana sih lu?" Tanya Kak Aksyal.
"Mau healing gue, ke Bandung" Balas gue
"Ngapain si ke Bandung? Gue hari Senin aja mau ke Jakarta" Curhat Kak Aksyal
"Elu yang ngapain ke Jakarta, mending ke Bandung sekalian" Protes gue, karena orang Jakarta aja maunya ke Bandung, ini ngapain ke Jakarta lagi?
"Homesick gue" Aku dia.
"Najis" Balas gue mencibir.
Hingga tepatnya pukul 16.57, semua orang sudah berjalan untuk ke gerbang lama diantar oleh fasil mereka masing-masing.
Gue tiba-tiba dirangkul oleh Balqis yang ternyata sejak tadi gue baris menunggu di meja batu.
"Tadi gue ditanya orang, Pit. Katanya gue nungguin siapa? Gue bilang aja gue nungguin ponakan gue HAHAHAHAHA" Kata Balqis sembari membisiki gue, padahal percuma suaranya kedengeran sampai seruangan gue rasa.
"Tapi lu cocok sih Qis, jadi tante gue" Kata gue, mengakui.
"Eh abis ini masih ada kegiatan lagi loh" Kata Kak Nicat yang ada di depan gue.
"Apa-apaan? Nih gue izin, tante gue dateng" Kata gue sembari menunjuk ke arah Balqis.
"Tante...Tante... Lu pikir gue gak denger tadi lu ngomong apa?" Cibir Kak Nicat.
Tentu saja saat itu Kak Nicat becanda dan gak ada agenda apa-apa lagi setelah itu. Setelah gue sampai gerbang lama, gue berpamitan dengan fasilitator dan teman-teman sekelompok gue. Gue mencari Andrea untuk pulang ke kost bersama dengan Balqis juga.
Sore itu, gue merasa terharu. Teman-teman gue di Jakarta sampai merelakan datang hanya untuk sekadar bertemu dengan gue. Rasa capek yang gue hadapi di hari itu gak berarti apa-apa buat mereka. Rasanya tenaga gue kembali terisi penuh. Bahkan, lagu orasi fisip seakan masih menggema di kepala gue hingga sekarang.
Selamat datang Arkamuda~
Di sini mari berkarya~
Leluasa menggapai asa~
Karena kita satu, Fisip Bangga~
Komentar
Posting Komentar